Egi keluar dari butik yang terletak di seberang gedung apartemennya dengan terheran-heran. Pasalnya ia bingung sendiri sekarang, mengapa ia melakukan ini untuk Rania? Bukankah mereka baru saja saling mengenal? Ini terkesan berlebihan. Ia terlihat seperti seorang pria yang begitu perhatian terhadap wanitanya. Beberapa karyawan butik tadi juga menganggapnya begitu. Bahkan salah satu dari mereka secara terang-terangan mengatakan kalau apa yang dilakukannya itu sangat manis dan romantis. Entahlah. Egi hanya merasa kasihan melihat gadis itu. Ia terlihat rapuh dan butuh perlindungan. Dan, lagi pula, bukankah gadis itu sekarang sudah menjadi miliknya? Apa yang jadi miliknya berarti sudah menjadi tanggung jawabnya pula.
Egi membuka pintu apartemennya dan melihat seorang gadis dengan kaus yang kebesaran di tubuh gadis mungil itu. Dia menoleh.
“Kak?” katanya yang langsung berdiri dengan kikuk.
Egi harus menahan napas begitu melihat wajah polos Rania yang begitu cantik meski tanpa riasan apa pun. Sesuatu dalam dirinya bahkan ikut berdesir, menghantarkan getaran berupa sengatan listrik dengan arus kecil yang mengalir dari d**a kirinya. Dengan pakaian kebesarannya itu, Rania terlihat seksi meski tubuhnya memang masuk ke dalam kategori mungil.
“Oh, ini bajumu, Ra.” Egi menyodorkan paper bag yang sedari tadi ia jinjing. Rania menerimanya dengan malu-malu.
“Terima kasih, Kak.” Rania tersenyum dengan rona pipi menghias wajahnya.
Setelah itu, Rania berganti pakaian di toilet dan kembali beberapa saat kemudian dengan pakaian baru yang Egi belikan tadi. Sangat pas di tubuhnya seolah Egi memang sudah tahu ukuran pasti tubuh gadis itu.
“Kemari, aku obati lukamu!” titah Egi, menepuk sisi tempat duduknya. Rania menurut duduk seperti yang Egi perintahkan. Lantas memperhatikan wajah Egi yang serius mengobati luka di sikut lengannya.
“Apakah sakit?” tanya Egi sambil meniup luka Rania pelan-pelan dan penuh kehati-hatian. Rania menggeleng kecil dengan senyuman yang malu-malu muncul di wajahnya. “Oke, selesai.”
“Terima kasih, Kak!” Rania lagi-lagi tersenyum dengan wajah merah.
“Kau ingin makan malam? Di sini tidak ada makanan apa pun, hanya ada sebutir telur, buah jeruk dan buah apel.”
Rania menggeleng pelan. “Tidak usah, Kak. Nanti saja.”
“Kau yakin? Atau kau ingin pesan makanan?”
“Tidak, Kak. Tidak usah. Aku hanya … tidak bisa tidur sebelum meminum s**u,” jawab Rania ragu-ragu.
“s**u? Kau serius?” tanya Egi sedikit syok. “Kau tidak takut badanmu melar jika meminum s**u?”
Rania mengerutkan kening dengan bingung. Ia tak pernah tahu kalau s**u bisa membuat tubuh seseorang menjadi melar. Yang ia tahu, ia hanya menyukai s**u dan tidak bisa tidur jika tidak meminum s**u terlebih dulu. Tubuhnya tidak melar. Dan kalau pun iya, Rania tidak peduli karena baginya tak masalah tubuhnya melar atau tidak.
“Selama ini aku minum s**u setiap malam dan pagi, bahkan siang atau sore hari jika aku melihat s**u kotak di hadapanku, aku tak akan segan-segan meminumnya, dan … Aku sama sekali tidak melar.”
Egi menatap Rania dengan saksama. Benar, gadis itu sama sekali tidak melar. Bahkan cenderung mungil.
“Tapi aku tidak punya s**u. Bagaimana kalau kita ke supermarket sekarang?” tanya Egi. Rania jelas mengangguk dengan antusias. Ia merindukan s**u. Merindukan s**u!
Jam hampir menunjukan pukul sebelas malam, jadi tak mengherankan jika supermarket dua puluh empat jam di dekat gedung apartemen Egi begitu sepi. Hanya ada satu dua pembeli yang kebanyakan hanya membeli minuman ringan saja. Berbeda dengan Rania yang sekarang sudah berdiri di tempat khusus sayuran. Ia berjalan sambil menatap beberapa jenis sayuran dengan telunjuk ia ketuk-ketuk ke dagunya.
“Kak, aku boleh ambil ini, ya?” tanya Rania sambil mengacungkan sebungkus sosis dan sebungkus wortel.
“Ambil saja semua yang kau mau,” jawab Egi santai. Akhirnya sesuai perintah Egi, Rania mengambil beberapa jenis sayuran dan bahan masakan lainnya. Tak lupa s**u kesukaannya.
Keduanya selesai berbelanja dan kini keluar dari supermarket itu dengan dua kantung kresek belanjaan. Mereka berjalan beriringan di sisi jalan. Jarak antara apartemen Egi dan supermarket itu tidak terlalu jauh sehingga mereka memutuskan untuk berjalan kaki tadi.
“O, ya, Kak?” Rania memecah keheningan, Egi menoleh. “Uhm, nama Kakak siapa?” tanya Rania ragu-ragu.
Egi hampir lupa bahwa sejak tadi ia belum memperkenalkan namanya secara resmi. “Aku lupa kau belum tahu namaku.” Egi mengangkat sudut bibirnya sedikit. “Aku Ergia Montague. Panggil aku Egi.”
Rania tersenyum, menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga. “Baik Kak Egi,” bisiknya.
Keduanya sampai kembali di apartemen. Rania memasukan belanjaannya ke dalam kulkas. Setelah selesai dengan pekerjaannya itu, ia menuangkan s**u kotak yang ia beli ke dalam gelas dan meminumnya hingga tandas. Akhirnya…
Selesai dengan ritual minum s**u sebelum tidurnya, kini Rania dilanda kebingungan. Ia akan tidur di mana? Apakah di sofa ruang tamu ini? Baru saja ia akan membaringkan tubuhnya, Egi keluar dari toilet dan menatapnya dengan intens.
“Sudah selesai dengan ritual minum susumu?” tanya Egi. Rania menjawab dengan anggukan kecil. “Lalu kenapa malah duduk di sini? Masih belum mengantuk?” tanyanya.
“Aku … mengantuk. Aku akan tidur di sini,” jawab Rania setelah mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan itu karena gugup.
“Siapa bilang aku mengizinkanmu tidur di sini? Kau tidur di kamarku!” seru Egi. Rania gelagapan. Merasa takut seketika. Namun sebelum ia menjawab, Egi sudah lebih dulu menuntunnya menuju kamar, lalu menutup pintu.
Rania tahu ini akan terjadi. Lagi pula Egi sudah membelinya. Egi mengatakan kalau dia sudah menjadi miliknya jadi ia harus patuh. Tapi… kenapa harus sekamar?
“Kak, aku--” Belum sempat Rania menyelesaikan kalimatnya, Egi sudah lebih dulu menyumpal mulut Rania dengan bibirnya, membuat Rania syok. Apakah… Apakah Egi akan benar-benar menyentuhnya? Oh Tuhan! Apa yang harus Rania lakukan sekarang? Apa!? Kabur dari Egi? Tidak! Rania tidak tahu caranya.
Belum sempat Rania memikirkan cara untuk menghindari Egi, lelaki itu sekarang malah sudah memeluk pinggang kecil Rania masih dengan bibirnya yang menjelajahi bagian dalam mulut Rania. Mencari-cari lidah gadis itu. Dan ketika ia menemukannya, dengan sentuhan lembut ia menggoda lidah itu. Membiarkan Sang empunya kehilangan akal karena kenikmatan asing yang baru ia cecap.
Dengan gerakan lihai, Egi membawa Rania ke atas ranjang dan membaringkannya perlahan.
“Kak, jangan …” lirih Rania begitu Egi menciumi leher jenjangnya. Entah mengapa tenaganya seakan terserap habis sehingga Rania tak bisa melawan. Sangat berbeda dengan pria tua bernama Anhar yang bisa Rania lumpuhkan.
“Tidur di sini, bersamaku. Aku tidak akan menyentuhmu lebih jauh. Hanya mohon tidur di pelukanku,” bisik Egi di depan bibir Rania dengan mata yang redup.
“Maksud Kakak, kita tidur seranjang!?”
“Ya. Tidur seranjang.”
***