Embusan napas Rania yang tidak beraturan sangat disadari oleh Egi. Pria itu tahu, Rania sama sekali belum tidur, sama seperti dirinya. Sepertinya gadis itu sangat gugup, karena ini adalah kali pertama baginya tidur dengan orang asing, dan itu seorang pria dewasa sepertinya.
Egi tersenyum kecil saat--entah disadari atau tidak oleh Rania--gadis itu sedikit mendesah keras. "Kau tidak bisa tidur, eh?" tanya Egi pelan.
Rania yang berada di dalam kungkungan tubuh besar Egi sedikit menoleh untuk melihat pria itu. "Ya. Aku ... aku tidak terbiasa tidur dalam posisi seperti ini," cicit gadis tersebut.
Egi terkekeh pelan mendengar jawaban polos Rania. Kerlip terhibur tampak menghiasi wajah lelaki itu. Sikap lugu Rania tersebut entah mengapa membuatnya begitu senang.
Pria itu lantas melonggarkan pelukannya, sampai tak sadar Rania mengembuskan napas lega saat tubuh besar Egi tidak lagi mengungkung tubuhnya. "Kamu akan terbiasa nanti," ujar lelaki itu. Meski telah melonggarkan pelukannya pada Rania, tetapi dia masih berbaring menyamping ke hadapan Rania.
"Kau lebih suka bercerita atau mendengarkan cerita?"
Pertanyaan Egi tersebut membuat Rania bergeming sejenak. Berpikir. "Aku pendengar yang sangat baik, tetapi aku juga terkadang suka bercerita," balas Rania jujur. Dia tidak bisa mendefiniskan dirinya sendiri apakah basicnya seorang pendengar atau pembicara.
"Aku biasanya adalah seorang pendengar," gumam Egi, menjelaskan dirinya sendiri tanpa Rania minta. "Namun untuk malam ini, aku ingin menjadi seseorang yang bercerita. Kamu tidak keberatan, kan, untuk mendengarkan ceritaku?"
Rania tampak bingung karena ini kali pertamanya mendengarkan cerita dari orang yang baru dia temui. Apalagi sepertinya apa yang ingin diceritakan oleh Egi adalah hal yang serius. Meski sebenarnya, setelah malam ini, Egi tidak akan menjadi orang asing lagi bagi Rania. Sebab pria itu sudah membeli dirinya.
Rania akhirnya mengangguk meski ragu-ragu. "Tentu saja. Aku akan mendengarkan ceritamu," balasnya.
Rania sudah bersiap untuk mendengarkan cerita yang ingin Egi sampaikan. Namun setelah beberapa lama menunggu, rupanya Egi tidak mengeluarkan sepatah kata pun, membuat Rania akhirnya menoleh untuk menatap pria itu. Rupanya, Egi sedang diam termenung sambil menatap kosong pada dinding kamarnya yang berwarna abu-abu muda.
Menyadari Rania menatapnya, Egi langsung menggeleng pelan sambil tersenyum, seolah pria itu baru saja mengenyahkan segala hal yang barusan dia pikirkan dengan serius. "Lupakan saja. Aku rasa, aku tidak bisa bercerita malam ini," ucap pria itu. "Tidurlah. Aku yakin kau sangat lelah setelah apa yang menimpa padamu hari ini. Nanti, aku ingin mendengarkan kisahmu."
Rania gelagapan saat Egi mengacak poninya dengan manis. Entah bagaimana, orang asing yang membantunya ini justru tidak membuat Rania takut. Alih-alih takut dan berpikir bahwa bisa saja dia memanfaatkannya, Rania justru merasa ... jantungnya berdebar?
"Baiklah jika seperti itu," cicit Rania pelan.
"Aku rasa, kamu tidak bisa tidur karena belum terbiasa denganku," gumam Egi. "Kalau begitu, karena kamu juga pasti lelah dan aku harus membiarkanmu istirahat, untuk malam ini aku akan tidur di luar."
Sesuai apa yang dikatakannya, Egi langsung duduk dan turun dari ranjang. Rania yang menyaksikan hal itu jelas saja merasa tak enak. Sebab ini adalah apartemen Egi, seharusnya dirinya yang tidur di luar, bukan pria itu.
"Kak ...."
"Jangan sungkan," pungkas Egi, sebelum Rania rampung mengutarakan rasa keberatannya. "Tidur saja di sini. Aku baik-baik saja."
Setelah mengatakan hal itu, Egi langsung berjalan keluar. Tak lupa dia mematikan lampu terlebih dahulu agar Rania bisa lebih cepat tertidur.
***
Egi mendudukkan bokongnya di sofa sambil melempar benda pipih yang dibawanya barusan ke sisinya. Pria itu menatap langit-langit dengan nyalang selama beberapa saat, kemudian menoleh untuk melihat kembali ponselnya. Diraihnya benda itu kemudian membuka kunci layar dan mengalihkannya menuju room chat.
Di sana, terdapat tiga buble chat yang baru saja masuk dari kontak bernama Soraya dan belum sempat dia buka, meski dia telah membacanya di layar notifikasi beberapa jam lalu.
Soraya:
Maafkan aku karena tidak menghubungi kamu beberapa hari ini. Aku sangat sibuk karena jadwalku padat.
Kau tidak marah, kan?
Aku masih ada pemotretan. Ketika luang, aku akan meneleponmu. I love you, Gi!
Egi mendesah pelan. Sama sekali tidak berniat untuk membalas pesan wanita itu. Lebih tepatnya, dia tidak tahu kata dan kalimat yang bagaimana yang bisa dia kirim. Komunikasinya dengan Soraya sudah sangat jarang sejak tunangannya tersebut pindah ke Amerika dan sibuk dengan pekerjaannya sebagai model top untuk salah satu merek celana dalam termewah di sana. Alih-alih saling menghubungi secara pribadi, Egi justru lebih sering mengetahui kabar Soraya melalui surat kabar dan artikel yang dia baca mengenai wanita itu. Soraya jarang memberinya kabar. Jika memiliki waktu luang, biasanya wanita itu akan menelpon atau langsung terbang ke Paris.
Wajah Egi terlihat sangat murung. Dia tidak tahu bagaimana bentuk hubungannya dengan Soraya sekarang. Egi mulai merasa hatinya hambar. Tidak ada debaran seperti dulu lagi saat melihat Soraya. Semuanya terasa begitu kosong. Bukan karena Soraya sekarang jarang memberinya kabar karena terlalu sibuk, atau karena hubungan jarak jauh mereka yang menjemukan, melainkan karena ... Egi merasa bahwa tujuan mereka tak lagi sama.
"Bagaimana bentuk hubungan yang kau inginkan sebenarnya?" Egi masih jelas saat dia bertanya pada Soraya beberapa minggu lalu, saat dia masih di Paris, bermalam di sebuah hotel mewah dengan tunangannya itu.
"Tentu saja hubungan seperti yang sekarang ini, Gi. Yang bagaimana lagi maksudmu?" jawab Soraya.
"Orang tuaku sudah bertanya kapan kita akan menikah. Pertunangan kita sudah berlalu hampir setahun."
Soraya mendesah keras, jelas terlihat tidak suka dengan topik yang tiba-tiba saja Egi ungkit. "Kau tahu, karirku baru saja naik, Gi. Aku tidak bisa menikah dalam waktu dekat. Setidaknya, biarkan aku menikmati masa-masa kejayaanku dulu. Setelah aku puas dengan semuanya, aku pasti akan menikah denganmu."
"Tapi, Soraya ...."
"Ergia," panggil Soraya, membuat Egi harus menghentikan ucapannya dan menarik napas dalam-dalam, menahan diri. "Kalau kau akan mengatakan soal apa yang aku lakukan dua bulan lalu, tolong hentikan. Kita tidak harus menyesal atas hal itu. Kita sudah melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan sekarang."
Egi menatap Soraya intens. "Kau yakin itu adalah keputusan terbaik yang kita lakukan?"
Soraya menghela napas dalam selama sesaat, kemudian tersenyum lebar. Dia mendekat ke arah Egi, mempersempit jarak di antara mereka berdua lalu mendaratkan kecupan sensual di bibir ranum lelaki itu. "Ya, itu adalah keputusan terbaik yang bisa kita ambil," gumam Soraya, menatap Egi dengan mata hijaunya yang selalu menghipnotis banyak lelaki sehingga terpesona terhadapnya. "Jangan ungkit 'dia' lagi. Aku mohon, kita harus menjalani kehidupan kita dengan baik dan menghargai pengorbanannya."
Egi memejamkan matanya. Meletakkan tangannya yang terkepal di atas kening. Setiap kali dia mengingat mengenai apa yang Soraya katakan pada malam itu dan waktu-waktu yang lain setiap ia mengungkit masalah 'dia', Egi merasa bahwa perasaannya pada Soraya semakin terkikis.
"Maafkan aku. Maaf," lirih Egi pelan.
***