6. Pakaian Dalam

1005 Kata
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari satu jam, akhirnya Rania mendesah lega karena ia sudah sampai di apartemen Egi. Sungguh tak nyaman rasanya berada di dalam ruangan sempit--di dalam mobil--hanya berdua dengan pria tampan seperti Egi tanpa percakapan. Sementara Egi membuka sepatu dan kaus kakinya, Rania duduk sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling apartemen Egi. Memperhatikan apertemen pria tersebut dengan saksama. Apartemen Egi terbilang cukup luas menurut Rania. Hampir sama dengan apartemen milik bundanya yang sempat disewa setelah bercerai dari ayahnya, hanya saja apartemen Egi terkesan maskulin dengan cat dinding berwarna putih dengan kusen-kusennya berwarna hitam, dipadukan dengan beberapa furniture seperti sofa--yang ia duduki--yang berwarna abu-abu. Apartemen Egi tak memiliki sekat antara ruangan satu dengan ruangan yang lain, kecuali kamar dan toilet tentunya. Di samping kanan tempatnya duduk, Rania bisa melihat ada ruangan kecil yang sepertinya adalah ruang membaca, karena di depan ruangan itu berdiri sebuah lemari tinggi berukuran sekitar dua meter bercat hitam yang penuh dengan buku-buku. Lalu bergerak semakin ke kiri, di mana ia melihat sebuah pintu kaca ganda dengan pinggiran kusen berwarna hitam. Rania yakin, di balik pintu kaca itu adalah sebuah balkon. Ia melanjutkan penjelajahan pandangannya, dan melihat dua buah lemari pendek berukuran sekitar 100×50×50 senti meter yang di atasnya terdapat sebuah lukisan sketsa hitam putih seorang wanita tua. Rania yakin jikalau Egi adalah seorang penikmat seni. Rania yang sempat bersekolah di sekolah seni bisa menilai bahwa lukisan tersebut memiliki nilai yang tinggi. Satu meter dari lukisan itu, sebuah pintu berwarna hitam berdiri kokoh. Itu pasti pintu kamar Egi, pikir Rania. Rania melihat ke berbagai penjuru ruangan lagi, berharap menemukan pintu yang ia yakini adalah pintu kamar yang lain, tapi nihil. Dia tidak menemukan kamar mana pun lagi. “Apartemen ini hanya memiliki satu kamar,” ucap Egi, menjawab kebingungan Rania. Rania menoleh pada Egi dan hanya bisa ber-oh-ria. Lalu Egi beranjak. Melewati Rania menuju kulkas yang terletak di dekat wastafel dan meja makan juga dapur yang berada di dekat pintu kamar. Kulkas dan lemari gantung yang berada di atas wastafel pun berwarna hitam. Sepertinya Rania tidak akan menemukan warna-warna cerah di apartemen Egi. Rania mendesah dalam hati. Padahal, Rania menyukai hal-hal berwarna nude yang kalem. Rania memperhatikan Egi yang tengah mengorek isi kulkasnya. Sedikit melirik ke samping kiri kulkas itu, ternyata ada sebuah lorong pendek yang setelahnya terdapat pintu. Sepertinya itu toilet. Di samping lorong itu juga terdapat lemari pendek yang di atasnya televisi datar duduk dengan santai. Pun dengan beberapa pigura foto yang berdiri manis di sana. Di depannya sofa santai berwarna hitam berhadapan dengan meja abu-abu. “Aku hanya memiliki minuman ini,” ucap Egi sambil meletakan dua kaleng minuman ringan. Rania hanya menatap minuman itu tanpa berniat mengambilnya. “Kenapa? Apa kau tidak suka?” tanya Egi saat melihat reaksi gadis tersebut. Rania meringis. “Bukan. Aku hanya tidak pernah meminum minuman seperti ini. Sejak kecil Bunda selalu melarangku memakan atau meminum minuman yang tidak sehat,” jelas Rania panjang lebar. Dia memang biasa hidup sehat. Bundanya adalah orang yang benar-benar memperhatikan asupan makanan keluarganya. Mungkin, karena nenek Rania dulu sempat terkena penyakit diabetes dan jantung. Bundanya mungkin menjadikan hal yang menimpa ibunya sebagai pembelajaran dan tidak ingin orang terdekatnya, apalagi Rania, mengalami hal serupa. “Aku ingin air putih hangat saja," lanjut Rania. Selama sesaat, Egi memperhatikan gadis itu, kemudian mengangguk pelan. Egi lantas menyimpan minuman ringan yang tadi hampir ia buka lalu kembali beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan segelas air putih hangat. Rania segera meminumnya dan mengucapkan terima kasih dengan tulus. “Kau mandilah dulu, setelahnya aku akan obati luka-lukamu,” ucap Egi setelah meminum minumannya. “Di dalam sana sudah ada handuk. Jika kau butuh sabun, sampo atau sikat gigi, mereka ada di dalam dus di bawah westafel.” Rania hanya mengangguk dan menuruti permintaan Egi untuk membersihkan diri. Sedangkan Egi, ia kembali menuju dapur, mengorek-orek isi kulkas berharap menemukan sesuatu untuk dimasak. Tapi nihil. Ia hanya menemukan sebutir telur dan selebihnya hanya minuman ringan beserta tiga buah apel dan satu kantuong buah jeruk. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu Rania selesai mandi saja, menanyakan apa yang akan ia makan. Karena Egi menarik kesimpulan bahwa Rania tidak biasa memakan makanan sembarangan. Dia tidak mau salah membelikan makanan dan berakhir membuat anak orang keracunan. Berjalan ke arah sofa hitam di depan televisi, Egi menyalakan televisi tersebut, mencari chanel yang menarik dan pilihannya jatuh pada acara pertandingan sepak bola liga Inggris. “Kak!” Panggilan itu berasal dari toilet. Egi yang tengah menonton televisi segera beranjak dari tempat duduknya, menghampiri pintu toilet. Dan terlihatlah kepala Rania menyembul dari balik pintu yang dia buka sedikit. “Aku lupa, Kak. Aku tidak punya baju ganti,” cicit Rania dengan semburat merah di pipinya. Membuat Egi gemas ingin mencubit pipi yang sedikit gembil itu. Egi berpikir sejenak sebelum menjawab, “Aku punya kaus panjang yang lumayan kecil di tubuhku. Mungkin itu muat untukmu,” ujar Egi. "Tunggulah sebentar. AKu akan mengambilkannya." Egi lantas langsung melesat ke kamarnya. Takut jika terlalu lama, Rania bisa masuk angin. Beberapa saat kemudian pria itu kembali lagi dengan kaus cokelat panjang yang ia maksud. “Tapi, baju dalamanmu bagaimana? Aku tidak memiliki itu.” Egi berkata dengan nada santai, berbeda dengan Rania yang wajahnya seketika memerah. Hal tabu baginya membicarakan baju dalaman dengan seorang lelaki. Apalagi, mereka baru saja kenal beberapa saat lalu. Rania merasa malu sendiri. “Aku … tidak tahu, Kak.” Rania menjawab ragu. Lebih tepatnya juga sangat malu. Egi berpikir sejenak. Tidak sadar bahwa Rania sudah benar-benar ingin mengubur dirinya sendiri saking gugup dan malu di depan Egi. "Atau begini saja, sementara kau pakai dulu baju ini, kebetulan di seberang gedung ini ada butik. Aku akan membeli pakaian dalam untukmu.” Egi menyerahkan baju yang ia bawa. “I … iya terima kasih, Kak. Maaf merepotkan,” kata Rania pelan. Egi hanya membalasnya dengan senyum tipis lalu membalikan badan. Menghilang dari pandangan Rania. Dan, Rania baru sadar sesuatu, memangnya dia tahu ukuran tubuhku? Rania mendesah pelan. Sebab terlambat, karena Egi telah berlalu pergi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN