Dan seharian Liam bergelut dengan setumpuk pekerjaan yang seolah tidak ada ada habisnya, meeting dan kunjungan luar kantor. Itupun masih harus lembur hingga dia pulang telat. Sialnya lagi tadi sempat ada panggilan tak terjawab dari nomor Shera, tapi karena sibuk dia jadi lupa menelpon balik. Liam tahu, pasti Ganesh yang mencarinya.
Sudah jam sembilan lebih ketika dia sampai di rumah sakit. Setelah mengetuk pintu, dia pun masuk dengan perasaan tak enaknya. Bocah itu pasti ngambek, karena menganggapnya ingkar janji. Shera yang duduk di kursi samping ranjang pasien menoleh sebentar, lalu beralih lagi ke anaknya.
“Dia sudah tidur?” tanya Liam lirih.
“Belum,” geleng Shera.
Liam mendekat, lalu duduk di tepi tempat tidur. Ganesh langsung menarik selimutnya naik, menyembunyikan wajahnya. Liam meringis mendapati bocah itu benar-benar marah.
“Ganesh, Papa pulang kok malah ngumpet sih? Hari ini Papa sibuk banget, jadi tidak sempat angkat telepon dari kamu. Maaf ya,” ucapnya.
Tidak ada tanggapan. Bocah itu masih betah dengan marahnya meringkuk di balik selimut.
“Jangan diambil hati, aku tahu kamu sibuk. Ganesh nanti marahnya cuma sebentar juga pasti sudahan kok,” sahut Shera.
“Hari ini dia masih panas?” tanya Liam mengusap kepala Ganesh yang menyembul keluar.
“Siang masih panas, setelahnya tidak lagi. Dokter bilang kalau besok sudah tidak panas, lusa boleh pulang,” jawab Shera terlihat sedikit lega dengan kondisi anaknya yang mulai membaik.
Liam melepas sepatu, lalu berbaring di belakang Ganesh dan memeluk tubuh kecilnya.
“Maaf, Nesh jangan marah lagi. Hari ini Papa beneran sibuk banget. Lusa kalau sudah boleh pulang, Papa ajak Nesh beli dragon yang putih. Siapa itu namanya?” tanyanya pura-pura lupa.
“Light Fury,” jawab bocah itu dari dalam selimut.
“Oh iya, Light Fury. Biar nanti si Toothless ada temannya. Mau nggak?”
“Mau,” sahut Ganesh keluar dari selimutnya.
Shera dan Liam tertawa terkekeh. Ternyata semudah itu membujuk Ganesh. Atau tadi dia merajuk sebagai bentuk kekhawatirannya, kalau papanya tidak akan pulang lagi.
“Sudah nggak marah, kan?” gurau Liam mencium pipi Ganesh.
“Habisnya Papa ngeselin! Telponnya Nesh nggak diangkat, ditungguin juga nggak pulang-pulang. Nesh takut Papa pergi lama lagi kayak dulu,” protesnya.
“Nggak ada lain kali, setelah ini Papa akan sama Nesh terus,” tegas Liam.
Ponsel Shera berdering , dia segera mengangkatnya begitu melihat nama sahabatnya yang muncul.
“Gimana, sudah dapat tempatnya?” tanya Shera sembari bergegas menjauh.
Liam menatap punggung mama Ganesh yang berdiri di dekat jendela. Dia belum mencoba mengajak Shera bicara soal rencananya untuk memberikan tumpangan tempat tinggal di apartemen.
“Tidak apa-apa, aku ambil yang itu saja. Yang penting dekat dengan rumah kalian. Ganesh lusa kemungkinan sudah boleh pulang. Kebetulan kalau kontraknya sudah dapat.”
Liam masih menyimak pembicaraan Shera. Sepertinya dia harus mengatakan tentang apartemen itu, sebelum mereka terlanjur membayar uang muka kontrakan.
“Ganesh ….”
“Pulang dari sini ikut tinggal sama Papa, mau kan?”
“Tinggal dimana? Kan kita memang tinggal bersama, Pa?” tanya bocah itu bingung.
“Tinggal di apartemen,” jawab Liam, tapi dia sendiri bingung apakah juga harus tinggal bersama mereka di sana. Rasanya aneh harus tinggal serumah dengan wanita yang baru dikenalnya.
“Sama mama juga kan?”
“Iya dong,” angguk Liam.
Shera kembali dengan wajah berbinar senang. Tempat kontrakan sudah dapat, dia tidak perlu khawatir lagi memikirkan akan membawa Ganesh tinggal dimana lusa.
“Shera …,” panggil Liam bangun dan duduk menyandar di samping Ganesh.
“Iya ….”
“Lusa setelah keluar dari sini, kamu bisa membawa Ganesh tinggal dulu di apartemen milik adik bosku. Tempat itu sudah hampir setahun ini dibiarkan kosong. Dia mempersilahkan kalian untuk menempatinya dulu,” ucap Liam.
Jangankan apartemen, uang saja Shera tolak. Jadi dia langsung menggeleng menolak tegas tawaran Liam.
“Terima kasih, tapi tidak usah. Aku sudah mendapatkan tempat kontrakan. Tidak perlu merepotkan kalian lagi.”
“Kamu yakin akan aman tinggal di sana?” tanya Liam.
“Kami tidak punya apa-apa untuk dirampas. Mereka kalau mau jahat juga pasti malas berurusan denganku, karena nggak bakal dapat apa-apa.”
Bibir Liam berkedut ingin menyahut ucapan Shera yang terdengar enteng itu. Padahal dia tahu, wanita itu pasti juga dikejar rasa takut akan ipar brengseknya. Shera bahkan masih belum paham seberbahaya apa Cakra yang masih terus mengincarnya itu.
“Ganesh bukan anak yang gampang bergaul dan menerima lingkungan baru. Setidaknya di apartemen keamanannya lebih terjamin dan nyaman. Kondisi tubuhnya pun belum sepenuhnya pulih. Pikirkan juga itu!” ujar Liam.
“Terima kasih sudah memikirkan semua hal tentang Ganesh, tapi aku juga harus mengajari dia untuk beradaptasi dengan kondisi kehidupan kami yang sekarang. Mulai besok aku tidak ingin merepotkanmu lagi. Soal Ganesh, biar aku yang akan membujuknya,” sahut Shera.
“Kalau kamu memang bisa membujuknya, sekarang aku tidak perlu disini! Bicara itu gampang, tapi pertimbangkan juga kondisi mental anakmu!” ketus Liam sampai membuat Shera mendengarnya jadi jengkel.
“Aku ibunya, tidak perlu kamu ajari bagaimana sebaiknya mengurus dia. Aku memang berhutang banyak ke kamu, tapi bukan berarti kamu bisa mengaturku!”
“Bukan itu maksudku!” sela Liam.
“Biaya rumah sakitnya aku akan bayar sendiri semua. Ganesh juga harus mulai diajari untuk bisa menerima kenyataan, karena tidak mungkin seterusnya merepotkan orang lain untuk jadi pengganti papanya!” ucap Shera sebelum kemudian melangkah keluar dari sana.
“Shera ….”
Menutup pintu di belakangnya, Shera melangkah menjauh. Dadanya sesak bukan main. Siapa yang bisa memahami perasaannya. Saat dia masih berperang dengan sakitnya kehilangan, di saat yang sama justru dipertemukan pria mirip suaminya dengan kepribadian jauh beda dan selalu bicara menyakitkan hati.
Berdiri di balkon rumah sakit, Shera menatap gamang langit hitam di atas sana. Air matanya meleleh tidak tertahan lagi. Dia tidak sekuat itu, sebulan ini Shera sudah tercekik oleh keadaan karena tekanan keluarga mertuanya. Belum lagi harus mengurus Ganesh yang down karena tidak bisa menerima kematian papanya. Juga kelakuan b******k Cakra yang menjijikkan. Dia benar-benar nyaris gila.
Terisak lirih, Shera mencengkram erat pagar pembatas. Dia bukan cengeng, karena tahu masih ada Ganesh yang harus dia besarkan seorang diri. Sebentar saja, Shera hanya ingin meluapkan rasa sakitnya.
Matanya tertuju ke cincin nikah yang melingkar di jari manisnya. Cuma itu peninggalan suaminya yang tersisa sekarang, dan sepertinya dia terpaksa harus menjualnya untuk membayar rumah sakit dan penyambung hidup setelah ini.
“Mama ….”
Shera sontak menoleh, lalu buru-buru menghapus air matanya begitu melihat anaknya duduk di kursi roda tak jauh di belakangnya. Liam menatap lekat, seperti dugaannya kalau Shera pasti pergi untuk meluapkan kemarahannya.
“Kok nggak tidur, malah keluar?” tanya Shera tersenyum mendekat, lalu berlutut di depan anaknya.
“Dia ribut ngajak pergi cari kamu,” jawab Liam.
“Takut Mama marah karena Ganesh nakal, terus pergi ninggalin Nesh.” ucap bocah itu memeluk leher mamanya.
“Nggak, mana mungkin Mama ninggalin Ganesh.”
“Jangan nangis, Ma! Ganesh janji nggak akan rewel lagi. Nurut sama Mama,” gumam Ganesh malah mulai terisak.
Shera menghela nafas panjang, mati-matian menahan tangisnya. Dia mendekap erat anaknya. Iya, dia kuat. Apapun itu demi Ganesh dia pasti akan sanggup melaluinya.
“Mama nggak nangis kok, tadi cuma kena debu karena berdiri di luar. Yuk, balik ke kamar! Ganesh harus tidur!”
Shera berdiri, Liam yang masih bungkam mendorong kursi roda Ganesh. Meski sedikit menyesal karena ucapannya tadi yang mungkin agak kasar dan menyakiti hati Shera, tapi apapun caranya dia tidak akan membiarkannya membawa pergi Ganesh. Cakra pasti mulai menyebar orang untuk mencari mereka, jadi mana mungkin Liam membiarkan Shera muncul di tempat yang mudah diketemukan.
“Kamu boleh marah padaku, tapi aku tetap tidak akan membiarkanmu membawa Ganesh tinggal di tempat itu. Jangan keras kepala! Yang kamu hadapi adalah orang-orang yang sanggup melakukan apapun, demi mendapat apa yang mereka mau. Keselamatan Ganesh tetap yang utama, jadi percuma kamu membantahku!”
Shera menoleh dengan tatapan sengit. Iya, wajahnya memang mirip Darin, tapi mendiang suaminya tidak pernah bicara yang menyakitkan hati.
“Ikut denganku tinggal di apartemen, atau aku akan minta pihak rumah sakit untuk menahanmu disini. Angka tagihan bisa direkayasa, yakin kamu sanggup membayar semuanya?” ucap Liam menyeringai membalas tatapan marah Shera.