Bab.10 Perang Dingin

1977 Kata
Perang dingin, Liam dan Shera yang biasanya memang jarang bicara selain tentang Ganesh makin membisu. Tak masalah bagi Liam yang memang tidak suka berisik, tapi nyesek untuk Shera yang merasa semakin tertekan. Yang tadinya dia bersyukur karena merasa ditolong, sekarang jadi terkekang kelakuan arogannya. Bagaimana dia mau melawan, sedang Liam sudah ancang-ancang akan membengkakkan tagihan rumah sakit. Sekelas Medical Centre dan menempati VIP room, sudah pasti Shera harus merogoh banyak uang untuk membayar perawatan Ganesh. Belum lagi jika pria menyebalkan itu membuktikan ancamannya untuk membengkakkan biaya demi membuat Shera menuruti kemauannya. “Pagi anaknya Papa!” sapa Liam keluar dari bilik sebelah, bersiap mau berangkat ke kantor. “Pagi, Pa!” sahut Ganesh tersenyum lebar. Melengos menyingkir dari samping anaknya, Shera beranjak mengambil makan pagi yang disiapkan rumah sakit. Liam duduk di tepi tempat tidur, mengusap lembut luka di kening Ganesh yang sudah tidak diperban lagi. “Masih pusing?” “Nggak,” geleng Ganesh duduk memeluk dragon hitamnya. “Nanti siang Papa ada kerjaan di luar, kalau sempat Papa mampir buat makan siang sama Ganesh.” “Beneran?” sahut bocah itu antusias. “Iya, tapi nggak janji. Kalau ternyata waktunya mepet nanti Papa kabarin Ganesh,” ucap Liam. Shera mendekat, meletakkan baki berisi menu makan pagi anaknya di nakas lalu menarik overbed table. Dia memindahkan baki itu di atasnya. “Nesh mau makan sendiri atau Mama suapin?” tanya Shera. “Disuapin Papa,” jawabnya menatap Liam. “Om Liam mau berangkat kerja, nanti telat!” sahut Shera mengambil sendok. Liam melempar tatapan tajamnya mendengar ucapan ketus Shera, tapi wanita itu bahkan sama sekali tidak ambil pusing dan mulai menyuapi Ganesh yang langsung terdiam dengan muka masam. “Kalau marah cukup ke aku, tidak usah bawa-bawa anak!” balasnya mengambil alih sendok di tangan Shera. Menghela nafas kasar, ingin sekali rasanya Shera menggendong anaknya pergi dari sana sekarang juga. Dia menyambar ponselnya, lalu menjauh duduk di sofa. Membiarkan Liam mengobrol sambil menyuapi Ganesh makan. Pesan yang ingin dia kirim ke En berkali-kali dihapus dan ditulis lagi. Bingung mau tetap mengambil kontrakan itu atau menuruti kemauan Liam tinggal di apartemen yang sudah disiapkan. Matanya tertuju ke cincin di jari manisnya. Bahkan cincin nikah milik suaminya pun diambil oleh mereka. “Aku harus bagaimana, Mas?” keluhnya menatap lekat foto mendiang suaminya di layar ponsel. “Uang yang di laci kenapa masih utuh?” tanya Liam tanpa repot-repot menoleh ke arah Shera. “Tidak butuh,” jawabnya. Buat apa? Sedang makan dia dan Ganesh sudah disediakan oleh rumah sakit. Kalaupun mau beli keperluan lain, Shera juga masih punya uang sendiri. “Selain keras kepala, ternyata sombongmu juga minta ampun!” cibir Liam. Shera hanya mengeratkan giginya, mencoba sabar tidak menanggapi mulut pedas Liam. Akan seperti apa hidupnya nanti kalau harus tinggal dan terus berada di bawah kekangan pria arogan itu. Kerja, mungkin setelah ini dia akan mulai mencari playgroup untuk Ganesh supaya dirinya bisa mulai mencari uang. Shera tidak mau lebih lama lagi berurusan dengan dia. “Maaf En, tempat kontrakannya aku tidak jadi ambil. Liam sudah menyiapkan apartemen untuk kami tinggali. Sekali lagi maaf ya, aku yang plin-plan jadi merepotkan kalian.” tulisnya, lalu mengirimkan pesan itu ke sahabatnya. Sementara terpaksa begini dulu. Paling tidak sampai dia punya pekerjaan dan bisa mendapat tempat tinggal yang nyaman dan aman buat Ganesh, supaya Liam tidak punya alasan menahan mereka lagi. Pintu diketuk, Shera langsung bangun dari duduknya begitu melihat Dokter Sifa yang muncul dari sana. “Pagi, Dok!” sapa Shera. “Pagi juga mamanya Ganesh,” sahutnya dengan senyum ramah. “Kok pagi-pagi sudah sampai sini, Tante?” tanya Liam. “Tadi dapat kabar kondisi kakeknya Key drop, tapi masih di tengah jalan sudah dihubungi lagi kalau orangnya meninggal,” jawab Dokter Sifa. Sedikit kaget, Liam merogoh ponselnya yang berdering. Shera menggantikan menyuapi anaknya begitu Liam menyingkir untuk mengangkat teleponnya. “Dokter Anton bilang keadaan Ganesh katanya sudah membaik. Kalau tetap stabil tidak demam lagi besok sudah boleh pulang. Syukurlah, cepat sembuh dan sehat lagi ya Ganesh!” ucapnya dengan tatapan lembut. “Iya, terima kasih untuk semua bantuan kalian. Ganesh mendapat perawatan terbaik disini, makanya juga bisa lebih cepat sembuh. Terima kasih banyak, Dok.” “Sama-sama, Shera. Maaf kalau lancang, kalau boleh tanya setelah ini apa rencanamu? Tempat tinggal sudah dapat kan?” tanya dokter cantik itu dengan hati-hati supaya tidak menyinggung perasaan mama Ganesh. Yang Shera tidak tahu, mereka sudah mendapatkan semua informasi tentang dia dan keluarganya. Itulah kenapa Dokter Sifa juga menaruh perhatian besar dan mengkhawatirkan Shera juga anaknya. “Tadinya mau pindah ke kontrakan, tapi sama Liam disuruh tinggal dulu di apartemen. Nanti setelah keadaan Ganesh sembuh total, baru mau cari pekerjaan,” jawab Shera. “Kamu dulu pernah kerja dimana?” tanya dokter pemilik rumah sakit itu. “Di perusahaan mendiang suami saya, Dok. Bisa dibilang kami merintis bisnis itu bersama dari nol, sampai kemudian bisa berkembang pesat. Tapi, setelah menikah dan melahirkan Ganesh saya tidak sepenuhnya ikut bekerja di kantor. Hanya membantu beberapa pekerjaan saat dia kewalahan saja,” jelas Shera yang juga ikut didengar oleh Liam. “Wah, kalau begitu tentu bukan masalah kalau kamu ingin mendapat pekerjaan bagus. Hubungi aku kalau kamu berminat bekerja disini atau di kantor suamiku!” ucap Dokter Sifa mengulurkan ponselnya meminta Shera memberikan nomor teleponnya. Shera yang tidak menyangka akan mendapat tawaran itu melongo dengan muka cengo. “Serius, Dok?” “Iya iya lah, masa hal begini dibuat bercanda. Nanti sore kamu ajak Ganesh naik ke ruang kerjaku. Aku akan tunjukkan beberapa pekerjaan di bagian administrasi yang mungkin bisa kamu ambil.” Senyum tersungging di bibir Shera, lalu mengambil ponsel dokter itu dan memasukkan nomornya. Sifa melirik ke arah Liam yang menatap datar. “Untung di aku kalau Shera beneran mau bekerja disini. Dia punya skill dan jam terbang yang sudah pasti menjanjikan. Terima kasih sudah membawa Shera kesini ya, Liam!” Liam hanya nyengir. Dia sendiri juga tidak menduga, kalau Shera ternyata punya andil membangun perusahaan yang sekarang dikuasai oleh Cakra itu. “Tante juga mau ke rumah kakek Key kan? Om Ibra bilang semua meeting ditangguhkan nanti sore, kami akan ke rumah duka dulu,” ucap Liam. “Iya, habis ini nanti langsung berangkat ke kediaman keluarga Nugroho.” “Terima kasih untuk tawarannya, Dok!” Shera mengembalikan ponsel Dokter Sifa. “Nanti sore aku tunggu ya?” “Ok,” angguk Shera. Dokter Sifa beranjak keluar, meninggalkan mereka yang kembali membisu. Shera membereskan bekas makan anaknya, lalu memindahkan ke meja belakang. “Nanti siang Papa nggak jadi balik, Ganesh disini dulu sama mama. Besok kalau sudah boleh pulang, Papa antar ke apartemen,” ucap Liam mengambil tisu mengelap kotor di bibir bocah itu. “Iya,” angguk Ganesh. Liam menoleh ke Shera, lalu melangkah ke sofa dan melambaikan tangan memintanya duduk di sana. “Kita bicara sebentar!” ajaknya setelah melirik jarum di jam tangannya. Masih ada sedikit waktu sebelum dia harus berangkat. Dengan setengah hati Shera duduk di seberang Liam. Membalas tatapan mata tajam pria yang entah ingin melontarkan ucapan pedas apalagi padanya itu. “Kamu cari kerjaan?” “Tentu saja, aku tidak mau nanti dibilang benalu,” jawabnya ketus, tapi Liam justru tersenyum menyebalkan. “Lalu bagaimana dengan Ganesh?” tanya Liam lagi. “Nanti aku akan mencari playgroup. Seumuran dia sudah cukup untuk mulai dikenalkan dengan sekolah, supaya punya teman bermain.” “Playgroup nanti biar aku yang carikan. Kamu kalau memang mau kerja jangan disini! Aku akan bicara dengan bosku dan mencari posisi yang tepat di kantor untukmu,” ucap Liam. Shera mendengus, lagi-lagi pria ini ingin mengatur hidupnya. Setelah tempat tinggal, sekarang playgroup untuk Ganesh dan pekerjaan pun dia juga ingin mendektenya. “Setelah kontrakan, sekarang soal playgroup dan pekerjaan pun kamu juga ingin ikut campur. Apa sebenarnya maumu? Dipanggil papa oleh anakku, bukan berarti kamu juga berhak mengatur apapun tentang kami. Aku berterima kasih karena kamu sudah menolong kami. Sudah cukup, setelahnya biarkan aku menjalani kehidupan kami sendiri!” tegas Shera yang tidak ingin semakin terperosok hutang budi dan segala aturan pria ini. “Jadi kamu memilih mengedepankan egomu dibanding keselamatan anakmu? Kamu pasti tahu orang seperti apa Cakra Pangestu. Kalau dia bisa melakukan segala cara untuk merampas perusahaan suamimu, maka bukan hal sulit baginya memburu keberadaanmu dan Ganesh. Paham!” ucap Liam dengan suara meninggi. “Kamu mencari tahu tentang kami?!” sahut Shera melotot marah. Tidak menyangka Liam akan berbuat sejauh itu. “Aku tidak akan sembarangan meminta kalian tinggal, jika tidak tahu duduk masalahnya dan latar belakang kalian.” “Apa pedulimu?!” seru Shera dengan suara gemetar. “Aku hanya peduli ke Ganesh, jadi jangan besar kepala! Kamu tahu, Cakra juga orang yang sama yang sedang berusaha mengorat-arit bisnis kami. Sekarang kamu masih merasa mampu bersembunyi dari dia, tapi nanti saat sudah berada di genggamannya kamu pasti akan menangis darah! Terpikir tidak bagaimana nasib Ganesh?!” ucap Liam tanpa sedetik pun mengalihkan tatapannya dari Shera yang duduk dengan wajah kaku memerah. Sifat keras kepala wanita di hadapannya itu benar-benar membuatnya pusing. Setelah semua yang terjadi dan dihadapkan pada kelakuan busuk keluarga mertuanya, Shera masih belum sadar juga kalau mereka adalah orang-orang berbahaya. Dan, yang sekarang dia pertaruhkan adalah keselamatan anaknya. “Apa susahnya menurut? Aku bukan orang baik, tapi setidaknya benar-benar ingin membantu anakmu supaya tidak jatuh ke orang jahat. Dengarkan aku dulu, paling tidak sampai masalah Cakra bisa aku bereskan dan kalian bisa hidup aman. Pria itu berbahaya dan kamu jangan harap bisa lari dari kejarannya!” Shera bungkam, menelan semua amarahnya. Iya, dia juga tahu sebusuk apa sepak terjang Cakra. Tapi, rasanya dia juga tidak sanggup kalau harus hidup berada dibawah tekanan Liam. Air matanya meleleh, terlalu menyakitkan saat dihadapkan pada wajah yang sama tapi sikap yang berlawanan. Dia seperti dipaksa kembali menjalani hidup bersama suaminya, tapi sebagai orang asing yang selalu ketus dan menatapnya tidak suka. Itu lebih menyakitkan bagi Shera daripada saat harus mengantar suaminya ke liang kubur. “Jangan cengeng! Kalau kamu selalu mengajakku ribut dan menangis seperti orang tertindas, nanti Ganesh mengira aku yang jahat ke mamanya!” ucap Liam beranjak berdiri dan masuk ke bilik sebelah. Shera mengusap air matanya, menghirup dalam-dalam nafasnya dan menghembuskan dengan d**a sesak bukan main. Dia seperti dipaksa berdiri diantara dua pilihan yang sama-sama sulit. Pergi dengan resiko jatuh ke tangan Cakra, atau bertahan di samping Liam dengan rasa sakitnya. Tak lama pria itu keluar dengan kemeja warna hitam. Dia berlalu begitu saja melewati Shera dan menghampiri Ganesh di tempat tidurnya. “Papa berangkat dulu, yang nurut sama Mama! Besok Ganesh sudah boleh pulang dan tidak perlu diinfus lagi,” ucapnya mengusap kepala Ganesh. “Iya,” angguknya, lalu mencium tangan Liam. Wajahnya terlihat muram, mungkin karena barusan mendengar pembicaraan mereka dan melihat mamanya menangis. “Papa ….” “Iya ….” “Mama jangan dimarahi. Ganesh nggak suka lihat mama menangis,” ucap bocah itu lirih dengan tatapan sedihnya. “Maaf, nggak lagi kok.” Liam kemudian kembali ke sofa dan mengambil jasnya. Sempat menghela nafas kasar mendapati Shera yang masih duduk membisu dengan mata sembabnya. Sekarang dia marah dan pasti mencacinya, tapi nanti saat tahu seperti apa sebenarnya seorang Cakra pasti Shera akan bersyukur menuruti omongannya. “Bilang ke temanmu, untuk sementara jangan datang menemui kalian dulu!” Shera mendongak dengan mata melotot, tapi sebelum dia melontarkan protesnya Liam sudah membungkamnya lagi. “Cakra pasti sudah menyebar anak buahnya mencari kalian, termasuk mematai-matai temanmu. Diam di sini dulu! Aku akan meminta anak buahku untuk menemani kamu dan Ganesh disini. Kalau butuh sesuatu, kamu cukup bilang ke dia!” ucapnya, lalu melangkah pergi dari sana. “Sialan!” umpat Shera lirih begitu Liam menghilang di balik pintu. Diberi penjaga, sekarang dia benar-benar diperlakukan seperti tahanan. Shera mulai menebak-nebak, orang seperti apa sebenarnya Liam sampai bisa menjadi lawan bisnis Cakra. Lebih pusing lagi karena mulai sekarang, dia harus menuruti semua aturan pria arogan satu itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN