Bab.8 Terungkap

1701 Kata
Shera sempat tertegun melihat Liam yang keluar dari bilik sebelah dengan keadaan rapi mengenakan pakaian kerjanya. Dadanya berdenyut nyeri mendapati pria yang makin tampak mirip dengan sosok mendiang suaminya itu. Terlebih dengan pakaian seperti itu. Menghela nafas panjang, dia langsung mengalihkan matanya yang terasa panas begitu pandangan mereka tanpa sengaja bertubrukan. “Papa …,” panggil Ganesh yang duduk menyandar dengan kening tertempel plester demam. “Belum turun panasnya?” tanya Liam. “Belum, tapi tadi sudah diberi obat turun panas,” jawabnya. Liam mendekat, meletakkan jasnya dan mengangkat tubuh Ganesh ke gendongannya. Bocah itu meringkuk dengan mata sayu dan badannya yang terasa panas. “Cepat sembuh! Nanti Papa ajak jalan-jalan dan beli banyak mainan. Ya?” “Hm,” angguknya memeluk leher Liam. “Kepalanya masih pusing?” “Masih,” gumam Ganesh. “Harus makan, minum obat dan istirahat. Papa kerja, Nesh nggak boleh nangis. Nanti pulang Papa langsung kesini lagi. Nesh mau dibelikan apa?” tanya Liam sekaligus membujuknya biar tidak rewel, karena dia harus kerja seharian. Bahkan kadang lembur sampai larut. “Nggak mau apa-apa. Cuma mau Papa cepat pulang,” jawabnya. “Ok,” sahut Liam memeluk tubuh kecilnya sambil mengelus punggungnya. Shera yang duduk di kursi samping ranjang hanya diam menonton dengan pikiran campur aduk. Semalam Liam kembali sekitar pukul dua dini hari. Entah pekerjaan apa yang dia harus selesaikan hingga selarut itu. Interaksi mereka masih tetap seperlunya saja, sebatas soal Ganesh. Selebihnya tidak pernah mengobrol. Kadang Shera merasa tidak nyaman saat harus berduaan, tapi mau bagaimana lagi. “Papa berangkat kerja dulu. Nesh boleh telpon. Kalau tidak sedang sibuk pasti Papa angkat,” pamit Liam membaringkan Ganesh di tempat tidur. “Jangan lama-lama perginya ya, Pa?” sahut Ganesh was-was. “Nggak, kan Papa sudah bilang nanti pulang kerja langsung kesini menemani Ganesh. Yang nurut kata mama. Kasihan mama kamu capek dan kurang tidur. Ya?” Ganesh mengangguk, meraih tangan Liam dan menciumnya. Speechless, Liam sampai cengo mendapat perlakuan seperti itu. Perasaannya menghangat, terharu dengan sikap hormat Ganesh.Dia benar-benar dianggap dan diperlakukan seperti papanya. Setelah menunduk mencium kening Ganesh, Liam meraih jasnya. “Di laci kamar sana ada uang, kamu pakai saja untuk beli keperluanmu dan Ganesh.” “Nggak usah, aku masih ada!” Shera sontak menolak pemberian Liam. Mana mungkin dia tidak tahu malu masih menerima uang pria yang telah begitu banyak membantunya. “Aku memberikannya untuk Ganesh, bukan untuk kamu! Beli apapun yang dia mau,” ujar Liam nyelekit dengan wajah masamnya. Shera meringis, makin kesini makin pedas saja mulut Liam. Tapi tidak apa, karena dia memperlakukan anaknya dengan begitu sayang. “Terima kasih,” ucap Shera melengos menghampiri Ganesh. Liam melangkah ke arah pintu, tapi kakinya kembali berhenti oleh panggilan anaknya. “Pa ….” “Iya ….” “Kok mama nggak disayang?” “Haa?!” Liam melongo kaget sekaligus bingung. Sama seperti Shera yang malu dan salah tingkah. “Nggak mau, mama kan belum mandi!” sahut Liam sebelum beranjak keluar. Shera mendengus. Baiknya memang bikin kagum, tapi mulut dan kelakuannya luar biasa ngeselin. “Mama …” “Hm ….” “Papa nanti pulang lagi, kan?” tanyanya masih merasa takut ditinggal Liam. “Iya, pulang lagi kok.” Ganesh menarik selimutnya, memeluk boneka dragonnya dengan mata terpejam. Shera melirik ponselnya di atas nakas yang berdering lirih. Pria b******k itu masih terus menerornya dengan begitu banyak panggilan dan chat, tapi tak satupun dia gubris. Dia tahu Cakra punya kuasa untuk mendapatkan apapun yang diinginkannya, termasuk memburunya dan Ganesh. Tapi, lebih baik dia mati daripada jadi jalang simpanan pria b***t satu itu. *** Menapakkan kaki di lobi kantor, Liam hanya mengangguk saat disapa pegawai disana. Dia adalah satu-satunya petinggi perusahaan yang berumur relatif muda. Pernah ditawari untuk bergabung dengan perusahaan orang tua Cello, tapi Liam menolaknya dan memilih untuk di samping bosnya. Semua yang dia dan keluarganya miliki sekarang, bisa dibilang adalah pemberian bosnya. Kehidupan yang layak sedari kecil, pendidikan di sekolah elit, tempat tinggal dan pekerjaan. Bahkan mereka diperlakukan layaknya keluarga. Jadi bukankah sudah semestinya kalau Liam balas budi dengan menjadi tangan kanan bosnya. “Liam ….” Panggilan itu membawanya menoleh, lalu mengangguk sopan. Ibra Abraham, orang yang jadi penyelamat dan panutan seorang Liam itu datang mendekat. Di sampingnya ada Naresh, sahabat sekaligus IT manager LinZone. Dulu Naresh juga yang menjadi penanggung jawab Mirror sebelum ditarik menempati jabatan disini. “Pagi, Om.” “Ikut ke ruanganku sebentar! Ada hal penting yang ingin aku bahas,” ucap Ibra Abraham masuk ke lift khusus. Ada yang tidak beres, Liam mulai merasa begitu. Bosnya hanya diam, sedang Naresh menatapnya lain. Itu membuat Liam semakin penasaran sekaligus tidak nyaman. “Mirror aman, kan?” tanya Naresh saat lift naik ke lantai paling atas. “Mereka mulai memancing-mancing perkara. Semalam ada yang sempat saya tendang keluar,” jawab Liam. “Sepertinya laga perang kali ini memang diperuntukkan buat kamu. Anggap saja uji kemampuan hasil didikan Om Bimo dan bosmu, karena Red Flag juga musuh yang lumayan,” ujar Naresh tersenyum ke Liam. Lift berhenti, begitu pintu terbuka dia dan Naresh mengikuti langkah bosnya menuju ke ruang kerjanya. Dua sekretaris boss berdiri dan menyapa sopan, sedang mereka bablas masuk ke dalam. Naresh langsung menyalakan laptop di atas meja. Liam sama sekali tidak bisa menebak apa sebenarnya yang ingin mereka tunjukkan padanya. “Xena sudah mendapatkan informasi tentang bocah yang kamu tolong itu juga ibunya. Dan kamu tahu, hasilnya sungguh luar biasa kebetulan. Sampai-sampai Xena perlu memberitahu aku dulu soal ini!” ucap Ibra. “Memangnya ada apa dengan Shera dan Ganesh, Om? Apa ada yang janggal?” tanya Liam. “Lihat ini!” Naresh menunjukkan informasi yang didapat dari Xena. Mata Liam terbelalak lebar. Otaknya bahkan butuh sedikit lebih banyak waktu untuk mempercayai penglihatannya. Iya benar, ini memang sebuah kebetulan yang luar biasa. Shera adalah adik ipar Cakra Pangestu. “Pantas saja Shera juga menyebut nama ipar brengseknya itu Cakra. Ternyata memang orang yang sama. Ceritanya pun persis dengan yang Nova semalam bilang. Suami Shera meninggal karena kecelakaan, kemudian dia dipaksa menandatangani surat penyerahan warisan dan diusir dari rumah.” “Coba kamu lihat foto mendiang suami Shera!” ucap Naresh. Liam menscroll turun, dan melongo karena mukanya yang ternyata punya kemiripan dengan Darin. Pantas, pantas saja begitu bertemu Ganesh langsung nangis kejer mengira dia adalah papanya. “Nggak apa-apa kamu dijadikan duplikat papanya?” tanya Ibra, dan Liam langsung menggeleng. “Tidak apa, karena saya tetap yakin tidak ada yang namanya kebetulan. Kalau keberadaan saya memang bisa mengobati luka karena kehilangan papa di hati Ganesh, saya tidak keberatan membiarkannya tetap tinggal dan menganggap saya papa." Jawaban tegas tapi tulus Liam itu tak urung membuat mereka kagum. Mungkin Liam merasa nasib Ganesh sama malangnya dengan dirinya dulu, jadi lebih mudah baginya menerima kehadiran bocah itu. “Sekarang identitas mereka sudah gamblang, jadi apa langkahmu selanjutnya? Om hanya ingin apapun keputusanmu harus dipikir dulu secara matang, termasuk semua resikonya. Berhadapan dengan Cakra itu pasti, apalagi kalau dia tahu Shera dan anaknya tinggal bersamamu. Itu berarti kamu juga harus siap kalau keluargamu ikut diusik nantinya,” ujar Ibra sempat membuat Liam terpaku. Masalah itu luput dari perhitungannya. Ayahnya sudah pasti paham apa yang harus dilakukan jika berurusan dengan orang seperti Cakra, tapi tentu saja tidak dengan Letta. “Liam ….” “Ya, Om.” “Berkacalah dari kisah Satria yang dulu juga rela dipanggil papa oleh Nay. Ini bukan lagi masalah kamu rela atau tidak rela jadi duplikat papa bocah itu, tapi ada hati seorang anak kecil yang dipertaruhkan disini. Ganesh menganggap kamu papanya, tidak bisa lepas dari kamu. Kalau lalu kamu mengajaknya tinggal bersama, berarti kamu juga harus siap kehilangan sebagian hidupmu untuk jadi papa sebenarnya untuk dia. Yakin kamu sanggup?” tanya Ibra tampak serius. “Aku belum bertemu dengan dia, tapi aku juga seorang papa. Tidak terbayang bagaimana rasanya kalau anakku yang berada di posisi Ganesh. Jadi pikirkan baik-baik bagaimana cara tepat membantu mereka. Jangan sampai nantinya di tengah jalan kamu menyesal, dan justru semakin melukai hati juga perasaan bocah itu. Kasihan dia,” lanjutnya. Liam masih tetap terlihat tenang, seperti sudah mantap dengan pendiriannya. Justru sekarang dia tahu kalau hidup Shera dan Ganesh tidak aman karena diincar oleh orang berbahaya seperti Cakra, maka dia perlu melindungi mereka. “Satu hal lagi, Liam. Kamu juga harus siap menyesuaikan diri hidup bersama Shera. Awas nanti jatuh cinta!” timpal Naresh terkekeh. “Nggak bakalan!” tegas Liam. “Apa itu berarti kamu sudah punya incaran lain?” goda Naresh. “Siapa? Apakah Nay?” tebak Ibra, dan Liam langsung blingsatan menyangkal. Nay atau Naya adalah cucu yang punya perusahaan ini, meski bukan cucu kandung. “Nggak kok, Om. Bagiku Nay itu sama seperti Letta. Saya anggap adik karena memang sejak kecil kami selalu bersama.” Liam kembali menatap info penting di laptop depannya. Melihat satu-persatu mertua dan juga para ipar Shera yang Ganesh bilang jahat itu. “Darin, ayahnya dan juga Cakra punya nama belakang Pangestu. Kenapa Ganesh tidak?” ucap Liam heran. “Itu nanti yang akan aku cari tahu dulu, karena sepertinya keluarga mereka tidak sesederhana itu. Cakra dan Hilda jelas anak tiri, bawaan ibunya saat menikah dengan ayah Darin. Tapi, sikap dingin Hasan Pangestu saat anaknya mati, lalu tega bersekongkol merampas warisan dan mengusir cucunya sendiri itu perlu dipertanyakan. Normalnya sejahat apapun dia tidak mungkin tega ke cucunya sendiri,” sahut Naresh. Iya, sepertinya memang masih ada banyak hal yang perlu mereka gali lagi. Mata Liam kembali mengernyit mendapati informasi tentang Shera. Ibunya ternyata juga belum lama meninggal dalam kebakaran di rumahnya. Benar-benar sedang ketiban sial hidup wanita itu. “Mereka jadi mau kamu boyong ke apartemen?” tanya Ibra. “Jadi, disana pasti juga lebih aman karena tidak sembarang orang bisa masuk.” jawab Liam mengangguk. “Apapun keputusanmu pasti kami dukung, tapi ingat dan coba pikirkan lebih matang lagi semua ucapan Om tadi! Kita hanya sama-sama tidak ingin nanti Shera dan anaknya justru akan semakin terluka, oleh ketidaksiapanmu menerima mereka di hidupmu. Paham kan kamu.” “Iya, saya paham maksud Om Ibra,” angguk Liam. Ganesh, Liam benar-benar lega karena setelah ini bisa terus bersama bocah itu. Dia juga tidak peduli kalaupun dianggap duplikat, karena wajahnya yang kebetulan mirip dengan papa kandungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN