Pagi Ganesh terbangun dengan kondisi yang masih lemah dan wajah pucat. Keadaannya masih jauh dari kata baik-baik saja. Hanya saja dia tidak rewel karena ada Liam disana. Namun, justru itu yang membuat Shera makin trenyuh. Anaknya seperti paham pria itu bukan papanya, tapi tetap enggan membiarkannya pergi dan tetap memilih seperti itu. Entah karena mirip, atau rasa nyaman oleh perlakuan lembut Liam yang sama sekali tidak keberatan jadi sosok pengobat rindunya terhadap sang papa.
Suapan Liam berhenti ketika Ganesh mual hampir muntah. Bocah itu duduk dengan nafas terengah, sedang Liam menepuk lembut punggungnya.
“Nggak mau makan lagi,” ucapnya menggeleng.
“Iya, yang penting biar sedikit sudah makan. Jadi nanti bisa minum obat,” sahut Liam.
Shera menyingkirkan sisa makan anaknya. Melihat keadaan Ganesh yang belum juga membaik, sepertinya dia harus menebalkan muka membiarkan anaknya dirawat beberapa hari lagi. Terlebih dia juga belum mendapat kontrakan. Mau dibawa pulang kemana anaknya nanti, sedang kondisinya masih sakit begitu.
“Mau nonton kartun, nggak?” tanya Liam meraih remote dan menyalakan televisi.
“Mau,” angguknya.
“Nesh suka yang mana?” tanya Liam, karena dia kurang paham soal kartun kesukaan anak kecil.
“Dragon,” jawabnya, tapi Liam meringis tidak paham dragon yang mana.
“Biar aku yang cari!” sahut Shera mengambil remote di tangan Liam.
Senyum tersungging di wajah Ganesh begitu film kesukaannya muncul disana. Liam melirik wajah tampan bocah itu. Sekarang dia benar-benar bisa dengan jelas memperhatikan bocah yang mendadak menjadi anaknya itu.
“Nama panjangnya Ganesh siapa?” tanya Liam.
“Ganesh Caturangga,” jawabnya lirih.
“Sudah sekolah?”
“Belum,” gelengnya.
Pintu diketuk dari luar, melihat dokter datang bocah itu langsung ketakutan. Dia mendusel memeluk lengan Liam yang duduk di sampingnya.
“Selamat pagi, Ganesh!” sapa dokter itu ramah.
“Nesh nggak mau disuntik, Pa,” rengeknya menangis.
“Nggak disuntik, dokter cuma mau periksa sebentar.” Liam meraih tubuh bocah itu dan dibawa duduk di pangkuannya. Hanya dengan begitu bisa membuat Ganesh tidak lagi ketakutan.
Perhatian mereka kembali teralih ke arah pintu. Shera sempat mengernyit bingung mendapati Cello yang datang dengan dua orang wanita beda umur, tapi dia langsung tanggap saat dokter dan suster menyapa hormat ke wanita di samping Cello itu.
“Pagi, Bu Sifa!”
“Pagi, Dokter Anton.”
Shera mengangguk sopan, lalu mendekat ke samping Liam. Sifa Haidar, nama pimpinan rumah sakit ini sekaligus pemilik saham terbesar Medical Centre.
“Minggu kok ke rumah sakit, Tan?” tanya Liam, sedang wanita itu tersenyum mendekat dan menatap bocah di pangkuannya.
“Mau lihat anakmu,” jawabnya.
Dokter memeriksa Ganesh yang meringkuk takut di pelukan Liam. Cello tidak berhenti nyengir sejak masuk tadi, sedang gadis muda di sebelahnya menatap lekat Liam dan Ganesh.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok? Panasnya naik turun terus,” tanya Shera khawatir.
“Dirawat dulu ya! Mungkin butuh dua atau tiga hari, sedang panasnya akan berangsur berkurang nanti. Untuk sekarang akan seperti ini, panasnya terus naik turun.”
Mau tidak mau Shera mengangguk. Dokter undur diri setelah suster memberikan obat untuk Ganesh. Suasana jadi sedikit canggung. Shera benar-benar rikuh berada diantara orang-orang yang tidak dikenalnya, terlebih melihat Ganesh yang mendusel di pelukan Liam.
“Saya Shera, mamanya Ganesh. Sebelumnya terima kasih sudah dibantu memberi pengobatan untuk anak saya,” ucapnya ke Sifa.
“Tidak apa-apa, yang penting Ganesh segera sembuh. Iya kan, Ganesh? Cepat sembuh, ya!” sahut dokter ahli bedah berparas cantik tegas, tapi ramah itu mengusap kepala Ganesh.
“Ini mamaku, Dokter Sifa Haidar. Dan yang ini adiknya Liam, Letta.”
Mendengar Cello memperkenalkan mereka, Shera sontak semakin meringis sungkan ke arah Letta. Malu bukan main karena kakaknya yang terpaksa tertimpa tanggung jawab atas anak orang asing yang bukan siapa-siapa mereka.
“Maaf, kakakmu dipinjam sebentar oleh anakku.”
Mendengar itu sontak saja mereka tertawa geli, terlebih Liam yang menoleh dengan bibir berkedut.
“Kamu pikir aku barang, bisa dipinjam-pinjam!” tanggapnya.
“Bukan begitu maksudku. Aku cuma tidak enak ke adikmu, karena kakaknya tiba-tiba diaku papa oleh anakku. Nanti setelah keadaan Ganesh membaik aku akan sesegera mungkin membawanya pergi, tidak akan merepotkan kalian lagi. Maaf,” jelas Shera bahkan sampai membungkuk di depan mereka.
“Mana bisa pergi begitu saja setelah meminjam kakakku! Minimal ganti Ganesh yang kami pinjam,” sahut Letta.
“Haa?!” Shera mendongak dengan muka cengo, tapi mereka malah tertawa.
“Kamu tahu, siapa yang sudah kamu pinjam untuk jadi papanya Ganesh itu?” tanya Cello mengulum senyum.
“Tidak,” geleng Shera.
Bertemu juga baru semalam, itu pun karena kebetulan. Dia hanya tahu namanya Liam Narapati dan juga nomor teleponnya, karena biar semalam sama-sama menginap disini mereka juga saling diam tidak mengobrol.
“Liam manajer pemasaran di LinZone. Jangan bilang kamu juga tidak tahu LinZone!” sahut Cello.
Shera menoleh ke arah Liam. Tidak tahu lagi harus bagaimana menanggapi fakta, dia yang ternyata sudah merepotkan orang-orang penting seperti mereka. LinZone, perusahaan farmasi raksasa milik konglomerat Jonathan Lin. Dan hebatnya Liam adalah manajer pemasaran disana. Tapi, malah mau-maunya buang waktu momong anaknya disini.
“Maaf,” hanya itu yang bisa Shera ucap.
“Kamu tidak punya kosakata lain ya! Dari semalam maaf-maaf terus. Aku orangnya pendendam, tidak punya banyak stok maaf yang bisa kamu minta!” ketus Liam.
“Bang! Apaan sih galak gitu!” sahut Letta yang tidak enak hati melihat Shera sudah gugup hampir menangis karena malu.
“Jangan diambil hati, Shera. Liam memang gitu orangnya. Mulutnya pedas, tapi baik kok,” timpal Dokter Sifa.
“Abangmu dari semalam bentak-bentak orang terus, Ta. Habis makan petasan, kali!” cibir Cello.
Melihat adiknya melotot, Liam buru-buru mengambil obat dari suster untuk diberikan ke Ganesh.
“Minum obat dulu, yuk!” bujuknya dengan suara lembut dan muka kalem, seratus delapan puluh derajat beda jauh dengan cara dia bicara ke Shera juga orang lainnya.
“Cih, dasar landak berbulu kelinci!” Cello kembali mencibir temannya, sedang Dokter Sifa dan Letta tertawa cekikikan.
“Memang ada yang begitu?” tanya Dokter Sifa.
“Itu yang lagi mendadak papa!” sahutnya mengedikkan dagu ke Liam.
Shera mengambil air putih, sedang Liam mendudukkan Ganesh dan meminumkan obatnya. Bocah itu sempat merengek dan mual nyaris muntah, tapi Liam segera menepuk-nepuk punggungnya.
“Pahit, Pa!”
“Minum airnya sedikit lagi, biar mulutnya nggak pahit!”
Setelah minum bocah itu kembali meringkuk di pelukan Liam. Letta hanya nyengir karena merasa aneh ada anak kecil yang terus nemplok, dan memanggil abangnya papa.
Sifa menunjuk keluar, meminta sedikit waktu untuk bicara dengan Liam. Melihat itu Liam kemudian mencoba membujuk Ganesh.
“Papa ada urusan sebentar, Ganesh sama mama dan Tante Letta dulu ya? Nanti Papa kesini lagi bawa dragon kesukaan Nesh. Mau?”
“Nggak mau, nanti Papa pergi lama dan nggak pulang-pulang lagi!” tolaknya mulai mewek.
Dada Shera seperti tertohok, sakit bukan main. Liam mengeratkan pelukannya, lalu mencium kening bocah itu. Iya, dia paham perasaan Ganesh yang sudah melewatkan satu bulan tanpa kehadiran papanya. Ditambah tekanan mental oleh ulah keluarga kakeknya. Jadi wajar kalau sekarang dia seperti trauma begini.
“Nggak, Papa tidak akan pergi meninggalkan Ganesh lagi. Tapi, sekarang Papa ada urusan penting yang harus diselesaikan dulu. Nanti kalau Papa perginya kelamaan, Nesh minta saja mama atau Tante Letta buat video call. Ya?”
“Ganesh, nggak boleh gitu!” tegur Shera.
“Nanti kayak dulu, Ma. Papa kerja nggak pulang-pulang. Lama, Nesh tungguin dan telpon tiap hari tapi tetap nggak diangkat.” seru bocah itu sambil menangis memeluk leher Liam.
“Ganesh!” panggil Shera dengan air mata meleleh, sedang yang lain terdiam tidak bisa berkata-kata.
“Nesh kangen, Pa! Mereka jahat semua, suka bentak dan marah-marah. Mama disiram air, barang-barangnya diambil Tante Hilda dan diusir nggak boleh tinggal di rumah. Papa kemana nggak pulang-pulang?”
Air mata mereka berderai mendengar bocah sekecil itu mengadu ke Liam sambil menangis pilu. Tangannya memeluk erat seolah takut ditinggalkan lagi. Shera berbalik, menangis kesakitan mendengar curahan hati anaknya.
Liam mendekap Ganesh erat. Matanya menatap Letta yang menangis sesenggukan dirangkulan Cello. Mereka saling lempar pandang. Ini seperti mengingatkan keduanya saat Liam dan Letta yang waktu itu juga seumuran Ganesh, ditinggal pergi ayah mereka untuk menjalani hukuman.
“Papa janji tidak akan meninggalkan Nesh lagi. Mulai sekarang Papa akan selalu ada untuk Nesh. Tidak akan membiarkan siapapun menyakiti kalian,” bisik Liam.
Begitulah, susah payah Liam membujuk bocah itu karena memang ada hal penting lain yang harus dia urus. Letta dan Cello masih disana, sedang Liam keluar bersama Dokter Sifa.
“Gimana rasanya tiba-tiba punya anak, Liam?” gurau Sifa saat mereka melangkah di koridor rumah sakit.
“Siap nggak siap, ya tetap dijalani Tante. Keadaannya kayak gitu, mana tega mau menolak.”
“Kamu sudah mencoba mencari tahu latar belakangnya? Kalau sekedar membantu pengobatan disini tentu saja tidak masalah, tapi melihat yang tadi sepertinya akan sulit untuk lepas begitu saja.” Dokter Sifa kemudian menghentikan langkahnya di dekat balkon.
Liam menghela nafas panjang, melempar pandangannya ke arah luar yang mulai panas dan berisik.
“Semalam saya tidak sengaja mendengar pembicaraan Shera di telpon. Sedikit tahu tentang suaminya yang sebulan lalu baru meninggal karena kecelakaan. Setelahnya dia mulai diintimidasi mertua dan iparnya yang merampas harta warisan mendiang suaminya. Juga dipaksa untuk jadi simpanan kakak iparnya. Itulah kenapa dia kemudian membawa anaknya yang sedang sakit angkat kaki dari rumahnya sendiri!”
“Wah, ada juga ternyata orang sejahat itu!” geleng Sifa.
“Terus mau kamu gimana? Apa Shera tidak punya keluarga lagi?” tanya Sifa.
“Tidak punya. Kalau mungkin saya ingin membantu mencarikan mereka tempat tinggal yang aman dulu, Tante.” jawab Liam.
“Gini, Liam! Boleh membantu, tapi kalau kamu ingin menggunakan perasaan lebih baik cari dulu kebenarannya. Jangan telan mentah-mentah! Memang Shera sepertinya orang baik, dan Tante juga kasihan akan nasib mereka. Kamu paham kan maksud, Tante? Membantu pengobatan tidak masalah, tapi kalau kamu ingin ikut campur lebih dalam lagi harus tahu dulu fakta sebenarnya!” ucap Dokter Sifa yang sudah menganggap Liam seperti anak sendiri.
Asal tahu saja, dulu dia bahkan sempat ingin mengadopsi Liam dan Letta saat mereka masih tinggal di panti asuhan. Namun, Liam menolak dan lebih memilih tinggal di panti menunggu ayahnya kembali.
“Iya, saya paham maksud Tante. Makanya saya mau minta tolong ke Tante untuk memberikan data yang semalam Shera tulis saat di UGD. Saya ingin minta tolong Tante Xena mencari tahu tentang Shera dan keluarganya. Baru nanti saya akan menentukan bagaimana langkah yang tepat membantu Ganesh dan mamanya,” tanggap Liam.
Sifa menghela nafas lega dengan senyum lebarnya. Inilah yang membuat mereka semua sangat menyayangi Liam dan Letta sejak kecil dulu. Dewasa, bijak, baik dan selalu penuh perhitungan dalam bersikap. Pantas saja mendapat kepercayaan penuh dari Ibra.
“Bagus! Kalau begitu ikut Tante, nanti minta Xena mengurus secepatnya supaya semua jadi gamblang. Terus terang, Tante miris melihat Ganesh seperti itu,” kata Sifa.
“Saya akan mengusahakan yang terbaik untuk membantu bocah itu,” sahut Liam.
“Harus, kan sudah dipanggil papa!”
Liam meringis, kembali meneruskan langkah bersama Dokter Sifa untuk mendapatkan data yang semalam ditinggalkan oleh Shera. Bukannya lancang, tapi dia tidak ingin salah mengambil keputusan.
Apapun yang sudah menjadi takdirmu, akan menemukan jalannya sendiri untuk menemukanmu. Liam yakin, Tuhan sengaja mempertemukannya dengan Ganesh untuk mengulurkan tangan ke bocah malang itu. Sama seperti dulu mereka dipertemukan dengan Ibra Abraham. Bosnya yang menyelamatkan keluarganya di saat papanya nyaris mati, sedang dia dan adiknya terlantar di panti asuhan. Sekarang Tuhan memberinya kesempatan untuk melakukan hal yang sama ke Ganesh dan mamanya.