Bab.6 Sahabat Shera

1832 Kata
Banyak hal baru mengejutkan yang Shera dapati hari ini. Entah keberuntungan macam apa hingga saat dia dan Ganesh berada di keadaan sulit, Tuhan mempertemukan dengan orang-orang sebaik mereka. Terlebih mereka juga bukan dari kalangan biasa. Liam yang ternyata punya kedudukan mentereng di perusahaan besar, Cello CEO muda di Graha Abimanyu Grup, Dokter Sifa pimpinan dan pemilik Medical Centre, juga Letta adik Liam yang sebentar lagi menyandang gelar sarjana hukum. Beda dengan kakaknya yang irit bicara dan judes, sebaliknya Letta justru ramah. Shera yang tadinya canggung, perlahan mulai akrab dengan Letta dan juga Cello. Itu tak lepas karena sikap supel mereka ke Shera dan Ganesh. Tidak ada tatapan sinis atau kalimat nyelekit merendahkan, meski sudah direpotkan. “Ganesh sudah sekolah belum?” tanya Letta yang menemani bocah itu menonton kartun kesukaannya, tapi hanya dijawab dengan gelengan kepala. “Maaf ya, dia sejak papanya tidak ada jarang mau bicara. Betah diam dan banyak bengong, lebih sensitif, juga emosian.” Shera melirik anaknya yang berbaring menyandar fokus ke televisi. “Tidak apa, mungkin juga karena kami baru kenal jadi dia masih merasa kurang nyaman. Iya kan, Nesh? Tante Letta kan adik papanya Nesh, masa dicuekin!” ucap Letta. “Adiknya papa Tante Hilda, jahat dan galak ke mama juga Nesh,” sahut bocah itu dengan wajah masam. “Makanya sekarang tantenya ganti Tante Letta. Nggak judes kok. Iya, kan?” sahut Cello. Mata Ganesh beralih ke Letta yang tersenyum mengusap kepalanya. Pantas saja abangnya tidak keberatan ditemplokin Ganesh, karena anaknya anteng dan tidak rewel. “Mamaku meninggal tak lama setelah melahirkan, jadi aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya punya mama. Jangan heran kalau Bang Liam biarpun menyebalkan, tapi bisa bersikap lembut layaknya seorang ayah. Karena sejak kecil dia yang menggantikan peran menjagaku.” Shera paham sekarang, kenapa biarpun spontan Liam bisa tanggap saat Ganesh menganggapnya papa. Sama sekali tidak menyangka, di balik sikapnya yang terkesan angkuh dan judes ternyata pria itu punya sisi lembut yang luar biasa. “Tapi kalian masih punya ayah, kan?” tanya Shera. “Punya, meski dulu saat kami masih kecil sempat terpisah lama. Aku dan Bang Liam pernah tinggal di panti asuhan,” jawab Letta lagi-lagi mengagetkan Shera. Tidak lanjut bertanya lebih jauh, Shera tidak ingin mengulik privasi mereka. Apa pun itu, sepertinya keluarga Liam juga punya kisah yang tidak enak untuk diingat. “Ma, Papa perginya masih lama ya?” tanya Ganesh untuk yang kesekian kalinya, padahal baru beberapa jam ditinggal Liam. “Nggak, papamu sudah di perjalanan mau kesini. Om barusan chat dia kok,” jawab Cello. Letta nyengir menatap Ganesh yang meringkuk menarik selimutnya. Matanya sudah redup menahan kantuk, tapi seperti enggan tidur karena menunggu kedatangan pria yang dianggapnya papa itu. Sebegitu takutnya Ganesh kalau papa yang semalam dia temukan lagi, tidak akan kembali seperti sebulan yang lalu. Pintu diketuk, Ganesh langsung duduk dengan mata berbinar senang karena mengira papanya yang datang. Sayang, ternyata seorang wanita yang muncul di sana. “Halo Ganesh! Sudah sembuh belum keponakannya Tante En?” sapa wanita itu melangkah masuk, lalu memberi Shera pelukan erat. Cello dan Letta hanya saling pandang, tahu tamu kali ini pasti sahabat mamanya Ganesh. Keduanya berpelukan lama dengan berderaian air mata. “Sabar ya, Sher. Tuhan pasti akan membalas mereka yang sudah jahat ke kamu dan Nesh.” Shera mengangguk, melepaskan pelukannya dan mengusap air matanya. Dia lalu menggandeng sahabatnya untuk diperkenalkan ke Letta dan Cello. “Perkenalkan ini Endah temanku. En, ini Letta dan yang disana itu Cello.” Mereka tersenyum mengangguk, lalu Letta beranjak menyusul Cello yang duduk di sofa. Tidak ingin mengganggu karena pasti ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan. “Akhirnya mereka benar-benar merampas semua dari kalian. Sumpah, keluarga Darin jahat banget!” ucap teman Shera yang sudah tahu betul watak mereka. “Tidak mengakuiku sebagai menantu tidak masalah, tapi tega menelantarkan Ganesh itu sudah sangat keterlaluan. Perusahaan, rumah, mobil dan semua barang berharga dirampas. Tidak menyisakan sedikitpun untuk biaya hidup Ganesh. Bahkan tidak peduli biarpun tahu kami pergi tanpa punya tempat tujuan, tanpa uang dan malam-malam dengan keadaan cucunya yang sedang sakit,” ucap Shera tersenyum getir. Endah duduk merangkul sahabatnya, menatap iba Ganesh yang terbaring lemah di hadapannya. Andai saja kehidupannya juga berkecukupan, pasti sedikit banyak bisa membantu Shera dan anaknya. Sayang, hidupnya sendiri juga cuma pas-pasan. “Kontrakannya sudah dapat? Kecil tidak masalah. Yang penting bersih, tempatnya aman dan tidak terlalu mahal,” tanya Shera. “Aku tadi sudah minta suamiku cari yang dekat tempatku sana, jadi nanti kalau kamu sudah dapat kerja aku bisa bantu jaga Ganesh.” “Terima kasih, En.” “Kapan Ganesh boleh pulang? Kalau kontraknya belum dapat, mertua sama suamiku bilang kalian tinggal dulu di rumah kami tidak apa-apa.” Shera tampak terharu, pertolongan Tuhan benar-benar datang di saat dia jatuh dalam kesulitan. “Nggak, nanti merepotkan kalian. Dokter bilang Ganesh masih harus dirawat dua tiga hari lagi. Mudah-mudahan saja pas nanti kontrakannya sudah dapat,” sahut Shera. “Merepotkan apanya? Lupa ya kalau selama ini kamu juga yang sudah selalu membantu kami. Kamu orang baik, makanya saat sulit pun ada saja yang membantumu. Seperti sekarang, pertolongan datang tak terduga. Iya kan?” Shera mengangguk, hal yang patut dia syukuri. Tak terbayang bagaimana keadaannya sekarang saat anak sakit, uang pas-pasan dan tidak punya tempat tinggal jika semalam tidak bertemu Liam. “Si b******k Cakra masih mengganggumu?” tanya Endah khawatir. “Masih, malah makin kurang ajar. Dia bahkan tidak takut kalau aku mengirim bukti kelakuan brengseknya ke Kalina. Iya juga sih, rumah tangga mereka saja juga sering ribut dan bolak-balik hampir cerai!" jawab Shera nyaris putus asa menghadapi mantan iparnya. “Dulu harusnya kamu adukan saja semua ke Darin, biar digampar sekalian. Bisa-bisanya sebejat itu menggoda adik ipar sendiri. Makanya setelah suamimu tidak ada dia makin keranjingan. Kelakuannya sama persis kayak ibunya yang murahan itu!” dengus Endah berapi-api saking bencinya dia ke ipar dan mertua Shera. “Hubungan Mas Darin dengan keluarganya kan sudah tidak akur. Kalau aku masih mengadukan tentang kelakuan Cakra, bisa-bisa malah makin kisruh masalahnya. Nanti aku lagi yang makin disalahkan dan dibenci, karena mengira mengadu domba mereka,” lontar Shera dengan wajah kecut. Pintu kembali diketuk, Ganesh yang sudah hampir tertidur menoleh penuh harap. Senyumnya langsung merekah lebar melihat Liam yang muncul dengan menenteng boneka dragon warna hitam. “Papa!” serunya senang bukan main. Endah melongo mendengar Ganesh memanggil papa ke pria yang melangkah semakin mendekat itu. Shera meringis, biarpun dia sudah cerita tapi tetap saja sahabatnya itu dibuat kaget. Endah menoleh dengan mata melebar ke Shera dengan bibir komat-kamit. “Mirip Darin,” gumamnya lirih, tapi Shera hanya mengedikkan bahu. Sedikit mirip, tapi sifat dan pembawaannya beda jauh. Mendiang suaminya ramah, murah senyum dan supel. Sedangkan Liam irit bicara, judesnya minta ampun dan menyebalkan. “Tuh kan Papa nggak bohong, langsung balik lagi bawa dragon buat Nesh,” ucap Liam bahkan tanpa menoleh apalagi menyapa teman Shera. Padahal dia berdiri di samping ranjang pasien, berseberangan dengan Shera dan Endah yang sedang duduk mengobrol. “Terima kasih, Pa.” Ganesh tersenyum senang memeluk boneka naga besar warna hitam itu, sedang Liam hanya menatap lekat. Dia kemudian menggendong Ganesh, Letta buru-buru mendekat membantu mendorong tiang infus karena abangnya mau membawa bocah itu duduk di sofa. “Itu orangnya yang menolong kalian semalam? Kok bisa Ganesh langsung nemplok kayak ke Darin? Mana yang dipanggil papa juga nanggepin lagi!” cecar Endah seperti masih syok dengan adegan di depannya barusan. “Ya begitulah! Aku juga nggak paham kenapa mereka bisa langsung akrab kayak bapak anak gitu,” sahut Shera menatap anaknya yang duduk di pangkuan Liam dengan senyum lebar menimang mainannya. “Tapi ngomong-ngomong, dia memang angkuh gitu ya?” tanya Endah yang dibikin keki dengan sikap acuh tak acuh Liam. “Hm, mungkin sudah dari orok memang menyebalkan begitu. Tapi, dia baik kok. Baik banget malah. Begitupun adiknya Liam dan yang lain, ramah dan sama sekali tidak sombong meski mereka orang berada. Kamu sendiri juga lihat kan, bagaimana mereka memperlakukan Ganesh yang bahkan hanya orang asing dan datang merepotkan. Berbanding terbalik dengan keluarga mertuaku yang justru menyengsarakan kami,” ujar Shera. Endah mengangguk, mungkin juga karena mereka memang tidak kenal jadi Liam terlihat cuek begitu. Yang penting mereka baik ke Shera dan Ganesh. Dia sebagai sahabat sudah sangat bersyukur. “Papa nanti tidak pergi lagi, kan?” tanya Ganesh. Liam mendelik menatap Cello yang cekikikan, sedang Letta tersenyum gemas ke Ganesh. “Resiko punya anak ya gitu, pusing kan! Padahal nanti malam punya tanggungan kontrol di Mirror dan besok juga mesti ke kantor,” ucap Cello. “Papa nanti malam ada kerjaan, besok juga harus ke kantor. Nesh sama mama dulu disini, selesai kerja Papa balik lagi menemani Nesh,” bujuk Liam mengelus tangan Ganesh yang terpasang infus. “Janji pulang lagi kan, Pa? Perginya nggak lama, kan?” “Nggak, selesai kerja Papa langsung kesini cari Ganesh,” jawab Liam. Bocah itu mengangguk. Mungkin karena tadi dia pamit keluar dan benar-benar langsung kembali menemuinya lagi, jadi bocah itu tidak begitu khawatir Liam ingkar janji. “Lain kali ajak main ke rumah Om Ibra biar kenalan sama Kenes. Siapa tahu mereka bisa berteman,” ucap Letta, tapi Cello malah tertawa tergelak. “Bisa kena mental nanti si Ganesh dibully Kenes. Nes yang itu kan bar-barnya minta ampun.” Liam memeluk bocah itu, tapi memang seperti kata Cello kalau anak bontot bosnya luar biasa galaknya. Kalau Ganesh anteng, maka Kenes bar-bar dan punya kelakuan di luar nalar. Padahal mereka seumuran. “Belum tentu juga, kalau sudah kenal pasti bisa akur kok. Ganesh pasti senang kalau lihat angsa pakai sepatu milik Kenes,” timpal Letta. “Nanti kapan-kapan aku ajak main kesana, biar dia juga punya teman main,” ujar Liam. “Ganesh sudah minum obat, belum?” tanyanya. “Belum, tadi mau dikasih obat sama Kak Shera tapi Ganesh bilang nunggu Papa pulang dulu.” Letta menjawab pertanyaan abangnya. Liam menunduk mencium kepala Ganesh. Tidak tahu kenapa semudah itu dia bisa merasa sayang ke bocah ini. Mereka sudah mulai mencari tahu tentang Shera dan keluarganya. Liam berharap tidak ada halangan sehingga dia bisa sepenuhnya mengusahakan yang terbaik untuk Ganesh. “Shera …,” panggilnya. “Iya ….” “Obatnya Ganesh bawa sini!” “Dih, kok panggil nama! Kak Shera kan lima tahun lebih tua dari Abang!” tegur Letta, tapi tidak digubris oleh abangnya. Shera datang dengan membawa obat Ganesh dan air putih. Dia duduk di samping Liam dan mengulurkan obat itu untuk diberikan ke anaknya. “Minum obat dulu, terus tidur! Biar cepat sembuh. Lain kali Papa ajak Nesh main ketemu Kenes dan angsanya,” ucap Liam meminumkan obat ke Ganesh. “Kenes siapa?” tanya Shera. “Anak bosku, seumuran sama Ganesh.” Lain kali, Shera hanya membatin sedangkan begitu boleh keluar dari rumah sakit dia akan membawa anaknya pergi. Sudah cukup dia merepotkan mereka. Tidak akan lagi membiarkan Liam ketiban sial jika nanti dia harus berurusan dengan Cakra, yang pasti akan memburu keberadaannya. Namun, mana dia tahu kalau takdir mereka ternyata lebih rumit dari itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN