Bukan cuma Shera yang merasa canggung tidur sekamar dengan orang asing, Liam pun demikian. Namun, mau bagaimana lagi sedang Ganesh merengek tidak mau ditinggal. Meski begitu entah kenapa Shera justru tidak khawatir sedikitpun anaknya tiba-tiba nemplok ke pria yang baru beberapa jam mereka kenal itu. Nalurinya sebagai ibu sangat tahu, anaknya berada di pelukan orang yang tepat.
Baginya Liam sudah pasti orang baik, biarpun muka tampannya irit senyum dan hanya bicara seperlunya. Kalau tidak mana mungkin dia sudi menolong Ganesh, memberi fasilitas rumah sakit dengan kamar VIP, dipanggil papa, bahkan sampai rela menginap menemani anaknya di sini. Ironis memang, orang asing saja bisa berhati malaikat, tapi keluarga mendiang suaminya justru yang membuat dia dan anaknya terlunta-lunta menderita begini.
Lewat tengah malam dan Shera belum juga bisa terlelap. Dia tidak punya waktu untuk meratap, terlalu banyak masalah dan beban yang harus dia pikul mulai sekarang. Beranjak bangun dari spring bed di bilik khusus keluarga pasien, dia melangkah keluar untuk menengok anaknya. Jantungnya serasa diremas melihat Ganesh terlelap pulas di pelukan pria itu.
“Mas Darin, maaf kalau aku terpaksa membiarkan anak kita memanggil orang lain papa. Seberat apapun hidup kami nanti, aku tidak akan mengeluh. Pergilah dengan tenang, Mas! Aku pasti berusaha sebisaku memberikan semua yang terbaik untuk Ganesh.”
Tangan Shera terulur hendak meraba kening anaknya, namun dia terjengkit kaget saat tiba-tiba Liam terjaga dan menyambar tangannya dengan mata menatap tajam.
“Maaf mengagetkanmu, aku hanya ingin memeriksa apakah Ganesh demam lagi,” ucap Shera meringis oleh cengkraman erat di tangannya.
Liam menghela nafas kasar, lalu melepaskan cengkramannya. Dia menunduk meraba kening Ganesh dan kemudian bangun menekan tombol panggilan di sebelahnya.
“Ada yang bisa dibantu?” sahut perawat jaga.
“Anakku panas,” jawab Liam, sedang Shera meraba kening anaknya. Demam lagi, pantas wajah anaknya terlihat memerah.
“Kami ke sana sekarang.”
Keduanya terdiam menatap Ganesh yang masih terlelap. Menghadapi anak sakit begini sudah biasa bagi Shera, tapi tidak dengan Liam yang tampak khawatir. Bahkan dia tidak sadar Ganesh demam, padahal bocah itu tidur di pelukannya. Pintu diketuk, lalu suster masuk dengan membawa obat.
“Saya periksa dulu suhu badannya,” ucapnya menempelkan termometer di telinga Ganesh.
“Tiga puluh delapan koma lima. Dikasih minum obat penurun panas dulu adiknya ya, Bu!”
Shera mengangguk, lalu membangunkan anaknya. Memanggil pelan supaya tidak membuatnya kaget dan berakhir rewel.
“Nesh bangun sebentar minum obat, yuk! Ganesh demam harus minum obat, Sayang!” panggil Shera, tapi anaknya menggeleng dengan mata tetap terpejam.
“Ganesh, bangun sebentar! Kalau tidak minum obat sakitnya nggak sembuh-sembuh nanti, Nak,” bujuknya.
“Nggak mau minum obat!” gumam bocah itu meringkuk menarik selimutnya.
“Ganesh, bangun minum obat dulu!” ucap Liam.
Mendengar suara itu mata Ganesh langsung membuka, mengernyit menatap Liam lekat tanpa sepatah kata pun. Mereka justru dibuat bingung melihat air mata bocah itu mengalir keluar.
“Papa …,” panggilnya dengan suara parau menahan tangis.
Liam duduk di tepi tempat tidur, lalu mengangkat tubuh Ganesh yang terasa panas untuk didudukkan di pangkuannya.
“Anak Papa kan hebat, harus minum obat biar cepat sembuh. Ya?” bujuk Liam memeluk Ganesh yang sesenggukan di pelukannya.
Dada Shera sesak bukan main, matanya memburam panas disuguhi adegan pilu di depannya. Liam mengusap air mata Ganesh, lalu mengambil obat sirup dari suster dan meminumkan ke bocah itu. Shera memberikan air yang diteguk anaknya setelahnya.
“Nanti saya kesini lagi untuk mengecek panasnya turun apa belum,” pamit suster itu sebelum kemudian keluar dari sana.
“Tidur lagi, ya?” bujuk Liam, tapi Ganesh menggeleng.
“Ganesh, Om Liam capek kalau kamu minta dipangku terus gitu!” tegur Shera. Sayang, anaknya justru makin mendusel ke pelukan pria itu.
“Tidak apa, kamu tidur saja dulu! Besok hari minggu, aku tidak perlu ke kantor,” sahut Liam duduk menyandar dan berselonjor di tempat tidur memeluk Ganesh.
Shera duduk di kursi sofa belakangnya. Mana mungkin dia enak-enak tidur, sedang anaknya sedang demam dan merepotkan orang lain untuk menjaganya. Hening, Liam menepuk-nepuk pelan. Dulu dia biasa merawat adiknya sendirian, jadi tahu bagaimana menghadapi anak kecil.
“Maaf, merepotkanmu sampai seperti ini. Besok kalau keadaannya sudah membaik aku akan bicara dengan Ganesh. Terima kasih atas semua bantuan kalian,” ucap Shera menatap Liam yang menyandar dengan mata terpejam.
Tampan, sekelebat memang mirip dengan mendiang suaminya. Hanya saja Liam berwajah dingin dan bicara seperlunya saja, itu pun seringkali terdengar nyelekit di telinga. Seperti sekarang, dia bahkan diam tidak menyahut ucapannya. Padahal jelas pria itu masih terjaga.
“Namamu siapa?”
Shera sempat gugup, apalagi mendapat tatapan lekat mata tajam pria itu.
“Shera Maharani,” jawabnya.
“Masih punya keluarga?” tanya Liam lagi, tapi Shera justru terlihat bingung menjawabnya.
“Aku hanya ingin memastikan setelah keluar dari sini Ganesh tidak terlantar,” jelasnya.
Shera menghela nafas panjang. Mungkin karena tadi Liam sempat mendengar pembicaraannya di telpon, jadi khawatir dia akan membawa Ganesh tidur di emper toko.
“Aku sudah tidak punya keluarga, tapi juga masih sanggup untuk memberi kehidupan yang layak untuk anakku.”
Liam tidak ambil pusing dengan jawaban pedas Shera. Dia membaringkan Ganesh yang sudah kembali terlelap, lalu turun dari tempat tidur.
“Nomor teleponmu berapa?” tanyanya menyodorkan ponselnya ke Shera.
“Buat apa?” Shera balik bertanya.
“Siapa tahu saja nanti kamu kabur!” celetuknya enteng.
Merengut dengan muka kecut, Shera mengambil ponsel itu dan memasukkan nomor teleponnya. Liam menekan tombol panggilan, tapi mematikan lagi setelah tersambung.
“Itu nomorku! Aku keluar sebentar, telpon saja kalau nanti Ganesh terbangun!” ucapnya beranjak keluar.
Shera mendengus menatap punggung Liam yang kemudian menghilang di balik pintu. Baik sih, tapi judesnya minta ampun. Dia kembali mendekat, lalu berbaring memeluk anaknya. Tidak banyak yang dia harap setelah ini. Hanya ingin hidup tenang membesarkan Ganesh, dan sebisa mungkin menjauh dari kejaran Cakra yang pasti tidak akan melepaskannya begitu saja.
Sedang Liam turun ke lantai bawah. Tak sengaja tertidur membuatnya lupa sudah meminta anak buahnya untuk datang ke rumah sakit menemuinya.
“Lama, mana tidak boleh menelpon lagi!” dengus wanita yang duduk di pojok ruang tunggu UGD dengan muka butek.
“Ketiduran,” sahut Liam menghempaskan punggungnya duduk di samping wanita itu.
“Mirror aman, kan?” tanyanya.
“Aman, ada Jingga mana ada yang berani rusuh,” jawab wanita itu.
Jingga, anak perempuan bos Liam yang sekarang mulai keluar kandang untuk mengambil alih posisi papanya. Gadis muda yang harus Liam jaga, meski nyawa taruhannya.
“Mana barangnya?” tagih Liam, tapi wanita itu mengedikkan bahu.
“Ada di Jingga, besok pasti dikasih ke kamu.”
“Kamu sudah lihat isinya, kan? Siapa yang mengambil alih Octagon sekarang?” tanya Liam penasaran dengan pemilik night club yang selalu bermain kotor dengan bikin gaduh di Mirror akhir-akhir ini.
“Cakra Pangestu, pemilik Crown Cargo.”
Cakra, biarpun beda orang tapi nama itu langsung mengingatkan Liam dengan pembicaraan Shera yang sempat dia dengar tadi.
“Lalu dapat info apalagi?”
Nova, wanita yang jadi salah satu tangan kanan Liam itu menyeringai.
“Bisnis kotor, penyelundupan barang gelap dan pemasok obat terlarang juga senjata di pasar gelap. Red Flag, pernah dengar kan? Dia itu orangnya!” beber Nova.
Liam bersedekap dengan tatapan lurus ke langit gelap di atas sana. Pantas kelakuan mereka semakin brutal dan berani, karena bos barunya juga cukup punya taring. Tapi, mereka salah cari lawan.
“Mau tambah orang? Nanti aku ke Om Bimo untuk memilih beberapa?” tanya Nova.
“Besok aku ke Pak Boss dulu, sekalian cari Jingga,” sahut Liam.
“Ok,” angguk Nova, lalu beranjak bangun dan pergi dari sana.
Liam menghela nafas panjang. Seperti inilah dunia yang dia pijak, keras dan kotor. Tapi ini juga adalah pilihannya sendiri, karena tujuan hidupnya hanya untuk balas budi dan mengabdi ke orang yang telah menyelamatkan keluarganya dulu.
Dia bangun dan kembali ke lantai atas. Meski bukan orang baik, tapi bukan berarti dia tidak punya hati. Sama seperti orang-orang di sekitarnya yang tetap menerima dengan tulus dia dan keluarganya, saat tidak ada tempat di luar sana yang bisa menerima mereka karena jejak kelam ayahnya.
Mata Liam terpaku ke dua orang yang terlelap pulas di atas ranjang pasien. Iba, karena nasib Ganesh yang tidak jauh beda dengannya. Uluran tangannya mungkin tidak seberapa, tapi setidaknya bisa mengobati luka di hati bocah itu. Tangannya terulur meraba kening Ganesh. Lega karena panasnya yang mulai turun.
“Aku bukan papamu, tapi aku tidak keberatan meminjamkan bahu untukmu bersandar. Tidak ada pertemuan yang kebetulan. Karena takdir sudah membawamu datang padaku, maka tetaplah ada di sampingku.”