“Berani berbuat, berani bertaanggung
jawab!”
***
“Kenapa, Lang? Kok wajah lo bete banget?” Zio mengambil stik dari tangan Aldo. sekarang gilirannya untuk bermain. Mereka saat ini sedang berada di rumah Erlangga. Rumah yang megah, lengkap dengan fasilitas yang membuat keempat sahabatnya itu merasa betah di sana. Selain itu, keberadaan Erlangga yang selalu sendirian, karena kedua orang tuanya sibuk kerja di luar negeri, mereka hanya pulang tiga bulan sekali. Mereka sibuk dengan bisnis yang harus melibatkan kedua negara, yaitu Singapura dan Malaysia.
“Besok ada ngetrek enggak?” tanya Erlangga.
“Dih, pertanyaan gue malah dijawab pertanyaan lagi. Gaje lo!” rutuk Zio sebal, lalu mulai membidik bola billiar di atas meja.
“Eh, tadi di sekolah, si cantik ngomong apaan sama lo?” tanya Sean, matanya fokus pada game di ponselnya. Erlangga terdiam dengan wajah datar. Mengingat gadis itu mengatakan bahwa Reynan lebih segalanya darinya, membuat ia malas untuk menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Selalu ada rasa sakit, setiap kali mendengar semua orang membanggakan sesosok Reynan di depan dirinya. Entahlah, ia memang selalu sensitif ketika mendengar cowok yang bernama Reynan Aditya itu.
“Iya Lang, gue kepo nih. Hayoo … kalian ngapain di kelas tadi?” goda Dion, menaik turunkan sebelah alisnya, membuat Erlangga sebal saja. Lalu ia mengambil bola di atas meja billiar dengan gerakan cepat dan dilemparkan pada sahabatnya itu.
Plassshh! Bola memakan angin, karena Dion dengan cekatan menghindar.
“Si bodoh! Bola gue kurang nih!” sebal Sean, karena bola di meja yang akan ia bidik berkurang, ulah tangan usilnya Erlangga.
“Cerita dong Lang,” kekeh Dion lagi. Sejenak Erlangga terdiam. Ia sebenarnya malas menceritakan kejadian tadi. Namun temannya itu pasti akan terus memburunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya sakit kepala kalau ia tidak segera menceritakannya.
“Mulai besok kita berlima harus gangguin Qiana. Buat dia nggak tenang!” Erlangga menatap dingin dinding di depannya, seakan ingin membuat dinding itu membeku karena tatapannya. Dan seulas senyum kecil menyeringai menghiasi bibir menawannya, membuat siapa saja dipastikan akan merinding jika melihatnya.
“Maksud lo?” tanya Aldo.
“Pokoknya gue mau bikin dia menyesal seumur hidup karena udah nyepelein gue!” jawab Erlangga. Keempat sahabatnya saling beradu tatap, gagal paham.
“Bentar Lang, gue masih nggak ngerti,” Sean bersedekap d**a menatap sahabatnya.
“Bagian mana yang lo gak ngerti?” Erlangga menatap tajam.
“Wuih, serem banget tatapan lo Lang. Ampun Yang Mulia!” Sean menyatukan kedua tangannya persis seperti seorang pencuri yang memohon ampun pada rajanya.
“Maksud si obeg, alasannya apa Lang? kita butuh alasan.” Dion memperjelas. Namun sebuah bola melesat nyaris menghantam kepalanya, kalau tidak segera ia menghindar. Sean berdecak sebal, lemparan bolanya malah menghantam dinding tembok.
“Betul tuh,” sahut Zio. Erlangga terdiam, lantas menit berikutnya ia mulai membuka mulut, “Gue dibandingin sama si Reynan s****n! Dan lo semua tau kan kalo gue nggak suka dibanding-bandingin. Apalagi sama anak s****n itu!” tegas Erlangga, membuat suasana cukup hening. Keempat sahabatnya mulai paham.
“Lo masih dendam sama sepupu lo itu?” tanya Aldo setelah keheningan beberapa menit.
“Tadinya gue lupa. Tapi gara-gara tuh cewek, gue jadi tambah benci sama Reynan!”
“Lo suka sama Qiana?” Pertanyaan Sean membuat
Erlangga terbelalak.
“Gue cuma pengen dia tau siapa yang sedang dia hadapai. Jadi, mulai besok, kalian berempat gangguin terus Qiana, buat dia nggak nyaman.”
Sean menarik napas dalam, cowok itu memutar stik billiar di tangannya. “Tapi gue mau gangguin dia dengan cara gue, bukan dengan cara lo!” Seringaian cowok itu menandakan bahwa ia akan segera bermain-main seperti biasanya.
“Maksud lo, dengan cara playboy lo, gitu?” sindir Dion.
“Maybe ... why not?” ujar Sean mengangkat kedua bahunya santai.
“Gila lo!” Zio bergeleng. Ia sangat tahu seperti apa gilanya Sean. Bahkan, di sekolahnya yang dulu, Zio pernah menjadi korban bullying para gadis yang dicampakan sahabatnya itu.
“Menurut gue, itu cewek menarik, manis-manis gimana gitu!” celetuk Dion.
Pletakkk!
Jitakan hangat dari tangan Erlangga membuat cowok itu melotot sebal. “Sakit, Bodoh! Emang gue salah? Bener, ‘kan? Si Qiana itu cakep. Enggak terima lo, gue muji tuh cewek. Atau jangan-jangan lo cemburu?”
“s****n!” Erlangga mengambil bola billiar dan dilemparkannya ke arah Dion, tapi lemparannya meleset. Juluran lidah dari Dion membuat Erlangga kesal setengah mati.
“Tapi gimana kalo si Reynan marah?” tanya Aldo membuat Erlangga menghentikan aksinya, ketika hampir memberi jitakan panas untuk kedua kalinya pada Dion.
“Reynan urusan gue!” sahut Erlangga, menatap dingin dan misterius jauh ke depan.
***
Qiana keluar dari mobil Reynan. Seperti biasanya mereka berangkat bersama. Dan Reynan akan mengantarnya sampai ke depan kelas gadis itu. Namun, kali ini mereka berpisah di koridor, karena Reynan menerima telepon entah dari siapa. Yang jelas, dari kejauhan seseorang tersenyum misterius dengan ponsel di tangannya.
“Kak, aku duluan ya.” ujar Qiana, Reynan mengangguk, dan mengusap pelan kepala gadisnya itu. Dari kejauhan sepasang mata menatapanya bosan dan berdecak sebal. Qiana pun segera meninggalkan Reynan yang masih menerima telepon. Suasana koridor masih sepi, gadis itu berjalan dengan ceria dan santai. Namun tiba-tiba, seseorang menghampirinya dengan senyuman manis dan begitu menawan.
“Hai, Cantik!” sapanya.
“Hay, Sean,” jawab Qiana ramah.
“Mau ke kelas?” Qiana mengangguk. Ia heran, kenapa cowok itu tiba-tiba ramah seperti itu padanya.
“Mau aku antar?”
“Nggak usah lah, deket ko, masa dianter,” tolak Qiana halus.
“Gue nggak akan biarin cewek cantik kayak lo jalan sendirian. Mau ya gue anter?”
“Ta-tapi ....” Belum selesai gadis itu bicara, Sean lebih dulu meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
“Gila lo!” Zio bergeleng. Ia sangat tahu seperti apa gilanya Sean. Bahkan, di sekolahnya yang dulu, Zio pernah menjadi korban bullying para gadis yang dicampakan sahabatnya itu.
“Menurut gue, itu cewek menarik, manis-manis gimana gitu!” celetuk Dion.
Pletakkk!
Jitakan hangat dari tangan Erlangga membuat cowok itu melotot sebal. “Sakit, Bodoh! Emang gue salah? Bener, ‘kan? Si Qiana itu cakep. Enggak terima lo, gue muji tuh cewek. Atau jangan-jangan lo cemburu?”
“s****n!” Erlangga mengambil bola billiar dan dilemparkannya ke arah Dion, tapi lemparannya meleset. Juluran lidah dari Dion membuat Erlangga kesal setengah mati.
“Tapi gimana kalo si Reynan marah?” tanya Aldo membuat Erlangga menghentikan aksinya, ketika hampir memberi jitakan panas untuk kedua kalinya pada Dion.
“Reynan urusan gue!” sahut Erlangga, menatap dingin dan misterius jauh ke depan.
***
Qiana keluar dari mobil Reynan. Seperti biasanya mereka berangkat bersama. Dan Reynan akan mengantarnya sampai ke depan kelas gadis itu. Namun, kali ini mereka berpisah di koridor, karena Reynan menerima telepon entah dari siapa. Yang jelas, dari kejauhan seseorang tersenyum misterius dengan ponsel di tangannya.
“Kak, aku duluan ya.” ujar Qiana, Reynan mengangguk, dan mengusap pelan kepala gadisnya itu. Dari kejauhan sepasang mata menatapanya bosan dan berdecak sebal. Qiana pun segera meninggalkan Reynan yang masih menerima telepon. Suasana koridor masih sepi, gadis itu berjalan dengan ceria dan santai. Namun tiba-tiba, seseorang menghampirinya dengan senyuman manis dan begitu menawan.
“Hai, Cantik!” sapanya.
“Hay, Sean,” jawab Qiana ramah.
“Mau ke kelas?” Qiana mengangguk. Ia heran, kenapa cowok itu tiba-tiba ramah seperti itu padanya.
“Mau aku antar?”
“Nggak usah lah, deket ko, masa dianter,” tolak Qiana halus.
“Gue nggak akan biarin cewek cantik kayak lo jalan sendirian. Mau ya gue anter?”
“Ta-tapi ....” Belum selesai gadis itu bicara, Sean lebih dulu meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
“Lo ngapain! Lepasin tangan gue!” Qiana berusaha melepaskan tangannya.
“Tenang, Sayang. Lo aman sama gue.” Sayang! Apa-apaan nih?
Qiana kesal. “Lepasin tangan gue!” Qiana kembali menarik tangannya.
“Kamu bawel banget sih, Cantik! Gue nggak akan lepasin tangan lo. Tenang dong, gue nggak akan macem-macem. Gue cuma mau nganterin lo aja kok.” Qiana mendengkus sebal, terpaksa ia mengikuti langkah cowok itu menuju kelasnya.
“Nah, dah nyampe, Sayang. Gue pergi dulu. Selamat belajar ya.” Sean hendak mengelus lembut rambut Qiana.
Namun Qiana segera menepisnya kasar. “Ih, apaan sih lo?!” Sean hanya tersenyum lembut, lantas pergi. Qiana menarik napas kesal. Kenapa juga pagi-pagi harus ada setan pengganggu datang padanya. Ini pasti ulah si s****n itu! Gue dikerjain nih! Gadis itu menghentakan kedua kaki, lalu memasuki ruangan kelasnya. Tapi langkahnya kembali terhenti saat menatap seorang cowok yang duduk di atas mejanya.
“Hai, Cantik!”
“Ngapain lo ke kelas gue pagi-pagi?” cetus Qiana jutek.
“Santai dong, Cantik. Gue kangen sama lo. Makanya gue ke sini” Dion turun menghampiri Qiana. Apa! Ini jelas banget. Kalau si i***t itu yang nyuruh mereka. Awas aja lo! Tunggu pembalasan gue! Qiana mengepalkan kedua tangannya.
“Jujur sama gue! Ngapain lo ke sini?”
“Galak banget sih, nanti cepet tua loh, nanti nggak cantik lagi loh.” Masih dengan cengengesan yang membuat Qiana jengah, ingin mencekik cowok itu.
“Keluar sekarang! KELUAAARRR!” teriak Qiana.
Dion tersenyum puas. “Baiklah, Cantik. Gue pergi dulu, selamat belajar. Dadah ....” Cowok itu melambaikan tangannya dengan satu kedipan mata yang dibuat semenggoda mungkin, membuat Qiana mual ingin sekali menendangnya hingga sampai ke antartika. Gue harus bikin perhitungan sama cowok s****n itu, lihat aja!
Tidak dapat di bayangkan betapa kesalnya Qiana pagi ini. Ia benar-benar ingin mengamuk saat ini juga pada cowok yang bernama Erlangga s****n, iblis, i***t, berengsek! Dan entah apa lagi nama kutukan yang akan ia tambahkan untuk cowok itu.
Sementara di atas rooftop, saat ini seorang cowok tampan sedang tertawa puas. Ternyata tidak susah membuat gadis itu marah di pagi hari. Ya ... ia mendengarkan percakapan gadis itu dengan Sean dan Dion dari penyadap kecil yang mereka bawa.
“Seneng lo?” ujar Dion keki. Bagaimana tidak, ini untuk pertama kalinya ia di bentak-bentak oleh seorang gadis.
“Banget!” sahut Erlangga dengan senyuman puas.
“Sumpah lo! Gue jadi murah gini gara-gara lo. Harga diri gue diinjak-injak sama tuh cewek. Mana ada seorang Sean ditolak cewek coba?” Sean menimbrung. Ia kesal, ketika Qiana malah memaki dan mengusir dirinya ketika ia menggodanya tadi. Tidak seperti gadis-gadis lain yang memujanya. Dan si pembuat rencana Erlangga, hanya menanggapi dengan mengangkat kedua bahunya.
***
Bel istirahat berbunyi, Qiana segera memesan es campur di kantin. Ia menatap misterius
pada es campur tersebut. Lantas membawanya ke arah meja yang sedang ditempati kelima cowok tampan incarannya itu.
“Sumpah tuh cewek serem banget. Kalo lagi kaya gitu, udah kaya nenek lampir, tau nggak?” Terdengar celotehan para cowok tampan itu sedang menceritakan bagaimana ekspressi Qiana tadi pagi.
“Iya, cantik. Tapi galaknya udah kaya macan, beuh!” sahut si tampan lainnya. Sean ingin menimbrung kembali. Namun ia jadi bungkam, ketika melihat Qiana sudah berdiri di belakang Erlangga. Dengan senyuman misterius dan segelas es campur di tangannya. Detik berikutnya, cowok itu menganga ketika melihat baju bosnya sudah menjadi basah terkena tumpahan es campur.
Erlangga menarik napas dalam, tentu saja ia sangat terkejut dengan perlakuan gadis itu padanya. “Ini, apa maksudnya ya?” tanya Erlangga sengit. Seumur hidupnya, tidak ada yang seberani ini padanya. Bahkan menatap menantang dirinya pun tidak ada.
“Ini bayaran buat lo, karena udah ganggu gue tadi pagi!” lantang Qiana. Perlahan Erlangga berdiri dari duduknya, lantas menghadap gadis itu dan menatapnya lekat.
“Maksud lo apa?”
“Nggak usah pura-pura b**o! Gue tau, lo yang nyuruh kacung-kacung lo buat gangguin gue. Iya, ‘kan?” tegas Qiana lagi, membuat para murid perempuan yang melihat adegan itu menganga sempurna. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Arjuna mereka dipermalukan seperti ini. Oh ... ini benar-benar di luar ekspektasinya.
Sean menggeleng takjub, ia pikir gadis itu benar-benar cari mati, ia tidak bisa membayangkan bagaimana murkanya Erlangga kalau disepelekan seperti itu. Dan apa tadi katanya? Kacung! Oh my lord, yang benar saja gadis itu. Cowok ganteng dan keren begini dibilang kacung. Sean dan ketiga temannya hanya menggelengkan kepala. Bermasalah dengan gadis itu membuatnya mendesah frustasi.
“Lo pede banget, mau banget ya gue ganggu?”
Terdengar lagi Erlangga dan Qiana berdebat.
“Lebih baik gue nggak ketemu lo seumur hidup gue. Pokoknya berhenti gangguin gue! Gue muak sama lo!” Qiana memutar badan hendak meninggalkan cowok itu. Tapi Erlangga meraih tangannya dan mencekalnya erat. Hingga gadis itu meringis kesakitan.
“Enak aja lo mau pergi. Ikut gue!” Erlangga menarik gadis itu dan membawanya keluar kantin dengan langkah lebarnya hingga gadis itu kewalahan mengimbangi langkah panjangnya.
“Lepasin gue! Lepasin!” teriak Qiana. Suasana kantin menjadi hening, mereka hanya melihat ke arah Qiana yang sedang dibawa paksa oleh Erlangga. Sedangkan keempat cowok tampan itu hanya saling tatap.
“Lo harus tanggung jawab sama perbuatan lo!” tegas Erlangga tanpa berniat memelankan langkahnya.
“Lapasin gue, Berengsek!” Qiana mencoba menarik tangannya. Tapi Erlangga malah semakin kuat memegangnya.
“Ih, sakit. Sumpah sakit, Lang! Lepasin!” Qiana meringis. Pegangan Erlangga memang menyakiti tangannya. Tapi Erlangga tidak peduli. Ia masih terus membawanya berjalan. Hingga tiba-tiba ada seorang cowok yang menghadangnya.
“Ngapain lo?!”