Aku dibawa ke rumahnya Pak Samudra. Di sana kedua orang tuanya menyambutku begitu hangat. Sama seperti yang dilakukan oleh kedua orang tuanya Mas Furqon. Mereka begitu baik dan sangat menghargai aku. Namun Mas Furqon tidak pernah melakukan itu padaku. Tapi tidak apa apa, semuanya perlu proses. Bukan salah mas Furqon, karena perasaan tidak bisa dipaksakan. Aku juga tidak berhak memaksakan perasaan padanya. Mungkin saja, kalau aku berada diposisi Mas Furqon. Aku juga akan bersikap seperti itu, mungkin bahkan lebih.
"Kamu melamun terus. Kenapa?" Pak Samudra duduk di kursi. Saat ini aku sedang berada di ruang tamu. Melina masuk ke kamarnya, sedangkan keluarganya juga sedang berada di ruangan yang lain, setelah tadi beliau mengajaku berbicara.
"Oh, enggak pak. Saya sepertinya mau pulang, karena ini sudah telat. Ta--"
"Furqon nyariin kamu?" aku hanya bisa mengangguk saja.
"Aku akan telpon dia, dan mengatakan kalau kamu sedang di rumahku. Dan kalau dia marah, maka aku akan memarahinya balik saja."
"Tidak apa apa, pak. Karena saya ini memang seorang pembantu. Jadi wajar kalau Pak Furqon marah pada saya."
"Aku enggak suka kamu berkata seperti itu. Kamu enggak boleh merendahkan diri kamu. Semua manusia itu sangat berharga, dan kamu adalah salah satunya. Kamu sangat berharga."
Andai aku berharga di mata Mas Furqon, seperti yang dikatakan Pak Samudra. Mungkin aku tidak akan nelangsa seperti ini. Mungkin aku tidak akan menjadi perempuan yang menyedihkan seperti ini.
"Kalau kamu enggak betah, mungkin kamu bisa mengundurkan diri." Mana bisa aku memundurkan diri dari pernikahan ini. Aku sudah menjadi istrinya dan talak hanya dia saja yang tahu.
"Mmm ... saya sepertinya harus segera pamit, pak."
"Akan saya antar!" kulihat dia beranjak meraih kunci mobil.
"Pak, tidak usah diantar. Saya akan pulang sendiri naik taksi."
"Kenapa harus taksi, kalau aku bisa nganter kamu. Yang ngajak kamu ke sini, itu aku. Masa aku bairin kamu pulang sendirian?"
Dia berjalan mendahului, membuatku mau tidak mau harus mengikutinya. Dia memasuki mobilnya, ''Ayo duduk di depan, aku bukan sopir kamu loh," aku hanya terkekeh menanggapi candaannya itu. Aku hampi saja memasuki mobil, ketika suara seseorang terdengar.
"Nak, naya mau pulang?"
Itu suaranya ibunya Pak Samudra. Aku menoleh, mendekat dan meriah tangannya. "Saya pamit, bu. Saya harus segera pulang. Takut pak furqon nyariin." ujarku.
Terlihat Ibunya Pak Samudra menautkan kedua alisnya. "Jadi nak Naya tinggal di rumahnya Furqon?" tanya Ibunya Pak Samudra, aku yakin sekali beliau bingung.
"Bu, Naya ini kerja di rumahnya Furqon sebagai asisten rumah tangga, juga sebagai administrasi di kantornya Furqon. " jelas Pak Samudra.
"Wah, kenapa sampai se ribet itu? memangnya kamu enggak capek kerja begitu banyak? kamu masih muda dan cantik sekali. Sayang sekali ya ... bagaimana kalau kamu pindah ke kantornya Samudra, dan kerja di sana saja. Kamu enggak perlu kerja di rumahnya Furqon. Kamu jangan terlalu kacapean seperti itu. Kamu tidak memiliki anak atau pun juga tanggungan kan? Lalu kenapa kamu begitu sibuk mencari pekerjaan?"
Tatapan netra ibunya Pak Samudra ini begitu baik dan lembut. Aku bisa merasakan kalau beliau ini memang lah sangat tulus. Aku bisa membayangkan bagaimana bahagia nya seorang perempuan yang akan menjadi menantunya.
"Terima kasih, Ibu. Terima kasih untuk perhatiannya. Tapi saya memang ingin menabung banyak, selagi saya masih muda. Jadi saya harus kerja keras agar saya bisa mendapatkan uang yang lebih. "
"Iya. Ibu senang melihat anak muda yang memiliki semangat hebat seperti kamu. Semoga kamu selelu sehat, ya. Dan kalau kamu membutuhkan bantuan Ibu, dari segi apapun. Kamu segera hubungi ibu ya ..."
"Terima kasih sekali ibu. Saya permisi dulu." Aku pun segera undur diri, setelah mencium tangan Ibunya Pak Samudra.
***
"Sepertinya ibu ku sangat menyukai kamu."
Tutur Pak Samudra. Saat ini kami sedang berada di dalam perjalanan. "Ibu menginginkan seorang menantu yang memakai hijab dan juga lembut seperti kamu."
Aku tersenyum tipis. "Ah, saya ini hanya seorang anak panti asuhan, Pak. Saya enggak pantas untuk menjadi menantu dari beliau. Bahkan di dalam mimpi pun saya sepertinya tidak pantas, pak." Aku bukan hanya merendahkan diri, tapi juga agar bisa menghindari percakapan sensitif ini. Aku tidak boleh melupakan fakta kalau aku memang sudah menjadi istri seseorang.
"saya sangat berterima kasih, karena beliau sudah mempercayai saya. Tapi saya sungguh tidak bisa menerima ini."
"Saya justru yang meminta maaf, sama kamu Naya. Karena ibu saya sudah membuat kamu merasa terbebani oleh keinginan ibu saya. Saya takut kamu enggak nyaman. Dan saya juga faham, bahwa mungkin saya ini tidak lah seperti lelaki yang ada di dalam ekspektasi kamu."
Kan ... kan. Kenapa aku merasa kalau di sini akulah yang jahat?
kenapa aku menjadi perempuan yang tersombong di dunia ini sampai bisa bisanya menolak seorang lelaki yang tampan dan baik seperti Pak Samudra. Aku ini hanya seorang gadis anak panti asuhan. Tapi terserah lah mungkin orang lain akan menyangka apa. Karena aku yang lebih tahu bagaimana hidup ku saat ini.
"Maaf, pak. saya memang tidak berniat untuk menikah saat ini."
"Iya. Saya tentu saja sangat mengerti sekali. Semoga kamu menemukan lelaki seperti yang kamu inginkan."
"Saya tidak pernah berekspektasi tinggi dan tidak memiliki standar apapun, pak. Saya ini manusia yang banyak kekurangannya. Saya enggak berani sampai berekspektasi tinggi untuk seorang lelaki yang akan menjadi pasangan saya."
"Kenapa? kamu ini cantik dan masih muda. Wajar kalau kamu memiliki standar tertentu untuk pasangan mu."
"Terima kasih. Saya anak dari panti asuhan yang oleh keluarga nya pun sudah di buang. mana bisa saya begitu sombong dan meminta hal yang berlebihan. Ada orang yang mau mengenali saya pun, saya sudah sangat bersyukur."
Itu lah sebabnya kenapa, aku sampai mau di nikahkan sama Mas Furqon. Karena aku tidak mau menolak jodoh yang mungkin sudah diberikan oleh Gusti Allah untuk ku. Meski mungkin jalannya harus seperti ini. Aku akan bertahan dan berjuang sampai titik kehabisan. Tapi jika Mas Furqon memang benar benar menolaku dan merasa terbebani oleh ku. Maka saat itu lah, aku akan meninggalkan semuanya. Bukan karena aku kehilangan kesabaran ini. Tapi karena aku merasa kasihan pada nya. Mas Furqon juga berhak bahagia.
"Tolong jangan merendahkan diri kamu. itu enggak baik."
"Kita sudah sampai, pak. Terima kasih bapak sudah mengantar saya." beruntung sudah sampai, aku lega. Jadi aku tidak lagi harus berdebat dengannya mengenai ini.
"Apa saya tidak boleh menemui Furqon?" dia turun dari mobil.
"Mm ... saya kurang tahu."
"Saya akan menemui furqon. Apa dia ada di rumah?"
Aku bahkan tidak tahu. Apakah dia bersama Nona Berlian atau di mana, aku tidak pernah diberikan kabar olehnya. "Mungkin bapak bisa menghubungi Pak Furqon terlebih dahulu. Tapi saya mau masuk duluan. Permisi, pak." aku segera masuk. Aku enggak mau ada fitnah yang datang padaku dan Pak Samudra.
Aku masuk langsung ke kamarku. Namun aku terhenti ketika aku mendengar suara perempuan di lantai atas. Apakah itu Nona berlian dan mas furqon? Aku pernah bersumpah di dalam hati, bahwa aku enggak boleh mengganggu mereka. Namun tanpa bisa dicegah, langkah ini terus saja berjalan menaiki tangga.
"Mmpphh ... aku mau yang kaya gitu. Masa aku enggak boleh beli yang kaya gitu." iya, itu suara mbak Berlian yang manja.
"Itu terlalu seksi sayang. Masa iya, kamu mau pake baju seksi. Enggak boleh, sayang. Aku enggak mau ada lelaki lain yang jatuh cinta sama kamu." itu jelas suaranya Mas Furqon.
"Tapi aku cantik kan, yang. Pake baju kaya gitu?"
"Cantik luar biasa sayang. Tidak ada satu pun perempuan di dunia ini, yang cantiknya melebihi kamu."
"Masa cih. Ihs, kamu gombal."
"Iya, sayang ... masa kamu enggak ngerasain kalau aku itu udah tergila gila sama kamu. Kamu itu harga mati! Aku udah stuck sama kamu. itu artinya, aku udah enggak bisa mencintai perempuan lain lagi."
"Tapi bagaimana bisa, kamu kaya gitu. Lalu naya?"
"Ayolah sayang ... dia jelek dan enggak tahu modis. Sudah lah kamu jangan bahas dia. Tolong jangan membuat moodku rusak."
"Baik, baik. Aku minta maaf. Kalau gitu, katakan padaku. Kapan kita akan menikah? apa kamu akan terus menundanya?"
"Yang ... emangnya kamu mau nikah tanpa restu dari ibuku? enggak mau kan?"
"terus bagaimana?"
"Aku harus berusaha mendapatkan restu ibu dulu. barulah kita menikah."
"Sampai kapan?"
"Tolong sabar ya sayang ..."
"Tapikan naya ..."
"Meski pun Naya itu istriku. Tetap saja cintaku hanya untuk kamu. Aku tidak pernah menyukainya dan tidak akan pernah. Sedikit pun aku enggak pernah tertarik pada perempuan itu. Dia bukan type ku lah, yang ..."
Aku tahu apa yang dikatakan Mas Furqon ini adalah benar. Aku sungguh menerimanya dengan lapang d**a. Tapi kenapa aku harus merasa sakit. kenapa kedua mataku terasa basah. Apakah aku begitu t***l sampai perasaan ku tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Aku tidak boleh menyukai Mas Furqon. Tidak sedikit pun.
Kembali berbalik dan menuruni tangga. Aku harus masuk ke kamarku dan tidur saja. Anggap semuanya tidak terjadi. Dan anggap saja Mas furqon ini adalah manjikan ku. Maka dengan begitu, aku pasti akan tahu diri.
"Aku sudah menelpon Furqon. Tapi dia enggak angkat?"
Ah, laki laki ini malah berada di tengah rumah. Aku pikir dia sudah pulang. "Mmm ... beliau ada di atas, bersama pacarnya. Maaf, saya masuk dulu." Aku segera melewati Pak Samudra. Jangan sampai laki laki ini melihat kedua mataku yang basah.
"Naya!"
Langkah ini terhenti ketika Pak Samudra menahan ujung lengan bajuku. "Iya, pak." aku masih belum berani menampakan wajah ini. Beliau terdengar menghela napas dalam. "Apakah kamu habis menangis? saya lihat mata kamu merah!"