"Apakah kamu habis menangis?"
Aku segera mengusap kedua mata ini, lalu memasang wajah ceria dengan senyuman se natural mingkin.
"Eh, enggak. Pak. Saya barusan memotong bawang merah. Jadinya kaya gini."
"Kamu masak? masak apa? apa aku boleh tahu?"
"Mmm aku mau bikin nasi goreng. Tapi kayanya enggak jadi. "
"Loh, ko enggak jadi. Kenapa?"
Karena semua alasan itu hanya bohong. "Karena aku lupa, kalau aku mau makan mie goreng malam ini."
"Kamu suka makan mie goreng di malam hari?" tanya nya.
"Mmm ... iya. Karena sudah malam, dan saya malas masak. Jadinya saya mungkin akan masak mie saja."
"Kamu tahu, kalau mie itu terbuat dari terigu? dan terigu itu paling susah terurai di dalam usus. Katanya seminggu, dia baru bersih dari perut kita. Apa kamu yakin masih mau tetep makan mie?"
Aku sepertinya salah mengambil topik ini sebagai alasan ku, untuk menutupi tangisan ini. "Aku malah baru tahu."
"Kamu yakin baru tahu? sungguh sayang sekali." dia terdiam selama beberapa saat. "Bagaimana kalau kamu ku ajak makan di luar? mau enggak?" tanya nya padaku. Nah, ini justru yang aku takutkan. Aku enggak mau berinteraksi dengannya lebih jauh lagi. Tapi ujung ujungnya malah semakin dekat kan.
"Maaf, pak. Rasanya aku enggak bisa. Bapak juga tahu, kalau aku ini adalah seorang pembantu di rumah ini. Mana bisa aku melakukan hal yang melebihi batasnya."
"Batas gimana? kan kamu juga berhak bahagia. iyakan?"
"Maaf, pak. Saya--"
"Kamu di sini?"
Mas Furqon turun dengan perempuan itu. Rambut gadis itu terlihat acak acakan dan dan ... aku enggak bisa lagi mengatakan apapun karena menjelaskan bagaimana kondisi gadis itu malah membuat hati ini merasa sesak.
"Eh, kalian habis ngapain hayooo!"
Aku tahu kalau Pak Samudra ini baru saja sedang meledek Mas Furqon. Namun justru hal itu semakin menambah rasa sakit ini. Demi apapun dia itu adalah suamiku. Lalu kenapa perempuan itu malah asik menghabiskan waktunya bersamanya.
"Enggak lah. Kita ini hanya main main biasa. Biasa lah orang pacaran. Masa kamu enggak pernah sih. Gitu aja tanya."
Aku hanya bisa menunduk, tanpa mau melihat pada Mas Furqon dan perempuan itu.
"Ayolah ... kalian pacaran udah lama. Udah saling kenal juga. Masa iya, belum mau nikah atau memperjelas hubungan kalian." ujar Pak Samudra.
"Kamu tahu kan, kedua orang tuaku itu sangat aneh. Dia sampai saat ini tidak menyetujui percintaan ku dengan Berlian. Aku sangat merasa lelah sejujurnya." dia mencium keningnya Berlian di depan ku, dan mendapatkan cuitan dari Pak Samudra.
"Gila! pacaran enggak kenal tempat. Masa kalian enggak nge hargain aku sama Naya." ujarnya.
"Kamu ngapain sih ke sini? ada perlu apa huh?" tanys Mas Furqon.
"Aku nganterin Naya. Dia ternyata sahabat adiku selama ini. Kamu tahukan kalau Melina ninggalin rumah, gara gara cemburu sama aku. Dan gara gara kedua orang tua kami yang memang terlalu keras sama dia. Padahal kami semua melakukan ini, karena sangat sayang padanya. Kami enggak mau Melina manja dan suka menghambur hamburkan uang. Kami ingin dia berubah menjadi lebih baik. Namun yang terjadi, dia malah berbuat hal yang sangat kami benci. Tapi karena ini sudah terjadi. Ya, kami bisa apa lagi." jelas Pak Samudra.
"Emangnya apa yang Melina lakuin?" gadis itu bertanya pada Pak Samudra.
"Dia keguguran, dan kekasihnya itu enggak mau tanggung jawab. Dia merahasiakan ini dari kedua orang tua kami. Namun dia memberi tahuku. Dan Naya lah yang mengurusnya selama ini. Aku enggak tahu harus bagaimana kalau enggak ada Naya. "
Dan karena apa yang dikatakan oleh Pak Samudra ini. Aku merasakan tatapan Mas Furqon yang melekat padaku. Aku enggak tahu apa arti dari tatapan itu. Namun hatiku berdebar sangat kuat.
"Anak jaman sekarang emang kaya gitu. Mungkin pacaran ngelakuin itu udah biasa." ujar gadis itu.
"Dan kalian juga!" todong Pak Samudra. Dan hal itu di tanggapi Mas Furqon dengan sebua kekehan.
"Aduh, bro. Kamu jangan kaya orang kampung deh. Bercinta itu kebutuhan. Lelaki kalau enggak kaya gitu tuh, bisa hilang akal. Emangnya kamu mau hilang akal."
Pak Samudra menggeleng geli. "Ok, terserah kamu aja. Aku mau ngajak naya makan malam di luar, apa boleh?" tanya Pak Samudra.
Lagi, Mas Furqon menatap padaku dengan lekat. Aku berharap kalau dia melarangku. Aku enggak peduli alasannya apa. Namun jika dia melarangku. Minimal aku tahu, kalau dia memiliki hati nurani.
"Boleh, lah. Ajak saja. Makasih loh, kamu udah perhatian sama karyawan aku."
Aku tersenyum dengan kedua mataku yang basah. Kenapa aku malah mengharapkan sesuatu yang enggak mungkin terjadi. Bukan kan sejak awal aku sudah tahu bahwa laki laki itu memang tidak pernah dan tidak akan pernah menginginkan ku. Lalu kenapa aku masih saja berharap dan berharap.
"Kalau gitu, ayo Naya." ajak Pak Samudra. Aku sudah diijinkan oleh suamiku untuk makan di luar bersama laki laki lain. Lalu apa lagi yang aku tunggu.
Sialnya raga ini memang tidak tahu diri. Aku malah mengharapkan Mas Furqon menatap padaku dan memberikan gekstur kalau dia memang enggak setuju aku pergi.
Aku menunggu selama beberapa detik. Namun aku masih saja tidak mendapatkan rekkasi apapun, selain laki laki itu malah mengajak perempuan itu duduk di sopa dan membuat gadis itu duduk begitu menempel pada tubuhnya kemudian bersandar pada dadanya.
Seperti gersang yang mengharapkan hujan yang enggak datang. Hatiku pun retak kekeringan. Dan perlahan aku memutar diri demi agar bisa menutupi hatiku yang pilu. Tersenyum pada Pak Samudra dan aku berjalan mengikutinya. Hampir saja langkah ini akan menjauh ...
"Naya!"
Suara itu yang aku harapkan. Aku ingin dia melarang ku untuk enggak pergi bersama Pak Samudra. Aku ingin ia mengatakan bahwa aku makan saja di rumah atau go food saya. Minimal dia berpura pura, aku sungguh tidak apa apa. Tolong lah sedikit saja mengerti perasaan ku. Bahwa aku ingin dia memiliki rasa cemburu. Sedikit saja ... iya, walau hanya sedikit saja. Aku sungguh pasti akan bahagia sekali. Tolong berikan lah kebahagiaan itu meski hanya sedikit saja. Sedikiiit saja. Mas Furqon ... katakan kalau aku enggak boleh pergi.
Bagaimana pun aku adalah istrimu, mas. Masa iya, kamu ngijinin aku pergi bersama laki laki lain. Apakah ini adil untuku?
Mas Furqon ... larang lah aku. Marah lah padaku. Aku ...
"Aku dan Berlian mau ke bogor malam ini. Jagalah rumah!"
Ku lihat dia beranjak dan meninggalkan sopa itu. Merengkuh perempuannya lalu keluar dari pintu utama. Aku hanya bergeming dengan anggukan dan senyuman. Namun kedua mataku panas. panas sekali, hingga aku tidak mampu mengendalikan diri.
"Pak, saya ke toilet dulu."
Karena aku enggak mampu menahan rasa sesak ini. Sehingga toilet adalah penyelamatku saat ini.