Berusaha Lebih Keras.

1104 Kata
Rasanya aku sungguh enggak percaya, ketika Melina mengatakan bahwa Pak Samudra adalah kakaknya. Dunia sungguh terasa sempit dan aku sungguh tidak bisa menduganya. "Aku serius seneng banget, kalau kalian udah saling kenal." Melina berkomentar. "Aku rasa, kalian berdua ini memang berjodoh." tambahnya lagi. Aku hanya terkekeh kecil dan menolak pendapat konyolnya itu. Sementara itu kurasakan tatapannya Pak Samudra padaku yang terasa melekat. Hingga aku merasa kalau ruangan ini menjadi sangat sempit. Aku tidak bisa nyaman bergerak, karena aku merasa kalau Pak Samudra seperti akan mengukitiku. "Kamu jangan bilang, gitu. Nanti Naya enggak suka lagi, kamu ngomong gitu. Apalagi kalau sampai pacarnya tahu, kan berabe." ujar Samudra. "Enggak, kok. Naya tuh enggak punya pacar, kak. Dia single Free. Naya itu nyari cowok yang serius, dan enggak banyak janji. Tapi aku setuju kalau kakak sama Naya. Pertama, karena Naya tuh solehah. Berhijab, dan juga tuturnya sangat lembut. Nanti kalau punya anak, dia pasti bakal sabar banget." Duh, anak ini sangat berisik sekali. kenapa dia malah mempromosikan diriku seolah aku ini barang yang harus segera di beli. Ini akan sangat tidak baik nantinya. Mungkin lebih baik kalau aku pulang saja. Aku enggak mau pembicaraan ini sampai berularut larut. Lalu menciptakan romansa yang tidak seharusnya terjadi antara aku dan laki laki itu. Bagaimana pun aku ini adalah seorang istri. Aku tidak boleh membuat sebuah kesalahan yang akan membuat diriku jatuh ke jurang kesalahan yang sangat di benci oleh Allah. "Mel, kayanya aku pulang duluan, ya." Aku takut mas Furqon membutuhkan ku, meski sebenarnya aku yakin dia tidak akan pernah membutuhkan diriku. "Loh, ko cepet banget. " Protes Melina. "Yuk ke rumah aku dulu. Aku mau memperkenalkan kamu ke kedua orang tuaku. Aku mau bilang, kalau kamu lah yang menolongku, disaat aku dalam keadaan terpuruk." Ku raih tangannya. "Mmm, mungkin lain kali aja ya mel. Aku sekarang harus pulang. Aku takut--" "Kamu kerja di rumahnya Furqon kan? kamu takut dia nyariin kamu? kamu tadi sudah ijin kan?" "Oh, iya, udah, Pak." "Syukurlah kalau gitu. Berarti kamu boleh lah, datang ke rumah kami. Dan kalau misalkan Furqon masih enggak ijinin. Kamu tenang saja. Aku yang akan bicara sama dia." Duh, aku enggak tahu apa tanggapan mas Furqon kalau tahu ini. Tapi semoga saja tidak menjadikan ku bermasalah dengannya. Aku benar benar tidak ingin bertengkar dengan lelaki itu. Akhir akhir ini sikapnya Mas Furqon mulai lembut padaku. Aku berharap kalau kami bisa saling menghargai satu sama lainnya. Tidak akan berpikir muluk muluk mengharapkan dia menganggapku sebagai istrinya. Tapi minimal dia memperlakukan ku sebagai se sama teman yang saling menghormati satu sama lainnya. Iya, itu saja sudah cukup untuk ku. "Iya, kak. Nanti kak Samudra pasti akan membantu kakak, untuk bicara pada Kak Furqon. Aku baru tahu kalau kamu kerja di rumahnya Kak Furqon. Ko bisa sih, kamu kerja di dua tempat? siangnya di kantor Kak Furqon, dan pulang kerja kamu juga kerja di rumahnya dia. Emang gak capek?" tanya Melina. "Mmm ... capek sih. Tapi kan lumayan uangnya." Aku tidak pernah di berikan uang nafkah sebagai istri oleh mas Furqon. kecuali uang gajihku sebagai karyawan di kantor, dan juga upah seorang pembantu di rumah itu. Aku tentu saja merasa bersyukur karena bisa tinggal gratis di rumah itu tanpa harus membayar kontrakan. Tidak apa apa, yang penting aku masih bisa kerja dan mencari uang sendiri. Aku sungguh ikhlas melakukan ini. Ini adalah ujian dan jalan yang harus aku pilih. "Kamu mau enggak pindah kerja ke kantor aku. Aku akan menggajih kamu double, seperti kamu kerja di rumahnya Furqon. Tapi kamu enggak perlu kerja di rumah dia lagi. Capek tahu. masa kamu kuat kerja sana sini. Emangnya kamu harus biayain berapa orang? kan kamu hidup cuma sendirian, kan?" Iya. Aku hanya sendirian. Aku bahkan enggak tau siapa kedua orang tuaku. Aku tinggal di panti asuhan sejak aku ingat ke dunia ini. kata Ibu panti, aku ditemukan di depan pintu panti. Dengan tubuh yang di bedong dan juga baju baju yang di simpan di sebuah kantong. Aku ditinggalkan di sebuah troly dan di temukan di pagi hari di sana, ketika Ibu panti mau membuka pintu. "Kakak ayo kita pulang. Ayo nay." Melina yang memang sudah tahu asal usulku, sepertinya cukup peka dengan apa yang aku rasakan saat ini. "Baiklah. Ayo kita pulang." Ajak Pak Samudra. Kami pun keluar dari rumah sakit, setelah Pak Samudra melakukan proses adminisntrasi. Dan sampai saat ini, kami sudah sampai di depan mobilnya Pak Samudra. Aku hampir saja akan membuka pintu mobil yang belakang, ketika Melina menyuruhku duduk di depan bersama Pak Samudra. Aku ingin menolak, namun justru merasa tidak enak dengan Pak Samudra. Aku takutnya dia mengira, bahwa aku ini benci atau apalah padanya. Jadi aku menurut saja, dan duduk di sampingnya Pak Samudra. "sejak kapan kalian saling kenal?" Pak Samudra bertanya padaku, ketika mobil mulai berjalan. Melina berdeham. "Kami sudah kenal lamaaaa banget. Naya ini sudah kaya guru buat aku, kak. Mungkin kalau enggak ada naya, aku enggak mau pulang ke rumah. " jawabnya. "Aku juga minta maaf, udah bikin kakak, mamah dan papah cemas. Aku janji enggak akan melakukan ini lagi. Aku juga mungkin mau pake hijab kaya Naya." akhir kalimat yang diucapkan Melina, membuat Pak Samudra tersenyum dan melirik padaku selama beberapa saat. "Terima kasih, Naya. Terima kasih telah membawa Melina ke jalan yang benar." "Sama sama , pak. Tapi saya enggak melakukan banyak hal. Melina ingin hijrah, itu tentu saja hidayah dari Allah dan niat baik dari Melina sendiri. " sahut ku. "Nah, kan ... Naya ini selalu merendah. Pokoknya dia sangat pas buat jadi kakak ipar nya aku. Kak Samudra, kalau belum nemu pasangan sama naya aja, ya." Duh, anak ini benar benar tidak bisa dikondisikan. Dia benar benar membuatku mati kutu. Ku dengar Pak Samudra berdeham. "Aku sih, tergantung naya nya. Tapi kayanya Naya nya enggak mau, tuh. " Aku meringis dan menatap ke arah depan. Entah mau merespon seperti apa, karena aku sangat bingung. Mau cemberut takut di kira sombong, mau senyum takut di kira memberikan harapan padanya. Sedangkan aku adalah seorang istri dari temannya itu. Seandainya Mas Furqon mengungkap semuanya. Mungkin aku tidak akan se repot ini. "Naya itu cewek mahal. Dia enggak akan sembarangan nerima cowok atau deket sama cowok. Makanya kakak harus berjuang lebih keras lagi. Jangan cuma ngomong!" Aku ingin memukul kepala anak ini! dia bawel dan sungguh membuatku bingung. Keadaan ini jadi semakin kikuk dan menegangkan untuku. Jadi yang aku lakukan adalah menggeleng pelan dengan senyuman tipis, se wajar mungkin. "Melina jangan ngawur ya ..." ujarku. Aku menoleh pada Melina di belakang, ketika hendak ke depan lagi, aku malah bertemu pandang dengan Pak Samudra, dan kami diam selama beberapa detik. "Ok, Aku akan berusaha lebih keras berarti."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN