Naya POV.
Aku tahu kalau Mas Furqon itu enggak salah, dan aku juga enggak berhak menuntut apapun darinya. Aku enggak berhak meminta apapun dari laki laki itu, karena sejak awal aku ini hanyalah seorang karyawan untuknya. Dan aku juga waktu itu Ikhlas menolong mamahnya Mas Furqon. Namun kenapa harus menjadi seperti ini. Kenapa aku harus menikah dengannya dan menjalani hubungan yang buruk ini. Aku cemburu pada perempuan lain, dan aku tidak tahan dengan rasa sakit ini. Bukankah kalau aku enggak ihlas, namanya sebuah dosa. Tapi ... mereka bahkan belum pernah menikah. Aku seharusnya mengingatkan mas Furqon agar ia faham, bahwa zinah itu sangat di benci oleh Allah. Tapi kenapa aku enggak memiliki kekuatan itu. Aku enggak memiliki kekuatan untuk mengatakan sebuah kebenaran ini.
"Nay! kamu enggak pingsan kan?" Pak Samudra mengetuk pintu toilet. Dan aku memang terlalu lama berada di sini. hatiku sesak, sampai rasanya sangat sulit untuk bernapas. Sejujurnya aku enggak mau pergi ke mana mana, karena perasaan ku amat sedang kacau. Kalau bisa, aku ingin pergi ke panti asuhan dan menemui anak anak di sana.
"Eh, maaf, Pak. Sepertinya saya enggak bisa pergi, pak. Kepala saya tiba tiba terasa pusing." ujarku.
Pak Samudra menatapku lekat. "mata kamu juga merah. Apa saking sakitnya, kamu sampe nangis?"
Aku terkekeh. "Sebenarnya aku memang sedang kedatangan tamu bulanan. Biasanya sakit sih, jadinya aku sedikit cengeng." Semoga saja Allah mengampuniku. Karena aku telah berbohong. Tapi mau bagaimana lagi. Saat ini aku sedang tidak ingin pergi ke mana mana. Seriusan, aku enggak mau kalau hanya pergi berduaan saja dengan Pak Samudra. Bagaimana pun aku ini seorang istri. Aku enggak mau menjadi istri durhaka dengan pergi bersama laki laki lain. Meskipun suamiku sendiri sudah mengijinkannya, karena jelas dia tidak pernah menyukai aku. Tapi aku adalah seorang perempuan dengan harga diri yang tinggi. Perempuan yang sudah diikat dengan sebuah pernikahan suci. Meski suamiku sendiri tidak mau mengakuinya. Tapi Allah tahu. Allah tidak akan menikah kan ku dengan Mas Furqon, kalau memang tidak memiliki hikmah dan sebuah tujuan yang menguntungkan ku. Allah pasti maha tahu, apa yang terbaik untuku.
"Oh, aku minta maaf kalau begitu. Apa kamu membutuhkan sesuatu? obat atau apalah?"
Seandainya Mas Furqon seperti ini, maka aku akan sangat bahagia sekali. Seandainya aku menikah dengan mas Furqon karena kami saling menyukai. Maka mungkin aku akan menjadi perempuan yang paling bahagia di dunia. Mas Furqon akan memperlakukan aku, sebaik ia memperlakukan Nona Berlian yang cantik itu. Namun ...
"Enggak, pak. Saya seriusan lagi pengen tiduran aja." Aku ingin menangis sendiri, dan mengeluarkan semua rasa sedih ini, sehingga aku akan kuat kembali.
"Ok. jadi saya harus pulang?"
"Saya sungguh minta maaf. Lagi pula di sini hanya ada kita berdua saja. Aku enggak enak sama tetangga, karena kita ini bukanlah muhrim."
"saya sangat mengerti. Kalau begitu, sapa saya boleh minta nomor ponsel kamu?"
"Mm sebaiknya bapak ijin dulu pada Pak Furqon."
"kenapa saya harus ijin?"
Aku tahu ini terdengar aneh olehnya, karena Pak Samudra tidak mengetahui hubungan kita yang sebenarnya. "Karena beliau majikan saya di rumah ini. Saya tidak ingin beliau merasa tidak suka dengan saya, hanya karena saya dekat dengan anda. Lagi pula, Pak Furqon itu adalah sahabat anda kan pak?"
Meski pun aku melihatnya berpikir agak lama. Namun dia pun akhirnya mengangguk. "baiklah kalau begitu. Saya akan ijin dulu pada Furqon. Kamu senang?" Maafkan aku ya Allah, kenapa senyumnya Pak Samudra seindah itu. Terus beristigfar karena aku sangat lemah sekali.
"Baiklah, Pak. Maaf sekali, kalau bapak harus segera pulang sekarang. Saya--"
"Ok, ok. Kamu jahat sekali sampai mengusirku. Kamu tenang ya ... aku akan pulang sekarang." dia terkekeh, dan aku tersenyum. Pergilah Pak Samudra. Dan semoga Mas Furqon tidak memberikan nomor ponselku. Kalau sampai itu terjadi. maka Mas Furqon memang sangat keterlaluan.
Malam hari, aku masih saja belum bisa tidur. Terduduk di atas ranjang kecilku, aku menatap ponsel. Berharap kalau mas Furqon akan menelpon ku atau minimal mengirimkan pesan, bahwa dia akan telat pulang. Aku tahu kalau diantara kami memang tidak ada cinta. Namun bisakah Mas Furqon menghargaiku sedikit saja. Bukankah dia juga seorang manusia terpelajar? masa iya, dia enggak ngerti apa itu hukumnya pernikahan?
Ku dengar mobil memasuki gerasi. Aku tahu kalau dia adalah Mas Furqon. Aku pun keluar dan menemuinya. Dia sepertinya kaget dengan kehadiran ku. Dia sempat terdiam selama beberapa saat, kemudian kembali merubah mimik wajahnya dengan datar seperti biasanya.
"Ada yang bisa aku bantu, mas?" tanya ku. Dia mengernyitkan alis.
"Kamu manggil saya apa?"
"Maaf." aku hanya merasa karena kami hanya berdua di sini. Makanya aku memanggilnya dengan sebutan itu.
"Kamu kenapa enggak keluar sama samudra?" dia berdiri di depan ku, tubuhnya yang menjulang tinggi dan d**a bidang itu. Sungguh begitu menggodaku. Wajahnya yang rupawan berkulit bersih itu, begitu mudah membuat jantung ini berdebar seperti orang yang kelaparan menginginkan kasih sayangnya. Apakah ... apakah aku memang enggak layak memilikinya?
"Karena aku istri orang lain!"
Apa yang salah dengan kalimat yang aku utarakan. Mas Furqon terkekeh dan menggeleng pelan. "Saya bahkan enggak pernah menganggap kamu istri saya." aku tahu, mas.
"Kamu boleh pergi dengan laki laki mana pun yang kamu. Kamu boleh memiliki hubungan apapun dengan mereka. Dan aku enggak akan pernah melarang kamu!"
Astagfirullah!
Se hina itu kah aku di matanya? sampai aku dipandang seperti itu. Sampai dia mengira kalau aku akan dengan mudah memiliki hubungan dengan seorang laki laki, disaat aku ini adalah masih berstatus istrinya?
Apa dia pikir aku ini seorang p*****r?
"Mas ..." dia melebarkan kedua matanya karena mungkin tidak senang dengan panggilan ku. Oh, ini sangat menyesakan sekali. "Aku tahu kalau mas memang enggak pernah menginginkan aku. Dan aku juga tahu kalau dimata mas, hanya ada nona Berlian saja. Iya, mas aku sadar itu. Tapi asal mas tahu, bahkan sampai saat ini aku belum pernah memiliki seorang pacar. karena apa, mas? karena aku hanya menginginkan hubungan yang halal saja."
"Munafik!"
Airmataku menetes. Tapi aku tetap tersenyum. Dan aku berikan senyuman itu padanya. Dan ku lihat laki laki itu tertegun selama beberapa saat. Aku enggak tahu, kenapa ia sampai tertegun seperti itu.
"Aku hanya ingin mas tahu, bahwa pernikahan kita itu begitu agung dan suci. Aku ingin menjaganya dengan sepenuh hatiku. Meski aku tahu yang melakukannya, hanya aku saja."
Tolong diam lah Naya. Kamu enggak berhak mengatakan ini. "Mas ... kalau sekiranya hubungan ini membebani mas. Ayo kita akhiri. Ayo kita selesaikan dengan cara baik baik."
Aku ingin menunggu apa jawabannya. Namun sampai beberapa detik aku menunggunya. Dia tetap terdiam dengan menatapku lamat lamat.