Rasya

1304 Kata
☆Aline POV☆ Sengaja aku menawarkan harga segitu padanya. Agar harga dirinya semakin jatuh. Dari mana pula, dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Kecuali jika dia minjem sama kakaknya. Cih, pake acara nangis segala. Bikin aku jengkel aja. Jujur, sebenernya aku juga merasa kasihan dengan anak itu, tapi aku telanjur benci dengan bapaknya. Apalagi saat kulihat bayi itu mirip sekali dengan bapaknya, bertambahlah rasa benciku padanya. Ya Tuhan, seandainya saja anak itu perempuan, dan mirip aku, pasti aku tidak akan sebenci itu pada anakku sendiri. Tapi ... ya Tuhan ... dia plek ketiplek banget sama bapaknya. Pantesan, saat hamil dulu aku begitu menyukai bau tubuhnya. Apa itu pengaruh ya? Ah, aku gak peduli. Ataukah karena aku begitu membenci Rimba, hingga bayi itu begitu mirip dengan dia? Bukankah kata orang kalau benci suka jadi mirip? Satu syarat lagi, aku mau memberikan ASI, tapi dengan menggunakan pompa ASI. Aku tidak mau menyusuinya secara langsung. Aku tidak mau kalau sampai merasa kasian dan jatuh hati padanya. Aku sudah putuskan ingin memutuskan hubungan dengan Rimba setelah anak itu lahir. Aku tidak ingin lagi terikat dengan mereka. Setiap dua jam sekali aku memerah dan menyerahkannya pada lelaki itu. Dia dengan wajah semringah menerima botol berisi cairan putih itu dan tak lupa selalu mengucapkan terima kasih. Sampe bosen aku dengernya. Dengan perawatan sinar UV dan juga ASI, anak itu pun akhirnya bisa pulang. Aku bisa melihat gurat bahagia dari wajahnya. Aku membuang muka ketika dia menawarkan aku untuk menggendong bayinya. Sungguh, aku takut jika sampai jatuh cinta pada anak itu. Aku tidak mau. Aku ingin segera terlepas dari mereka dan memulai hidupku yang baru. Aku hanya ingin melupakan trauma karena kehilangan suami dan kehormatanku. Seenaknya saja dia bilang, jika dia melakukan itu karena dia menyukaiku dan merasa iri padak kakaknya. Pantas saja jika keluarga itu menyebutnya berandalan. Sikap, pekerjaan dan teman gaulnya mungkin mencerminkan itu. Saat pertama kali aku bertemu dengannya, saat itu aku diajak Mas Rangga bermain ke rumahnya. Terlihat raut kaget di wajah dia. Rimba, yang kata Mas Rangga adalah adiknya. Penampilan yang sangat berbeda antara kakak beradik itu. Mas Rangga tampil selalu keren seperti eksekutif muda pada umumnya. Kemeja, blazer dan rambut yang selalu rapi. Berbanding terbalik dengan adiknya. Hanya kaos dan celana jeans yang melekat di tubuhnya. Aku jatuh cinta dengan Mas Rangga saat pertama kali melihatnya. Dia begitu mempesona. Kala itu aku sedang berjalan-jalan di mal. Aku tertawa dan bercanda dengan Dina, sahabatku. Tanpa sengaja aku menubruk tubuh jangkung itu. Ponsel yang digenggamnya jatuh ke lantai. Sesaat kami sama-sama terdiam, aku terpanah. Hingga sesaat dia tersenyum dan meminta maaf. Aku yang merasa bersalah, langsung membungkuk meminta maaf. Tak disangka dia langsung menanyakan siapa namaku. Kami pun akhirnya berkenalan. Ponsel Mas Rangga layarnya retak. Aku meminta maaf dan berniat menggantinya. Namun, Mas Rangga menolak. Sebelum kami berpisah, dia memberikanku sebuah kartu nama. Rangga Abimana, seorang pengusaha mebeul, membuatku langsung jatuh hati. Dimulai dari sana, kami mulai sering berkirim pesan memalui aplikasi hijau. Dia orangnya sangat care dan romantis. Suatu hari, dia ingin berkunjung ke rumahku. Aku menerimanya dengan senang hati. Tak lama setelah itu, dia menyatakan cintanya padaku. Gayung bersambut. Rasa hati yang sudah lama mendamba, akhirnya bisa bersama. Saat aku berkunjung ke rumah Mas Rangga, beberapa kali aku memergoki adiknya yang berandalan itu memperhatikanku dari jauh. Aku tidak mempedulikannya. Kami tidak pernah bertegur sapa, bahkan hingga rencana pernikahan itu terlaksana. Hingga saat malam mengerikan itu, yang aku kira dia adalah Mas Rangga. Ah ... aku bahkan jijik saat membayangkannya. Tangisan bayi yang dia beri nama Rasya itu menyadarkanku dari lamunan. Rimba tampak berusaha menenangkannya. Kuakui dia begitu telaten dengan anak itu. Kuacungi jempol dengan usahanya merawat Rasya. "Lin, kamu belum merah susunya ya?" tanyanya sambil menimang-nimang. Ah, iya, aku lupa. Lalu, aku menggeleng dengan wajah masam. "Kamu susuin langsung aja, ya, biar gak repot," pintanya. "Ntar deh, aku mompa dulu," jawabku ketus. "Kasian, ini, nangisnya udah kejer-kejer begini." Rimba menawar. Aku mencebik kesal. Ya sudahlah, mungkin akan lebih gampang juga jika aku langsung menyusuinya sekali-kali. "Ya sudah, sini," ujarku padanya. Wajah Rimba tampak semringah. Dia lalu menyerahkan bayi yang baru berumur tiga minggu itu padaku. Aku risi dan kaku. Kok bisa ya, dia laki-laki tapi menggendong bayi dengan nyaman? Aku aja merasa kerepotan. "Begini, Lin," katanya sambil membetulkan posisi tubuhku juga Rasya. Ada benernya juga. Posisiku sekarang jauh lebih nyaman. Aku mulai membuka baju bagian atas. Terlihat Rasya langsung mengemut payudaraku. Rimba melihat kami dengan tatapan haru. "Heh, sana jauh-jauh. Mau ngintip, ya, kamu?" tuduhku. Dia melengos. "Kita ini kan suami istri, Lin. Tidak ada batasan aurat," sanggahnya. "Itu kan menurutmu, buatku, kamu itu bukan siapa-siapa!" "Ya sudah, aku tunggu di luar saja kalau kamu gak suka aku di sini." Dia berbalik. Aku hanya bisa mendelik kesal. Rasya menyedot dengan kuat, sepertinya dia memang kehausan. Aku meringis, karena semakin lama terasa sakit. Aku tatap wajahnya, benar-benar mirip dengan ayahnya. Aku melengos. Rasa kesal mulai muncul dalam d**a. Aku benar-benar membenci wajah itu. Sebentar. Apa ini? Cairan hangat terasa mengalir ke pahaku. Aku meraba bagian p****t Rasya, ternyata memang basah. Rupanya berandalan itu tidak memakaikan diapers. Dasar cowok kere pengiritan! "Rimbaaa!" jeritku kesal. Rasya tersentak kaget dan menangis. Ah, persetan. Aku begitu kesal dengan dua manusia ini. Mereka selalu saja membuatku repot. Tak lama, pintu terbuka dan muncul wajah yang sangat kubenci itu dari sana. "Kenapa, Lin? Ada apa?" tanyanya sambil tergopoh ke arahku. Wajahku saat ini pasti sudah merah padam karena amarah. "Kenapa kamu gak pakein anak ini diapers, sih? Lihat, tuh, dia ngompol. Bajuku basah jadinya. Kamu mau ngirit ya? Harga bajuku ini jauh lebih mahal daripada sebuah popok. Kamu ngerti gak sih? "Huh, bikin jengkel aja. Nih ambil anak kamu!" Aku bangkit dan menyerahkan bayi itu pada ayahnya. "Kasian kalau terus-terusan pake diapers, Lin. Biar kulitnya bisa bernapas bebas. Lagian gak papa, nanti aku cuciin," jawabnya sambil membawa Rasya ke boks bayi yang ada di sudut kamarku. Sebenernya aku gak suka jika bayi itu ada di kamarku, tapi Mama keukeuh harus ada di sini agar aku mudah memberinya s**u. "Ah, bilang aja kamu ngirit. Bukannya irit, malah baju mahalku jadi korbannya. Huh!" Aku mendengkus kesal sambil berlalu ke kamar mandi, setelah sebelumnya mengambil baju dari kamar mandi. "Memangnya berapa sih harga baju kamu? Biar nanti aku ganti. Catat saja sebagai hutangku padamu," ujarnya, terdengar sebelum aku menutup pintu kamar mandi. Aku hanya bisa berdecih kesal. Saat aku membuka baju, terlihat perutku yang masih besar menggelambir setelah melahirkan. Kini tubuhku tak seindah dulu. Aku harus mulai menjalani diet dan kalau perlu sedot lemak dan operasi. Harus! Aku tidak mau lagi terlihat gendut. Sudah cukup sembilan bulan aku terlihat gendut, karena hamil bayi haram jadah itu. Selanjutnya aku harus kembali cantik. ** Setelah selesai masa nifas, aku mulai mengikuti olah raga dan diet ketat. Aku ingin menurunkan berat badan yang naik banyak saat hamil. "Lin, Rasya kan masih butuh ASI kamu. Kenapa harus diet sih? Nanti air susunya berkurang," protes lelaki itu. "Kan dia udah gede, kasih s**u formula lagi kan bisa?" jawabku kesal. "Kalau masih bisa ASI, kenapa harus pakai s**u formula," sanggahnya lagi. Jujur, setelah sering memberinya ASI, aku mulai merasakan suatu getaran rasa pada anak itu, dan itu justru yang ingin kuhindari. Jatuh cinta pada Rasya. Jangan sampai rencanaku untuk segera bercerai dari Rimba akan terhambat gara-gara itu. "ASI-ku memang sudah sedikit, campur sama s**u formula aja, jadi kamu gak usah terlalu tergantung sama aku," ujarku saat bersiap mau ke tempat fitnes. Sengaja aku melakukan berbagai olahraga untuk segera mengembalikan keindahan tubuhku. Aline Agatha, tidak boleh terlihat jelek apalagi gendut. Saat aku mau berangkat, Rasya terdengar menangis. Aku tak peduli, walaupun Rimba memanggilku beberapa kali. Aku tau, dia ingin aku segera menyusui anaknya. Sorry, jadwal fitnesku sebentar lagi mulai. Aku tidak ingin terlambat sampai di sana. Aku akan segera menyongsong hari yang baru sebagai seorang singel. Tanpa suami, apalagi anak. Slow update ya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN