ASI

950 Kata
♡ POV Author ♡ Setelah menjalani kontraksi selama beberapa jam, Aline akhirnya melahirkan seorang bayi mungil yang sehat. "Bayinya laki-laki, Lin," ucap Rimba. Aline menoleh sekilas, lantas kembali memejamkan matanya. "Lin, kamu gak mau lihat anakmu? Dia mirip aku," ucap Rimba pelan. Wajahnya berbinar saat melihat sang buah hati. Aline melengos. "Bayinya segera disusui ya, Bu, biar tidak kuning, jadi bisa cepat pulang," ucap seorang perawat yang menyerahkan bayi pada Rimba. Lelaki itu mengangguk. Bagi mungil itu mulai merengek. "Lin, Adek haus kayaknya. Susuin dulu, ya," pinta Rimba sambil menimang bayinya. Aline segera membalikkan badannya. Tangisan bayi itu semakin keras. Namun, sepertinya Aline tak tergugah hatinya. Dia menutup kedua telinganya dengan tangan. "Berisiikkk! Aku cape, mau tidur!" teriaknya. Untung saja mereka ada di ruang VIP. "Lin, apa kamu gak kasian? Lihat, dia mencari kamu," bujuk Rimba. "Kasih s**u formula aja kalau kamu emang kasian sama dia," jawab Aline ketus. "Lin, yang paling baik untuk bayi itu ya s**u ibunya, bukannya s**u sapi." Rimba masih berusaha membujuk sambil badannya bergerak-gerak berusaha mendiamkan tangisan sang bayi Tak lama, Retno dan Darwis—mama dan papanya Aline—datang. Raut wajah bahagia terpancar dari keduanya. "Oalaah, Oma punya cucu sekarang. Sini, sini sama Oma. Kamu kenapa menangis? Sayang ...," Retno mengambil bayi mungil itu dari tangan Rimba. "Dia haus, kayaknya, Lin. Kasih s**u dulu, Sayang," pinta Retno. Aline mendelik kesal. "Badanku sakit semua, Ma. Kasih s**u formula aja, deh. Aku pengen tidur." Aline menarik selimut hingga menutupi wajahnya. "Rimba beli s**u formula dulu ya, Tan. Kasian Adek." Rimba pamit, dijawab anggukan oleh Retno. "Sebentar saja, Lin. Kasian ini anakmu," bujuk Retno. "Susuin sama Mama aja, kalau mau. Jangan paksa aku." Aline mendengkus dari balik selimut. Darwis memberi kode pada sang istri agar tak memaksa putrinya. Retno pasrah dan menatap nanar pada bayi dalam gendongannya yang mulai terlelap karena lelah menangis. Retno kemudian duduk di sebelah sang suami di sofa panjang. "Lihat, Mas. Anak ini persis bapaknya ya? Bibirnya doang kayak Aline." Retno menunjukkan cucunya pada sang suami. Darwis mengangguk dan tersenyum. "Coba sini, aku mau gendong," pinta Darwis. "Hati-hati, Mas. Dia masih rapuh." Retno menyerahkan bayi itu ke tangan suaminya. "Aduh, gantengnya cucu Opa. Sabar ya, Papa kamu lagi beli susu." Darwis menimang-nimang. Bayi itu menggeliat, menguap lalu kembali menangis. "Aline, lihat anakmu nangis lagi," ujar Retno. "Berisik banget sih, aku mau tidur, Ma." Aline kembali menggerutu. Darwis menepuk paha sang istri. "Udah, Ma, jangan dipaksa. Mungkin Aline masih trauma dengan semua kejadian ini," bisiknya. Retno hanya menghela napas kasar. Dia hanya merasa kasihan pada sang cucu. *** Rimba berjalan pelan menelusuri lorong di sebuah mini market. Dia ambil sebuah kotak s**u dan membaca kandungannya. Di sana tertera tulisan 'ASI adalah s**u terbaik bagi bayi'. Rimba menghampiri seorang SPG yang sedang menyusun kotak s**u di pajangan. "Mbak, s**u bayi yang paling bagus yang mana ya?" tanya Rimba sambil memegang beberapa kotak dengan merek berbeda. Wanita itu menoleh. "Oh, untuk bayi berapa bulan Mas?" "Baru lahir, Mbak," jawab Rimba. "Oh, kenapa memangnya? ASI-nya belum keluar ya? Padahal mending minum pelancar ASI saja, Mas. Buat siapa? Kakaknya ya?" "Eh, bukan. Buat anak saya." Wanita itu terperangah melihat papa muda di depannya. "Oh, begitu. Kalau menurut saya sih, semua sama aja. Yang lebih baik tetep ASI. Tapi ... mungkin merek ini bagus. Coba saja. Atau mungkin Mas nanti bisa konsultasikan dulu dengan dokter anak, supaya lebih yakin," pungkasnya. Rimba manggut-manggut. "Oh, ya sudah. Saya coba dulu yang ini untuk sementara." Rimba mengucapkan terima kasih dan berlalu membawa sekotak s**u beserta botolnya itu ke kasir. ** Rimba membaca dengan saksama setiap panduan dalam kotak s**u sebelum menakarnya. Lalu menuangkan air hangat ke dalam botol. Setelah s**u itu jadi, dia memberikannya pada bayi yang berada dalam gendongan ibu mertuanya. Tampaknya bayi mungil itu sudah sangat kehausan. Hanya dalam sekejap s**u itu sudah habis diminumnya. Dia kembali tertidur dalam dekapan sang oma. "Sini, Tan, biar aku aja yang gendong," pinta Rimba. "Kamu istirahat saja dulu, Rimba. Adek biar sama Tante dulu. Lagian Tante masih kangen," tolak Retno. Rimba menurut, dia memang merasa sangat lelah setelah semalaman tidak tidur karena menunggui Aline yang kesakitan karena kontraksi. Di atas sebuah sofa, Rimba membaringkan tubuhnya yang letih. Letih hati dan juga jiwa raganya. Dengkuran halus mulai terdengar. Retno dan Darwis memperhatikan gerak-gerik lelaki itu. 'Dia anak yang baik dan pekerja keras. Kenapa dia sampai melakukan hal tercela seperti itu?' Darwis membatin. ** Hari kedua Aline tampak sudah pulih. Dia diperbolehkan untuk pulang, tapi tidak dengan bayinya. Dia harus menjalani perawatan dengan sinar UV karena kadar bilirubin dalam darahnya masih tinggi. Seorang perawat menyarankan àgar Aline mau menyusui sang bayi, supaya kadar bilirubinnya cepat menyusut. "Kamu dengar, 'kan tadi perawat itu bilang apa, Lin? ASI. Anak kita butuh ASI. Tolonglah, Lin. Kasihani dia." "Aku gak peduli sama dia. Dia itu anakmu, bukan anakku," jawab Aline ketus. Rimba bangkit dan mendekat ke arah istrinya yang tengah menikmati makan siang sambil bermain game. "Lin, bukalah sedikit hatimu untuk anak itu. Aku yang salah. Dia tidak tau apa-apa!" teriak Rimba. Aline hanya tersenyum sinis. "Aku mohon, padamu, Lin. Kalau perlu aku akan membeli air susumu itu. Berapa pun yang kamu minta." Ucapan Rimba melemah. Dia berlutut di samping ranjang sang istri. "Heh, memang berapa kamu mampu membayarku jika aku mau memberikan ASI pada anak itu?" tanya Aline ketus. "Kamu minta berapa? Bahkan jika kamu minta gunung emas pun, aku akan usahakan. Tapi tolooong ... kasihani, dia, Lin." Rimba memelas. Pundaknya meluruh. Dia larut dalam tangisnya. Aline tersenyum miring. "Ok. Aku minta lima ratus juta. Ingat! Kamu berhutang padaku, sebanyak itu," ucap Aline. Rimba mengangguk setuju. Tidak ada pilihan baginya kali ini. Meski dirinya tak memiliki banyak uang, tetapi apapun akan dia korbankan demi putra semata wayang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN