Mencoba Kembali

1640 Kata
Hanya dalam waktu sebulan, tubuhku sudah mulai kembali langsing. Demi ini semua aku sama sekali tidak mengonsumsi karbohidrat. Olahraga pun hampir tiap hari kulakukan. Tak masalah, yang penting aku bisa kembali langsing dan cantik. Hari ini, jadwal pilates, sekalian aku mau ke salon. Rambut dan kukuku rasanya sudah tidak beraturan. Walau dengan make up tipis, itu sudah bisa menonjolkan kecantikanku. Tentu saja aku percaya diri, karena aku memang sudah cantik dari lahir. Sungguh. Aku tidak sedang bercanda sama kalian. Kecantikanku ini menurun dari Mama. Mataku bulat besar dengan bulu yang lentik. Hidungku mancung, bibir yang mungil ditambah kulitku yang kuning cerah. Baru saja aku mau mengambil tas selempang, terdengar tangisan Rasya dari boks bayinya. Aku hanya bisa mendengkus kesal. Ke mana si Rimba? "Rimbaaa!" teriakku dari kamar. Dia tak juga kunjung datang. Menyebalkan! Mana jadwal pilates sebentar lagi dimulai. Aku menengok jam yang melingkar di tangan. Bikin repot aja, nih, orang. Udah kusaranin buat nyewa pengasuh juga, dia tetep ngeyel pengen ngurus bayinya sendiri. Kalau sore, saat dia ngamen, dia titip Rasya pada Mama. Jangan harap aku mau menjaganya. "Rimbaaa!" teriakku sekali lagi. Aku ogah gendong bocah itu, nanti dia ngompol lagi kayak waktu itu. Bisa gagal semua jadwalku. Huuh, ke mana tuh orang? Aku samperin Rasya ke ranjang kecilnya. Tampak dia meronta-ronta minta digendong. Aku berdecak kesal. "Rimbaaaaa! Anakmu nangis ini." Di teriakanku yang ketiga, orang itu baru muncul. Rasya pun semakin kencang menangis. Mungkin karena kaget mendengar suaraku. Aku berkacak pinggang di samping boks Rasya. Rimba tergopoh menghampiri anaknya yang nangis kejer-kejer. "Kamu lagi ngapain sih? Lama banget!" gerutuku kesal. Rimba segera meraih anak itu. Tangisnya seketika berhenti. "Kenapa gak kamu gendong dulu sih, Lin, barang sebentar. Kamu gak kasian lihat dia nangis kejer kayak gitu? Dia ini paling haus sama lapar. Kenapa gak kamu susuin dulu," ujarnya sambil menepuk-nepuk punggung Rasya di dadanya. "Aku, kan udah siap mau berangkat. Lagi buru-buru juga. Aku gak mau kalau sampai dia ngompol lagi di bajuku," jawabku sambil berlalu. Kudengar langkah di belakang. Rupanya dia ikut keluar dari kamar. Aku menoleh sekilas. Rupanya dia membuat s**u untuk anaknya. Bagus, lah, biar lama-lama Rasya terbiasa dengan s**u formula. "Kamu mau ke mana, Lin?" tanya Mama yang sedang asik menyulam. "Mau pilates, Ma." "Gak nyusuin dulu Rasya? Kasian sampe begitu," pinta Mama. "Gak usah lah, Ma. Kan bisa pake formula dulu. Aku udah buru-buru, nih," jawabku sambil melirik jam. "Ya sudah, hati-hati." *** Pelatih mengakhiri sesi latihan setelah satu setengah jam. Badanku lumayan berkeringat. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian aku bergegas karena akan lanjut ke salon. Kupoles make up tipis di wajah. Kupandangi wajah di cermin. Wajah cantik dan masa muda ini akan sia-sia jika terus hidup dengan lelaki kere itu. Aku harus move on dan memulai hidupku menjadi lebih baik. Bagaimana caranya agak berandalan itu mau menceraikanku? Ah, nanti saja kupikirkan lagi. Pokoknya sekarang, aku tidak boleh hanya berdiam diri di kamar dan menangisi yang sudah terjadi. Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, karena aku tidak sedang terburu-buru. Kubelokkan mobil ke kanan, ke arah gerbang mal di mana salon itu berada. Setelah memarkirkan mobil, aku turun dan melangkah pasti menuju salon ternama langgananku dulu. Para petugas salon banyak yang masih mengingatku, kecuali yang baru. Tentu saja, sudah setahun lebih aku tidak berkunjung ke sini. Wajar saja jika ada beberapa pekerja di sini yang resign dan digantikan oleh yang lain. "Eh, Mbak Aline. Sudah lama gak ke sini. Mau diapain, nih, Mbak?" tanya Ocha salah seorang petugas salon yang sudah senior. Dia ini seorang lelaki yang bersikap seperti wanita. "Aku mau potong rambut, sekalian creambath. Rapihin aja, ya, biar gak terlalu panjang. Warnain coklat aja kayak biasanya ya," ujarku. Ocha mengangguk. "Nggak facial, nih, Mbak? Biasanya suka maskeran juga," tanya Ocha. "Tentu saja, beres rambut, sekalian facial dan manicure, pedicure juga," jawabku sambil tersenyum. "Siap, Mbak. Mbak Aline tinggal merem, ntar tau-tau udah cantik kinclong, deh." Ocha mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Duh, nikmat banget rasanya, walaupun wajah dan kepalaku dibejek-bejek sama petugas salon. Ujung-ujung jariku pun terasa agak pedih. Mungkin sedang dibersikan kutikulanya, yang penting hasilnya memuaskan. Sedikit sakit, tak apalah. Hampir dua jam aku menghabiskan waktu di salon. Kepala dan wajahku terasa ringan. Rasanya sudah berabad-abad aku tidak mengunjungi salon. Kulihat pantulan di cermin. Wajahku jauh lebih bercahaya. Setelah sembilan bulan sering berjerawat karena pengaruh hormon kehamilan. "Mbak Aline, mah emang udah cantik sih. Abis perawatan keliatan jauh lebih cantik," puji Ocha. Ah, aku ngerti, dia minta tips. Aku tersenyum sambil menyempilkan uang warna biru ke saku celananya. "Makasih, ya," ucapku sambil berlalu hendak ke kasir. "Sama-sama, Mbak. Sering-sering datang ke sini ya, Mbak," teriak Ocha. Aku hanya melambaikan tangan padanya. *** Sambil lewat, aku melihat-lihat koleksi terbaru di toko baju dengan merek ternama. Sudah berapa lama aku tidak ke sini? Aku melangkah masuk, disambut anggukan dan senyuman hangat dari gadis pelayan toko. Aku susuri lorong yang terpisah karena deretan baju yang tergantung memanjang. Begitu fokusnya, hingga tanpa sadar aku menabrak seseorang yang juga sedang melihat-lihat koleksi baju di sini. Mataku membulat dan berbinar saat kulihat siapa dia. Kejadian dulu terulang lagi. Aku menabrak tubuhnya di mal ini. "Aline?" "Mas Rangga?" Pandangan kami bertemu. Sungguh cinta ini masih begitu besar padanya. Dia makin terlihat gagah juga tampan. Pakaiannya yang selalu rapi dengan rambut klimisnya, membuatku jatuh cinta berkali-kali. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya padaku. "Emmh, lagi lihat-lihat, Mas. Apa kabar, Mas?" sapaku sedikit grogi. Ya Tuhan, untung saja aku baru dari salon. Seandainya saja kami bertemu dalam keadaan aku sedang kucel, mati, aku! Mana dia selalu terlihat sempurna. "Baik. Gimana kabar kamu sama Rimba?" tanyanya membuat hatiku mencelos. Aku menunduk dan menggeleng. "Aku sangat membencinya, Mas. Aku bahkan tidak bisa menerima anak itu," ucapku lagi. Mas Rangga tersenyum. "Kamu tambah cantik, Lin," pujinya, membuatku terbang ke langit biru. Mataku sudah pasti langsung berbinar demi mendengar pujian itu. "Mas, bisakah kita melupakan masa lalu dan memulai dari awal lagi?" pintaku dengan mata berkaca-kaca. Air muka Mas Rangga berubah masam. "Aku belum tau, Lin. Emmh, sebaiknya kita ngobrol di luar. Gak enak kalau di sini," ajaknya. Aku mengangguk dan mengekor di belakangnya. "Maaf, Mbak, lain kali saja kami belanjanya," ucap Mas Rangga pada pelayan yang berpapasan dengan kami. Pelayan itu mengangguk. Sebuah kafe yang agak sepi kami pilih untuk tempat ngobrol. Kami duduk berhadapan sambil memegangi secangkir capucino. "Mas, kenapa kamu tega ninggalin aku. Itu semua kan, bukan aku yang salah, tapi adikmu itu. Apa hanya sebatas selaput dara saja cintamu padaku?" Aku memulai pembicaraan. Mas Rangga menghela napas panjang. "Aku dilema, Lin. Walaupun aku mencintaimu, tapi ... aku tidak ingin jika kita meneruskan pernikahan itu, aku malah akan menyakitimu," ucapnya lirih. Ah, aku bisa melihat orang baik macam apa yang ada di depanku ini. Aku semakin mencintainya. "Lalu, apakah setelah aku bercerai dengan Rimba, Mas bisa menerimaku lagi? Dia tidak pernah menyentuhku lagi setelah malam itu, Mas. Aku bahkan membuat hidupnya menderita," lanjutku. "Bisakah kamu menerimaku sebagai seorang janda? Dan melupakan kejadian mengerikan itu? Aku mohon, Mas. Hanya kamu yang ada di hatiku." Aku meraih jemari Mas Rangga dan menggenggamnya erat. Dia menatapku tajam. "Aku juga masih mencintaimu, Lin. Tapi ...." "Tapi apa, Mas?" "Aku tidak tau, apakah aku bisa menerimamu atai tidak," ucapnya pelan. "Bagaimana kalau kita coba lagi mengulang dari awal?" pintaku sambil meremas jemarinya. Aku tahu, kalau aku masih memiliki kesempatan itu. "Ayo kita buat adikmu itu semakin menderita dengan kebersamaan kita," lanjutku lagi memohon. Rangga kembali menatapku, lalu tersenyum. "Ya, mungkin kita bisa mencobanya." Dia membalas genggaman tanganku. Aku sangat terharu, lalu menarik tangan itu dan menciumnya dengan penuh perasaan. ** Setelah pertemuan itu, aku dan Mas Rangga kembali menjalin hubungan. Kami sering bertemu dan berjalan-jalan seperti orang pacaran. Lelaki romantis itu selalu memanjakanku dengan sejuta kata rayu dan rindu. Ya Tuhan, aku benar-benar mencintainya. Setelah itu, aku semakin membenci keberadaan Rimba juga anaknya. Aku ingin segera terlepas dari keduanya. Bukankah aku berhak untuk bahagia? Jika dulu dia merampas kebahagiaanku, maka saat ini aku akan memintanya kembali. Sore itu, aku baru pulang setelah bertemu dengan Mas Rangga. Kulihat Rimba sedang menimang Rasya sambil bernyanyi dan meberinya s**u dari botol. "Lin, sebentar lagi aku mau kerja. Bisa nitip dulu Rasya sebentar? Mamamu tadi berangkat ke arisan, katanya sih gak akan lama. Mungkin sebentar lagi pulang," pintanya. Aku hanya menoleh sekilas sambil mendelik kesal. "Enak aja, aku cape mau tidur. Kamu tunggu aja sampai Mama pulang. Lagian, lagakmu kayak kerja kantoran aja. Manggung telat dikit kan, gak akan apa-apa. Tinggal bilang saja sama temenmu itu. "Atau kalau kamu mau, bawa aja anakmu itu dan titipin sana si Cindy itu. Aku lihat dia menyukaimu. Aku yakin dia mau menerima anak harammu itu." "Aline! Cukup! Jangan kau hina anakku. Kelakuanku yang b***t. Kesalahanku yang haram, tapi Rasya bukan anak haram. Tidak ada anak yang haram. Mereka terlahir suci!" teriaknya sok kayak ustaz. "Heh, kelakuan kayak berandalan aja sok nyeramahin orang. Harusnya kamu sadar diri, bukannya nyalahin orang lain," jawabku ketus. "Oh ya, Rimba, kapan kamu mau nyerein aku? Aku sudah bosan hidup sama kamu. Lelaki gak ada guna," umpatku. Kulihat Rimba menghela napas panjang. Mungkin untuk menahan emosinya yang memuncak. Hahaha. Sekali lagi aku menjatuhkanmu, lelaki sialan! Tak kuhiraukan lagi dia. Aku merebahkan diri di atas kasur dan mencoba memejamkan mata. Aku bisa mendengar kepergian orang itu. Sepertinya dia membawa anaknya ikut serta. Baguslah! Biar aku tidak pusing mendengar tangisannya. Tak berselang lama, ada panggilan masuk. Ternyata dari Mas Rangga. Aku segera mengangkatnya. Aku menghidupkan kamera agar kami bisa video call. Walau baru beberapa jam lalu kami bertemu, tapi aku sudah merasa rindu lagi padanya. Kami mengobrol banyak hal. Dia selalu bisa membuatku tersanjung dengan segala pujiannya. Lagi-lagi aku jatuh cinta pada mantan suamiku itu dengan seluruh jiwa ragaku. Bagaimana nasib Aline saat kembali bersama dengan Rangga ya? Apakah bener jadi bahagia? Atauuuu .... Jangan lupa tap love, agar aku tahu seberapa banyak yang ingin cerita ini lanjut. kalau hanya sedikit, aku stop saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN