•• Happy reading ••
Berbaikan dan meminta maaf duluan bukan sesuatu yang buruk. Kau pantas akan pujian itu.
"Sini adek bukain, Mas." Andara mengambil kantong plastik yang berisi kwetiau yang ada di tangan Vante. "Ini kesukaan Adek banget. Papah tau aja mood Adek tadi lagi bete."
Vante tersenyum dan mengusap kepala istrinya dengan pelan. Sejak percakapan di kamar mandi tadi, mereka seperti semakin lengket layaknya perangko yang tidak bisa dikupas lagi. Perihal kata 'adek' juga sudah dijelaskan oleh Andara. Karena dia terbiasa memakai kata itu bersama Vante, jadi dia terbiasa juga mengatakan kata tersebut pada orang tuanya. Dia juga beralasan jika Mamah dan papahnya tidak masalah dengan kata tersebut.
"Papah Mah dikasih tau Mamah, memangnya anak papah kenapa bete?" tanya Brama pada putri kecilnya itu yang kini tampak sumringah dan ceria. Jelas, tadi dia diberitahu oleh Sonata jika putri dan menantunya sedang bertengkar. Tapi, saat pulang tadi hanya terlihat dua sejoli itu menempel tanpa mau dilepas.
"Adek tadi jahat ke Mas Vante, ngomongnya kasar terus marah-marah sendiri," jawab Andara. Lalu, meletakkan piring berisi kwetiau tersebut dihadapan suaminya.
"Enggak kok Pah, itu Vante yang salah," sela Vante, menurutnya istrinya terlalu berlebihan menyalahkan diri sendiri dan itu tidak baik.
"Adek udah minta maaf sama suaminya? Udah baikan?"
Andara mengangguk. "Udah, adek udah minta maaf, Mas Vante juga, makanya udah baikan," balasnya lagi dengan tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi pada Brama.
"Udah baikan tuh, Pah. Mana bisa jauh-jauh, apalagi putri kita bucin banget ke suaminya. Manalah tahan musuhan lama-lama," lontar Sonata yang berjalan dari arah dapur dengan membawa nampan berisi air minum. "Ini minumnya, Mamah sama Papah tinggal dulu, ya?"
"Loh, Mamah sama Papah ga ikut makan?" tanya Vante.
Sonata melihat jam besar yang terpajang di dekat kursi sofa, lebih tepatnya sudut ruangan. Saat itu, pukul menunjukkan 18.39. "Mamah sama Papah mau ke acara kolega Papah, jadi makan disana kemungkinan. Mamah sama Papah tinggal ga apa-apa, kan?"
Vante nampak terperangah sedikit, benar-benar berbeda dengan kedua orang tuanya. "Oh, iya, gapapa Mah," balas Vante kemudian. "Ehm, Andara dimana? Kayanya ga keliatan di rumah ini?"
Sonata dan Brama saling pandang dengan wajah yang sedikit tidak enak.
"Kenapa Mah? Kak- eh- adek ga ada, Mah?" Hampir saja Andara keceplosan dengan memanggil kakak, untung dirinya cepat sadar.
Brama berdiri dari duduknya. "Tidak usah ditanya, dia sedikit bandel dan pindah dari rumah ini."
"Loh?" tanya Vante kebingungan. "Andara pindah?"
"Iya, dia pindah. Tidak usah dipikirkan, dia sudah dewasa juga dan ingin fokus pada pekerjaannya," jawab Sonata.
Lalu, tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Sonata dan Brama segera masuk ke dalam kamar dan bersiap untuk pergi ke pesta kolega Brama.
***
Setelah rumah sepi, menyisakan pasangan suami istri itu yang menyantap dengan lahap kwetiau lezat tersebut. Memakannya dengan suapan besar dan sesekali wanita manis itu meletakkan diam-diam bawang goreng miliknya pada piring Vante. Andara tahu, Vante sangat menyukai bawang goreng dan Andara suka memberikan miliknya pada Vante.
"Ehm, Mas kadang minder loh dek."
Andara menolehkan kepala ke samping. "Minder kenapa? Kan ada Adek disini, siapa yang ngatain Mas, biar adek lawan. Mas Dhika? Mas Arshad?"
Vante terkekeh mendengar respon istrinya, pasti sangat menggemaskan jika bisa melihat secara langsung ekspresi wanita itu.
"Bukan itu. Mas kadang minder, keluarga Mas biasa-biasa aja, terus Mas berani lamar Adek yang notabennya dari keluarga berada. Adek anak orang kaya kok mau sama Mas yang ka-"
"Shut!!" Andra menutup mulut Vante dengan telapak tangannya. "Adek bosan dengar itu mulu. Kan, Adek juga cintanya sama Mas, masa cuma gara-gara itu kita ga bisa nikah. Mas sama ibu ayah tu baik banget loh, Mamah sama Papah aja ga nyangka bisa besanan sama ibu dan Ayah, keluarga cerdas dan terhormat, banyak yang mau besanan sama ayah dan ibu, tapi Papah dan Mamah yang beruntung, hehe…."
Cup!
Vante mencium bibir Andara sekilas, terasa berminyak karena mereka belum selesai memakan kwetiaunya.
"Kan, suka ngagetin. Adek belum siap dan disosor. Lagi," pinta Andara seperti menagih janji.
Cup!
Kembali, Vante mencium bibir Andara. Bahkan, tangannya mengangkat tubuh mungil istrinya untuk dipangku.
"Lagi makan tau, minyakan. Mas mau?" godanya diselingi dengan menjambak rambut gondrong suaminya yang tidak disisir. Sengaja, Andara suka melihat rambut gondrong nan berantakan itu, walaupun dia sering berkoar menyuruh suaminya untuk potong rambut.
"Mau, lebih enak kaya gitu."
"Ck." Andara mencubiti pipi suaminya dengan kuat. "Candu banget ya kalau ciuman sama adek."
Hm.
Vante melahap bibir Andara layaknya sebuah jelly kenyal yang begitu lembut. Bibirnya terus bergerak menyatukan lidahnya dengan lidah istrinya. Andara juga tidak tinggal diam, dia memilih memainkan rambut suaminya dan ditarik-tarik pelan.
Eungh.
Lenguhan kedua pasangan suami istri itu jelas memenuhi isi ruangan keluarga malam itu. Vante yang ingin b******a dengan Andara dan Andara yang siap kapanpun akan melayani suaminya dengan baik.
Tanpa sadar, satu persatu kancing baju daster yang dikenakan Andara terbuka karena ulah jari-jari Vante. Daster mini itu juga sudah tertarik sampai ke atas pinggang dan paha Andara yang memerah karena terus-terusan diremat oleh Vante.
Tidak mau kalah, Andara menurunkan tangannya untuk masuk ke dalam baju Vante, memainkan perut laki-laki itu dengan cara diusap secara s*****l. Alhasil, timbul rasa sesak dari dalam celana laki-laki itu.
Prak.
Benda terjatuh dari arah pintu utama terdengar, membuat Vante dan Andara memberhentikan aktivitas mereka. Andara buru-buru turun dari paha suaminya dan menurunkan dasternya yang diangkat Vante tadi sampai ke perut.
Saat tahu siapa penyebab timbulnya suara benda jatuh, Andara dengan salah tingkah mengancingi bajunya dengan asal. Disana, ada Indira yang menatap keduanya dengan tatapan tidak enak. Ada rasa sesak yang tiba-tiba mengepul di ulu hati wanita itu, apalagi Vante yang terlihat menyayangi Andara.
"K-kamu sejak kapan disitu?" tanya Andara gugup pada Indira.
"S-siapa?" Vante tampak berbisik pada istrinya.
"Andara," jawab Andara singkat. Dia berusaha memperbaiki rambutnya yang terlihat berantakan.
Sontak, Vante kaget dan bola matanya bergerak-gerak panik. "O-oh Andara."
Indira tidak melepaskan pandangannya dari Vante, pria gondrong itu terlihat lebih berisi dari sebelumnya, tubuh kekar atletis disertai rambut yang tidak disisir, menambah kesan tampan dan memikat hati wanita saja.
Indira iri. Andara tahu bagaimana cara mendandani laki-laki itu dengan sempurna.
"Aku hanya ingin ambil barangku yang tersisa di kamar." Indira memungut tasnya yang terjatuh tadi dan segera mengayunkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar.
"Mas, dia dingin sekali. Aku jadi takut," lirih Andara lalu kembali duduk di samping suaminya.
"Dia terlihat bukan seperti Andara. Adek ga mau nanya ke dia, mungkin dia ada masalah," ujar Vante.
"Apa Adek temui ya, Mas? Wajahnya kaya pucat tapi galak. Adek jadi takut."
"Mau Mas temenin?"
"Adek aja kali ya, Mas. Mas tunggu sini, ya?"
Vante mengangguk sebagai jawaban, membiarkan istrinya menemui Indira di dalam kamar. Mungkin, memang adik iparnya sedang ada masalah dan banyak pikiran. Tapi, bukankah Andara selama ini bukan orang yang seperti itu? Vante tahu, Andara gadis yang lembut dan ramah.
Belum sempat terlaksana, Indira keluar dari kamarnya tepat saat Andara berdiri. Wanita yang lebih tua dari Andara tersebut terlihat tengah menjinjing tas baju yang besar.
"Kau benar-benar akan pindah?" celetuk Andara karena dia merasa iba pada orang tuanya yang akan semakin merasa kesepian di rumah.
"Bukan urusanmu. Urusi saja dirimu dengan suamimu yang kesusahan itu," jawab Indira dengan penuh sarkas, memandang nyalang Andara seperti ingin diterkam habis-habisan.
Stak.
Hati Vante terasa dicubit begitu saja, baru kali ini ia melihat sisi adik iparnya yang begitu kasar dan tempramen.
"Jaga mulutmu, kau tidak berhak merendahkan Mas Vante. Aku yang lebih tau tentang suamiku," hardik Andara dengan mengepalkan kedua tangannya karena geram dengan sikap emosional yang selalu Indira keluarkan.
"Kau benar-benar bertingkah seperti tuan putri, ya? Apa karena ada suamimu disini kau mulai bertindak berani?" Indira kembali mencela Andara. Dia tidak peduli dengan Vante yang ada disana.
"Andara!" tegur Vante karena dia sedikit tidak suka pada kata-kata yang dilontarkan oleh adik iparnya itu. "Kau kenapa? Kau terlihat seperti bukan Andara yang biasanya. Dan istriku itu, kakakmu, apa kau pantas berbicara seperti itu?"
"Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau mencampuri urusanku, Vante? Tidak bisakah kau diam saja. Kau terlihat menyedihkan bersama istrimu itu," ucapnya disertai dengan kekehan remeh yang merendahkan orang lain.
"And-"
"Udah Mas, gapapa. Gausah lagi ladeni dia. Biarkan dia pergi sesuka hati dia.
"Gausah sok peduli sama gue. Gue bisa sendiri hidup tanpa bantuan kalian. Cih!" Indira menyeret tas yang dijijingnya dan pergi dari hadapan Andara. Menyisakan sepasang suami istri yang terdiam saling termenung dengan pikiran masing-masing.
"Mas…."
"Uhm? Kenapa?"
"Maaf, ya… atas sikap adekku," mohon Andara dengan suaranya yang sedikit bergetar. Dia selalu merasa kehadirannya tidak pernah dihargai dan diterima oleh Indira.
"Sayang kemari, sini…." Vante menepuk pahanya dan mengajak Andara untuk duduk dipangkuannya. Andara mengiyakan dan mendekat pada suaminya.
"Mas gapapa, Mas khawatirnya sama kamu. Andara berubah menjadi aneh, kita biarkan saja dulu," tutur Vante dan membawa tubuh istrinya ke dalam dekapan.
"Mas, besok kita ke rumah sakit lagi yok," pintanya, suaranya terdengar serak di d**a Vante.
"Kenapa? Adek sakit? Mana yang sakit?"
Andara menggeleng. "Kita ke dokter Risa, mau tanyain donor mata Mas itu. Kalau bisa secepatnya."
Vante mencium puncak kepala wanita itu dengan lembut dan penuh pengertian. "Gara-gara ucapan tadi? Mas beneran gapapa yang penting istri Mas ini selalu sama Mas. Tapi, kalau memang adek tenangnya besok ketemu dokter Risa ya ayo, Mas turuti. Tapi, jangan kecewa sama hasilnya."
Andara mengaitkan tangannya mengelilingi leher Vante. "Sayang Mas banyak-banyak. Pokoknya Mas harus cepet bisa ngeliat biar ga diremehin orang-orang lagi."
"Adek sayang banget ya sama Mas?"
Andara mengangguk-ngangguk. "Sayang. Adek sayang sama Mas, pokoknya Adek mau Mas bahagia terus."
"Mau janji sama Mas?"
"Janji apa?" tanya Andara penasaran.
"Janji, suatu saat ga peduli apapun itu. Pokoknya sosok ini, ini yang Mas peluk sekarang, harus selalu ada di samping Mas. Ga peduli apapun itu alasannya, yang Mas mau istri Mas ini ga pernah ninggalin Mas."
"Adek ga kemana-mana kok. Kan selalu sama Mas juga setiap waktu," lontar Andara. Hati dan darahnya seperti berdesir hebat dengan detak jantung kelewat cepat. Apa Vante sebenarnya menyadari sesuatu tentang hubungan rumah tangga ini? Boleh Andara berharap sedikit?
"Janji?" Vante mengangkat tangannya dan memperlihat jari kelingkingnya pada Andara. "Janji bakal selalu sama Mas?"
Andara tersenyum dan mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Vante. "Janji, Adek janji."
Waktu itu akan tiba, dimana semua rencana berjalan semestinya dengan ending yang sedikit tak terduga.
•• To be continue ••