•• Happy reading ••
Pertengkaran kecil yang semakin menyatukan keduanya.
"Mas? Lagi apa? Dengerin lagu atau main pop it? Kok suaranya ga kedengaran lagi?"
Tidak ada jawaban, sepertinya laki-laki itu tertidur lelap. Bosan dengan kesepiannya karena Andara yang sibuk dengan pekerjaannya. Sore ini, ia berencana akan ke rumah mamahnya dan menginap disana bersama Vante, alasannya Sonata tengah merindukan putri bungsunya itu.
"Mas?" panggil Andara kembali karena masih penasaran dengan apa yang dilakukan suaminya itu. Apa benar-benar tertidur lelap?
Andara pun bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ruang tengah. Disana sepi hanya ada koleksi pop it miliknya yang bertebaran di lantai, Vante yang memainkannya.
"Mas? Mas dimana sih? Kalo apa-apa tuh bilang adek dulu," ucap Andara. Kini, berjalan ke arah dapur, tapi tidak ada suaminya terlihat. "Kok ga ada? Apa di kamar, ya?"
Ptak.
Bunyi orang terjatuh menimpa lantai terdengar di telinga Andara, sumbernya dari arah kamarnya.
"Mas Vante!" Andara berlari dan menuju kamarnya. Dia sangat takut jika suaminya kenapa-kenapa.
"A-andara… ughh akhh!" pekik Vante karena tulang ekornya yang begitu sakit, belum lagi sikunya yang menghentam pinggiran bathup.
"Astaga! Mas Vante!" Andara membawa Vante ke pelukannya. "Mas! Ya Tuhan! Mas kenapa! Jatuh gini! Mana yang sakit!" Andara berusaha memperhatikan setiap inci kulit Vante untuk memastikan luka yang ada.
"P-p****t Mas sakit, Dek! Rasanya seperti patah. T-tidak bisa berdiri," ucap Vante tertatih-tatih dan memegangi pahanya yang terasa kebas.
"Ya Tuhan! Mas tuh kenapa ga bilang adek? Kan bisa minta tolong ke adek kalo mau ke toilet. Kok ga mau ngertiin adek dikit aja?"
Nyus.
Sesuatu yang membuat hati Vante mencelos mendengarnya. Andara, kelihatan marah besar akibat ulah Vante.
"Mas cuma mau buang air kecil, jadi Mas pikir ga perlu minta bantuan adek," bela Vante tidak mau kalah. Masih dalam keadaan meringis karena tulang ekornya yang begitu ngilu.
"Ya, tapi, kan? Nah, liat! Jadi bahaya, kan? Tinggal bilang ke adek mau pipis aja, susah? Mas ga mau ngertiin perasaan adek, maunya dingertiin mulu, capek adek jadinya kalo gini mulu."
"Anda-"
"Diem disitu! Adek telepon minta bantuan ke rumah sakit. Ga usah nolak, punggung Mas tuh sakit biar diobati disana." Andara berdiri dan kembali ke ruang kerjanya, dia menelpon teman kerjanya yang ia kenal untuk membantunya membawa Vante ke rumah sakit.
Di toilet tersebut, menyisakan Vante yang mengingat perkataan Andara tadi. Jadi, selama ini istrinya sangat capek mengurusnya? Begitu melelahkan, ya? Berarti, dirinya hanya beban yang tidak menguntungkan sama sekali.
"Jadi, Mas beban ya, Dek…." kekehnya dengan hambar, menertawakan dirinya yang sekarang tidak bisa apa-apa. Hatinya sakit dan malu pada dirinya sendiri.
Dengan tenaga yang tersisa, Vante berusaha meraba pinggiran bathup dan mencoba berdiri sendiri. Setidaknya, dia tidak perlu merepotkan orang yang datang nanti untuk membantunya ke rumah sakit.
Brag!
Lagi, Vante membuat kegaduhan karena pinggiran bathup yang licin. Untuk kedua kalinya, tulang ekornya terhentak.
"Mas! Mas! Ya Tuhan Astaga! Adek suruh diam kan tadi!" Andara panik dan mendekati Vante, dia mencoba menyentuh lengan suaminya dengan maksud untuk menolong.
Tepat saat itu, Vante menepisnya. Laki-laki itu pura-pura sibuk sendiri dan tidak menggubris perkataan Andara.
"Mas?"
"Ga usah, aku bisa sendiri. Lagian aku nyusahin, kan?" sindirnya yang membahas perkataan Andara tadi. Dia kembali ke mode itu, mode merajuk.
***
Saat tiba di rumah sakit, dokter segera menangani Vante dan memberikan obat pereda nyeri agar pria itu sedikit lebih enakan.
"Suaminya jangan dimarahin atuh, sayang. Kan kecelakaan, sabar, ya…." Sonata yang ada di samping Andara memberikan usapan lembut di punggung putrinya. Mereka berada di ruangan yang sama dengan Vante. Vante memilih merajuk dan tidak mau berbicara dengan Andara sejak tadi.
"Abisnya nakal, udah adek bilangin loh Mah, kalau apa-apa tuh bilang adek dulu, kan adek bisa bantuin," protes Andara, matanya terus menatap Vante yang sibuk memainkan jari-jarinya sendiri.
"Vante cuma mau ke buang air kecil, Mah. Indira tuh lagi sibuk kerja, makanya Vante berusaha buat ngelakuin sendiri." Kini, Vante yang mengeluarkan pendapatnya untuk membela diri.
"Yah kalo udah gini kaya mana? Kan jatuh jadinya. Mas tu ga pernah ngertiin adek, dikit ajaaaaaa," sela Andara, matanya tampak memerah saat mengatakan itu.
"Bukan ga ngertiin, aku tuh juga malu ra, apa-apa selalu jadi beban kamu, sampai kamu bilang kamu capek sama aku, makin ga mau aku nyusahin kamu, ya maaf, kan aku ga bisa liat!"
"Mas ak-"
"Udah-udah, sayang…. Udah, ya. Anak Mamah tenangin diri dulu, ya." Sonata terus memberi usapan agar putri bungsunya itu dapat menahan ego lebih banyak.
"Tapi Mas Vante tuh-"
"Udahlah Mah, Vante gapapa kok sendirian, biarin Indira ikut Mamah aja, Vante nanti minta anterin Dhika aja ke rumah Ibu. Biar Indira ga kewalahan ngurusin Vante di rumah Mamah," potong Vante cepat, tidak mau mengalah dari istrinya.
"Tuh kan, Mah!" Andara menghentakkan kakinya kesal. "Selalu gitu, ga mau ngalah. A-adek kan cuma khawatir kalo Mas Vante kenapa-kenapa… ughh!" Andara menghapus air matanya yang sudah turun tanpa bisa dibendung. "A-adek t-takut Mas V-vante kenapa-kenapa…," lirihnya dengan suara yang bergemetaran, membuat Vante membulatkan kedua matanya dengan panik. Setelah itu, Andara mempercepat langkah kakinya dan menuju keluar ruangan.
"I-indira…."
"Udah gapapa, nanti balik baik lagi kok," ucap Sonata pada Vante. "Anak mamah satu itu kalau lagi khawatir sama seseorang tanpa sadar suka kelewatan cara bicaranya. Nak Vante maklumi, kan?"
Vante menjadi tidak enak pada Sonata yang bersikap baik pada dirinya. "Mamah, ini salah Vante. Harusnya Vante ngertiin Indira."
Sonata menepuk pelan pundak Vante, dia menganggap menantunya sebagai putranya sendiri. "Gapapa, Mamah ngerti kok posisi Vante. Istrimu itu terlalu khawatir, bukan dia menganggap Vante beban, dia cuma takut Vante kenapa-kenapa. Anak Mamah itu maunya Vante selalu baik-baik aja, maunya Vante tuh selalu aman dalam jangkauan dia. Cuma caranya sedikit salah, omongannya sedikit kasar."
"Enggak, Mah." Vante menggeleng. "Enggak kasar sama sekali. Kayanya Vante tadi terlalu terbawa perasaan, padahal Indira panik pas tau Vante jatuh," ucap laki-laki itu dengan perasaan amat bersalah dan menyesal.
"Jadi, mau balik ke rumah Mamah, kan? Biar putri Mamah ga jauh-jauh sama suaminya?" tawar Sonata, dia ingin kedua pasangan itu tidak berpisah rumah saat ini. Sonata menyukai momen-momen dimana Andara yang telaten mengurus Vante.
"Indira pasti ingin bersantai sama Mamah-"
"Udah, fix ya ke rumah Mamah, kalian udah besar, pasti bisa nyelesain masalah. Mamah percaya kalian bisa nurunin ego, kapan lagi coba belajar sama-sama minta maaf?"
"Uhmm…." Vante mengangguk. "Mamah benar, udah saatnya belajar nyelesain masalah.
"Bagus, itu artinya kalian udah mau belajar jadi dewasa sepenuhnya."
***
"Sayang, suaminya udah mandi atau belum? Kamu kok disini nonton tv? Ga boleh gitu, anak Mamah kok jadi egonya tinggi?" Sonata mengelus dagu Andara yang sedang berbaring di atas sofa sambil menonton drama, ditemani dengan cemilan kacang mete yang begitu lezat.
Sonata meletakkan springbed yang dibawanya di sisi soda lain. "Adek? Kok gitu? Ga boleh ih, sayang."
Andara mengerucutkan bibirnya karena badmood. "Nanti adek disalahin lagi, nanti Mas Vante marah-marah ke adek," tuturnya dengan kesal.
"Mana ada gitu," lontar Sonata. "Sana, liat suaminya udah mandi atau belum. Sama springbed-nya dibawa, ya, Dek," titah Sonata. Dia menuntun Andara agar bergerak dan berdiri sesuai perintahnya. "Nanti, Mamah sms papah suruh beli kwetiau kesukaan Adek."
"Uhmm…," respon Andara. Dia mengambil springbed tersebut dan dibawa masuk ke dalam kamarnya. Sonata yang melihat tingkah anaknya, tentu hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Saat Andara masuk ke dalam kamar, dia melihat suaminya yang sedang tertidur lelap.
Hatinya mencelos, dia sepertinya menyadari bahwa telah melakukan kesalahan yang fatal pada suaminya. Semakin sendu saat menatapi wajah sang suami yang begitu damai menyejukkan hati.
"Mas…." Andara menyentuh pipi Vante dengan pelan, lalu meletakkan springbed yang disiapkan Sonata tadi untuk dipakaikan ke kasur yang tengah ditiduri oleh suaminya.
"Uhmm…." Vante meringkukkan tubuhnya dan memeluk bantal guling lebih erat. Andara tersenyum kecil melihat tingkah laki-laki itu.
"Mas… udah sore, mandi, ya? Adek mandiin," ucapnya lagi. Kini, mata Vante terbuka saat menyadari kehadiran Andara.
"Uhm, udah sore?" tanyanya.
"Iya, udah sore. Mandi, ya? Sama Adek. Maafin Adek, ya?" tutur Andara dengan lembut. Vante lebih memilih diam dan mencoba duduk, kakinya meraba untuk mencari sandal rumah miliknya.
"Ini sandalnya," ujar Andara dan memasangkan ke kaki Vante.
Sejujurnya, laki-laki itu masih linglung dan belum kembali normal seperti sebelumnya. Maklum efek tidur sore hari yang nyatanya kurang baik untuk rutin dilakukan.
"Makasi, ya," kata Vante.
"Iya. Mandi sama Adek, ya?"
Vante mengangguk mantap dan mencoba berdiri dibantu oleh istrinya. Andara pun memberikan tongkat Vante dan menuntun suaminya itu untuk ke kamar mandi dengan tergopoh-gopoh.
"Sakit pinggangnya, Mas?"
"Masih ngilu, tapi tidak separah tadi."
"Duduk sini," titah Andara membawa Vante duduk di atas toilet duduk yang tertutup. "Biar adek mandiin, buka dulu bajunya."
Vante mengangguk dan membuka pakaiannya hingga tak tersisa. Tentu, Andara sudah terbiasa melihat Vante yang seperti itu. Jelas, itu adalah suami sahnya.
Andara mengangkat shower dan membasuh seluruh tubuh suaminya dari ujung rambut hingga ke kaki Vante. Memberinya shampo dan mengusap dengan sabun layaknya memanjakan sang suami dengan penuh cinta.
"Pedih matanya?"
Vante menggeleng. "Enggak pedih kok, Dek, hehe…."
"Maafin Adek ya karena tadi ngomong kasar ke Mas," ucapnya disela-sela aktivitas menyabuni tengkuk leher suaminya dengan telaten.
"Adek gak ngomong kasar, Mas aja yang pecicilan ga ngomong ke adek kalo mau ke toilet. Padahal adek lagi sibuk kerja, capek sama kerjaannya, Mas malah bertingkah. Maafin Mas ya, Dek…." tutur Vante dengan hati yang tulus. Dia ikhlas mengakui kesalahannya yang ceroboh tersebut.
Andara pun tersenyum dan kini tangannya berpindah menyabuni d**a dan perut suaminya. "Makasih ya, Mas udah ga marah lagi sama adek. Adek tuh beneran ga mau Mas kenapa-kenapa. Adek seneng kalo Mas tuh selalu sehat. Jadi, kalau ada apa-apa jangan sungkan kasih tau Adek, ya?"
Vante mengangguk dan menahan lengan Andara yang ada di perutnya. "Adek ga mandi? Katanya mau mandi barengan."
"Mandiin Mas dulu, baru nanti Adek mandi, ya," jawabnya santai.
"Sini…." Vante menarik lengan Andara dan menuntun istrinya untuk duduk diatas pahanya. "Mandi sini sama, Mas."
"Cih. Seneng banget goda-goda adek," protes Andara karena tangan Vante yang sengaja bermain pada kancing bajunya.
"Ya senenglah, kan istri sendiri, ughh! Sayang banget Mas sama istri Mas ini," ucapnya dengan manja. Bahkan, menduselkan kepalanya yang penuh busa ke d**a Andara.
"Ihh, manja banget!"
Vante terkekeh. "Oh iya, Mas kelupaan. Tadi di rumah sakit las nangis, kok ngomong ke Mamah pake kata adek? Tumben? Bukannya itu panggilan Andara, ya?"
Jleb.
Andara, kamu selalu mendapatkan tembakan pertanyaan yang mematikan sepertinya.
Semakin lama menyimpannya, maka semakin banyak pertanyaan bertubi yang akan datang. Andara, siapkan hatimu kedepannya.
•• To be continue ••