•• Happy reading ••
Seperti bunga Jasmine, lambang cinta.
"Donor mata ini memiliki peluang dan persenan antara gagal dan diterima." Dokter Risa menyodorkan beberapa kertas ke arah Andara dan menunjukkan tabel-tabel beserta grafik tentang proses pendonoran mata yang akan dilakukan Vante nantinya.
"Berapa kemungkinan akan berhasil, Dok?" tanya Vante yang tengah duduk disebelah Andara. Dia menyatukan jari-jarinya dengan jari-jari Andara. Gugup dengan jawaban yang akan diberikan dokter Risa selanjutnya.
Andara terfokus pada data lembaran di kertas tersebut, matanya yang bulat menyipit saat kebingungan membaca data tersebut, bukan keahliannya untuk memahami tulisan tersebut.
"50%," ungkap dokter Risa yang membuat Andara menaikkan pandangannya. Sorot hitam kelamnya sangat tersentak saat mendengar penuturan dari dokter.
"L-lima puluh p-persen?" Andara bertanya dengan harapan perkataan tadi hanya salah dengar.
Vante menguatkan kaitan jarinya pada Andara. Jujur, 50% tidak buruk tapi bukan berarti kemungkinan berhasilnya tinggi. Vante takut dia tidak akan bisa melihat selamanya.
"Berarti akan ada kemungkinan tidak berhasil? A-apa aku akan terus seperti ini selamanya? A-aku tidak suka kegelapan," cicit Vante dengan perasaan yang membuncah takut. Tuhan, Vante hanya ingin bisa melihat dengan kedua matanya kembali, itu saja.
"M-mas…," lirih Andara.
"Akan saya jelaskan, sebentar." Dokter Risa memutar chair move-nya dan menghidupkan monitor komputernya. Dia membenarkan posisi kacamatanya yang sedikit turun melesat di batang hidungnya.
"Baik, Dok." Andara mengusap lengan Vante dengan lembut. "Tidak apa-apa, pasti berhasil. Mas jangan khawatir, Adek selalu di samping Mas kok," janjinya yang membuat Vante menganggukkan kepala.
"Baik, saya akan menjelaskan secara garis besar tentang pendonoran kornea untuk bapak Vante." Risa menunjuk layar monitor yang memperlihatkan hasil x-ray mata Vante. "Di Bagian saraf area kornea ini, terdapat saraf tipis yang begitu sensitif. Jika saraf tersebut terganggu saat proses operasi berjalan, maka kemungkinan akan gagal itu besar dan menyebabkan kebutaan berkepanjangan."
"D-dok ini terlalu berat untuk saya pa-"
"Tenang," sela dokter Risa cepat saat raut wajah Andara berubah drastis dengan dipenuhi kesedihan. "Semua ada prosedur yang akan membuat dokter lebih mudah nantinya. Saya hanya membeberkan fakta kemungkinan yang terjadi jika operasi itu lalai begitu saja. Selain itu, saya mengharapkan agar Bapak Vante sendiri menjaga kesehatannya sebelum operasi pendonoran korea ini berjalan. Tentu, hal ini sangat dipentingkan," tambah dokter Risa dengan santai namun tegas.
"Tuh, Mas ga boleh capek-capek. Harus banyak istirahat. Pokoknya Adek awasi," tutur Andara memperingati suaminya agar selalu dalam keadaan tenang dan sehat.
"Apa saya benar-benar bisa mengambil peluang keberhasilan itu, Dok?" tanya Vante, dia tidak mengindahkan perkataan istrinya barusan.
"Jika Bapak menuruti persyaratan dan aturan menjelang hari operasi itu tiba. Kita akan mengoptimalkan usahaa kita untuk menuju peluang 80% keberhasilan. Yah, dengan catatan Bapak menyanggupi apa saja prosedurnya."
"Hah…." Vante menghembuskan nafas lega, diikuti oleh Andara, membuat dokter Risa tersenyum melihat pasangan suami istri itu.
"Mari saya akan membantu Bapak untuk memahami anjuran dan prosedur sebelum Bapak benar-benar masuk ke ruang operasi."
Selanjutnya, selama dua jam dokter Risa menjelaskan semua prosedur apa saja yang harus dilakukan Vante dan tentu menjelaskan dengan detail terkait saraf mata Vante tersebut.
Hingga jadwal konsultasi itu selesai, mereka pamit untuk pulang. Sebelum pulang, Andara mengajak suaminya untuk mampir ke supermarket.
***
"Sini, deket Adek, jangan jauh-jauh. Nanti diambil tante-tante, mau?"
"Astaga, posesif sekali istri Mas ini. Masnya gatau mau jalan kemana, Dek," jawab Vante. Dia berusaha meraba-raba untuk mencari lengan Andara sebagai penuntun jalan.
"Adek disini," ucap Andara. Tangannya menyentuh lengan Vante dan dikaitkan dengan lengannya juga. "Ayo, ke tempat sabun dulu." Andara berjalan pelan mengiringi langkah kaki Vante. Dia tidak mau membuat suaminya merasa tidak nyaman dalam keadaan seperti ini.
Banyak orang-orang yang memperhatikan keduanya, namun hanya abaian yang Andara berikan. Baginya, tidak penting mencampuri urusan orang lain dan apa salah dengan orang yang tidak bisa melihat? Apakah hina? Tidak, kan?
"Adek suka jeruk, Mas Vante suka stroberi," tuturnya sambil memasukkan lima sabun jeruk dan lima sabun stroberi ke dalam troli yang ia dorong bersama Vante.
"Jeruk, ya," gumam Vante pelan sekali, bahkan seperti tidak bersuara.
"Ehmm, shampoo. Mas Vante varian stroberi, Adek ya ya yahhhhh…." ujung nadanya semakin melemah dilanda kecewa karena shampoo varian jeruk pada merek yang dia mau tidak ada.
Vante terkekeh mendengar nada kecewa itu, sangat imut sekali baginya. "Adek lucu banget kecewanya. Kenapa? Ga ada varian jeruk?"
Andara mengangguk-anggukkan kepalanya. "Masa kosong, ihh… adek padahal maunya yang varian jeruk. Is sebel…."
"Merek lain yang varian jeruk?"
"Ga suka, adek mau merek itu seorang," jawabnya dengan bibir yang cemberut.
"Jadi, ga mau pake shampoo nih? Coba sebutin varian apa aja yang ada?"
"Tinggal yang anggur sama Mangga," cicitnya kecil sekali.
"Mangga aja, ya?"
"Iya, mangga aja deh, yang versi kecil. Nanti, biar cepat abis dan beli lagi varian jeruk." Andara memasukkan shampoo-nya dan shampoo Vante ke dalam troli lagi. Lalu, mendorong ke arah sabun untuk mencuci pakaian dan piring.
Kemudian, mereka melanjutkan lagi ke rak cemilan dan Andara banyak memasukkan berbagai cemilan ke dalam troli.
"Banyak banget jajannya? Bisa ngehabisinnya, Dek?"
"Kan ada Mas yang ngabisin, berdualah makannya, hehe," cengirnya seperti tidak bersalah.
"Hum, memang ya istri Mas ini, suka banget sama cemilan. Cemilan kesukaan Mas diambil gak tuh?"
"Loh, ini semua cemilannya kesukaan Mas kok, adek mah apa aja, asal sama kaya Mas Vante."
Vante menggigit bibir bawahnya saat mendengar jawaban itu, hampir tersipu malu karena istrinya yang super aktif sebagai b***k cinta kata anak zaman sekarang.
"Bucin Mas banget ya, kalo kata ayah," lontar Vante.
"Iyalah, adek kan bucin Mas banget," sahut wanita manis itu dan didapati kekehan di ujung perkataannya. Tentu, Vante juga ikut tertawa dan kembali berjalan mengikuti arahan Andara.
Ketika Andara sedang memilih buah-buahan untuk stok di dalam kulkas, dia disapa oleh teman kampusnya yang juga ada disana.
"Loh, Andara?"
"Uhm," ucap Andara reflek. Bola matanya membesar saat tahu siapa wanita yang memanggilnya. Dia kaget jika ketahuan bagaimana? Apa yang harus dilakukannya sekarang? Andara takut dengan kemungkinan yang ada.
"Andara, kan? Tapi, kok-" ucapan gadis itu terpotong karena keheranan dengan laki-laki yang ada di samping Andara. "I-ini Kak Vante bukan, ya? Kok sam-"
"Oh, kamu Sena teman Andara, ya?"
"Hah?" Sena memasang wajah kebingungan, apa ia salah orang? Tapi, tidak mungkin rasanya.
"Sena? Teman Andara, ya? Kini, Vante yang bersuara.
"Iya, saya Sena, Kak."
"Aku Indira. Apa kau lupa wajah Andara dan wajah Indira?" tanya Andara dengan ketus, sengaja meniru gaya bicara Indira selama ini.
"Kak Indira? Tapi kok-"
"Tapi apa?"
"Andara ga, sih?" Sena memajukan wajahnya dan menatap lekat Andara.
"Aku Indira. Gapapa, aku maklumi kalau kamu menganggapku Andara, memang belakangan ini banyak yang mengatakan kami berdua mirip, kalau gitu kami kesana dulu, ya. Terima kasih sudah menyapa, nanti akan kusampaikan salammu pada Andara." Andara menuntun lengan Vante untuk berjalan menjauhi Sena. Membuat Sena menatap kebingungan.
"Aneh, itu Andara. Kenapa dia menyamar menjadi Indira? Aku tahu Kak Vante kecelakaan dan tidak bisa melihat. Apa jangan-jangan Andara yang menggantikan kakaknya itu menjadi istri Kak Vante. Wah, sudah kuduga, memang sudah jelas sifat Kak Indira bagaimana. Akan menjadi gosip terbesar setelah ini," ocehnya sembari memperhatikan punggung Andara dan Vante yang terlihat semakin jauh dari hadapannya.
Vante yang kebingungan seperti didesak oleh Andara, mencoba menahan lengan wanita itu. "Adek kenapa? Kok buru-buru gitu? Kaya ada yang disembunyikan? Galaknya tadi keluar loh? Seperti Indira sesungguhnya."
"Hah! Maksud, Mas?"
"Kamu kenapa, sayang? Kok kaya panik?" Vante memeluk bahu istrinya untuk menenangkan. "Maksudnya, galaknya kamu muncul lagi. Ada apa? Bukannya Sena hanya salah orang?"
"A-ah, iya itu… aku hanya tidak ingin berlama-lama berbicara dengan tukang gosip itu, Mas," jawab Andara gelagapan dan Vante memaklumi. Mungkin istrinya takut jika Sena berbicara yang tidak-tidak terhadap dirinya yang tidak bisa melihat ini.
"Sudah, tidak apa-apa. Jangan panik ya, sayang. Kita jadinya belum ambil buah."
"Buahnya mampir di swalayan khusus buah aja ya, Mas. Kayanya disana lebih banyak pilihan buah," bujuk Andara agar suaminya mau.
Tentu, suaminya tidak akan pernah menolak. "Oke. Sekarang kita antri aja, ya? Mau bayar, kan?"
"Iya, ayok." Andara mengajak Vante untuk mengantri di kasir. Setelahnya, mereka pergi dan mampir ke pusat swalayan buah untuk membeli berbagai macam buah yang diinginkan.
***
"Mas Jaren?"
"Hah? Jaren? Mau apa kau kesini? Mau mengganggu istriku lagi?" Vante berusaha menaikkan tongkatnya dan mengarahkan pada objek yang dirasa ada Jaren di depannya.
"Aku mau bicara sama istrimu. Sebentar saja, ada hal penting," pinta Jaren sambil menahan tongkat Vante yang menghalangi pandangannya.
"Tidak! Tidak bisa! Aku tidak mengizinkan," jawab Vante dengan ketus. Ekspresi wajahnya kesal karena Jaren yang selalu tiba-tiba menemui istrinya itu.
"Suamiku tidak mengizinkan, Mas pulanglah," tutur Andara dengan sopan.
"Aku akan pindah ke German dalam beberapa hari ini," final Jaren pada akhirnya. Hanya itu mungkin caranya agar Andara mau berbicaranya dengannya untuk yang terakhir.
Andara membelalakkan matanya, terlalu kabara yang mendadak.
"Mas, a-"
"Enggak. Aku nggak izinin," potong Vante cepat, berteguh pada pendiriannya tersebut.
"Te, sekali aja. Aku cuma mau ngomong sama sahabatku. Kau tahu sendiri kan, aku tidak menyukai Indira, aku hanya menyukai Andara saja."
Andara meneguk ludahnya dengan kasar. Ya, tetap saja intinya Jaren menyukai dirinya yang tengah berdiri di samping Vante.
"Ck. Kau ini," hardik Vante. "Sebentar saja, sebagai teman yang akan berpisah. Awas saja jika kau menyentuh istriku!" ancam Vante.
"Baik, terima kasih," sahut Jaren.
"Mas, masuk duluan aja. Adek ngobrol di bawah, ya."
"Uhm," jawab Vante dengab tenang.
***
"Mas pindah, kenapa? Bukannya Kak Indira sangat membutuhkan kehadiran Mas?" Andara menyeruput teh yang dipesankan oleh Jaren.
"Kamu tahu kan Mami sama Papi udah resmi cerai. Aku ikut Mami ke German, aku izin pamit sama kamu."
Andara menundukkan kepalanya, memerhatikan teh hangat kecoklatan yang begitu enak rasanya. "Ah, begitu, ya…."
"Kau kecewa?"
Andara menggelengkan kepalanya. "Tidak. Hanya saja, Mas Jaren udah kuanggap sebagai bagian keluargaku."
Jaren tampak mengangguk-angguk sedikit. "Keluarga, ya…," gumamnya pelan.
"Maaf, Mas."
"Awalnya aku ingin mengajakmu menikah saat Indira dan Vante resmi menjadi sepasang suami istri. Aku ingin mengajakmu tinggal di Amsterdam jika kau mau, karena aku tahu kau menyukai kota itu. Tapi, semua berjalan tidak terencana, ya?"
"Sejak kapan Mas menyukaiku?"
"Sejak SMA aku menyukaimu, Andara. Mungkin kau tidak tahu perasaanku atau tidak menyadari kehadiranku," jawab Jaren.
Andara menghembuskan nafasnya yang terasa sesak. "Maaf, maafkan aku. Aku pikir Mas menyukai kakakku karena Mas kalian berdua selalu bersama. Aku iri waktu itu karena kakakku punya banyak teman. Sedangkan aku? Aku cuma memiliki Rania dan Arum."
"Andara?"
"Euhm?" Andara menaikkan pandangannya menatap Jaren.
"Sekali lagi. Mau ikut denganku? Aku akan menunggumu jika kau mau. Amsterdam? Tidak masalah."
Tanpa sadar hatinya sudah benar-benar terluka dan mencintai di waktu yang sama dan dengan orang yang sama.
•• To be continue ••