•• Happy reading ••
Serakahnya hanya akan membuat bagian dari dirinya menghilang. Keegoisannya bahkan menjadi identitas yang melekat dalam diri.
"Aku dengar, Vante akan melakukan operasi donor kornea dalam waktu dekat ini. Kakakku yang memberitahu, temannya si dokter Risa itu yang akan menangani Vante nanti. Kau juga tahu itu?"
Indira mengangkat kepalanya mendengar perkataan Aruna, tidak bisa ia singkirkan raut wajah terkejutnya. Setelahnya, Indira mengangguk pelan.
"Loh, beneran enggak tahu?" tanya Aruna sekali lagi.
"Bukannya dia tidak bisa melihat permanen? Aku masih ingat ucapan dokter Han waktu itu saat Vante kecelakaan," balas Indira dengan memainkan jari-jari tangannya karena gugup.
"Itu juga, awalnya begitu. Kecil kemungkinan Vante akan sembuh dan matanya kembali normal. Tapi, dari kemungkinan yang kecil itu terselip harapan yang mungkin akan terjadi. Dan kau dengar sendiri, Vante akan segera bisa melihat, Indira. T-tapi, Vante suami Andara," ucap Indira dengan sengaja. Dia akan menghasut Indira setelah ini untuk memisahkan hubungan Andara dan Vante. Sejujurnya, Aruna sangat membenci Indira dan berharap wanita itu menjadi mengila setelah ini, merusak hubungan orang lain dan segera mendapatkan karma.
"Iya, aku tahu. Vante suami Andara sekarang. Aku juga tidak berminat padanya."
Aruna menaikkan satu alisnya, lidahnya ia gigiti berulang kali, dia memikirkan untuk memutar cara agar Indira berulah bagai wanita jahat. "Kau serius? Tapi, Vante kan tahunya kau istrinya, bukan Andara."
Indira menggigit bibir bawahnya, ia mecerna perkataan Aruna dengan baik. "Maksudmu, apa?" tanyanya dengan ragu pada wanita yang ada di hadapannya itu.
"Kau masih menyayangi Vante, kan? Oh, ayolah Indira, jangan denial. Vante hanya tahu kau istrinya."
"T-tapi, dia milik adikku," jawab Indira pelan. Sejujurnya, dia merasa menyesal menelantarkan Vante begitu saja, apalagi saat tahu Vante akan melakukan operasi donor kornea. Belum lagi, beberapa minggu yang lalu dirinya melihat Vante yang sehat bugar sedang menjamah tubuh adiknya, rasa sesak begitu menusuk hatinya, kenapa bukan dia saja yang ada di posisi Andara.
"Itu suamimu, namamu yang ada di akta pernikahan kalian. Ayolah Indira, aku peduli padamu. Lagian, Andara tidak mencintai Vante, kan? Dia hanya terpaksa. Kau yg selama ini berjuang dengan Vante, Andara hanya orang baru dalam hubungan kalian," hasut Aruna dengan tidak goyah. Dia yakin, pasti Indira akan berpikir untuk merebut Vante lagi.
"Aku bingung. Aku masih sayang Van-"
"Nah, sudah kuduga." Aruna memukul meja dengan telapak tangannya sendiri. "Itu suamimu Indira, bukan milik Andara. Apa kau tidak cemburu selama ini Andara yang tidur dengan Vante?" Aruna memajukan wajahnya lebih dekat dengan Indira, lalu berbisik kecil di telinga wanita itu. "Andara mengambil kebahagianmu, dan sudah seharusnya kau mengambil Vante yang notabennya mencintaimu juga."
Indira menatap Aruna dalam diam, sorot wajahnya berubah seperti mengharapkan itu.
Aruna tersenyum tipis. "Dia mengambil kebahagiaanmu, apa kau akan tetap diam jika Vante nanti akan memanjakan dan mencintai Andara?"
Setelahnya, Indira terus merenung dan memikirkan ucpapan Aruna yang tentu ada benarnya. Iya, Vante Adinan secara resmi adalah suaminya…. Andara hanya menggantikan sebentar. Iya, kan? Tidak masalah jika Indira mengambil haknya kembali, kan? Tapi, apa yang harus dilakukan? Apa Vante nantinya tidak akan marah jika rahasia ini terbongkar?
Ya, Indira harus bertindak tegas dan membicarakan hal ini pada ibunya dan meminta kembali Vante secara baik-baik dari Andara.
***
"Adek? Mas jalan sendiri ya ke dapur? Mas mau ambil minum. Gapapa, kan? Adek juga kayaknya sibuk," bujuk Vante, dia mencoba berfokus untuk memasang sandal rumah ke kakinya. Vante sedang haus dan butuh minum sepertinya.
"Adek ambilin, ya?"
"Ga usah, nih Mas dah berdiri," ucap Vante. Dia mengambil tongkatnya dan ingin berjalan sendiri.
Andara memaklumi dan menyetujui permintaan suaminya. "Iya, jalannya pelan-pelan aja, ya," titahnya, matanya tetap terfokus pada layar komputer yang tengah dimainkan. Andara sudah resmi mengakhiri kontrak dengan perusahaan penerbit yang Jaren kelola. Kini, wanita itu berfokus menjadi freelance dan menjadi penulis n****+ biasa.
Vante mulai berjalan dengan bantuan tongkatnya ke arah dapur. Sesekali Andara memperhatikan jalan suaminya untuk mengawasi. Vante pun dengan telaten mengambil gelas di rak dan mengisinya dengan air. Setelah itu, ia membuka kulkas dan mencari cemilan untuk menemaninya menonton tv.
"Adek mau cemilan apa?" teriaknya dari arah dapur karena jarak meja kerja Andara dan dapur lumayan jauh.
"Choco banana, plastiknya yang udah ada bekas sobekan dan adek karetin, Mas," ucapnya memberitahu. Pasalnya, jika Andara meminta cemilan yang lain pasti akan membuat Vante kesusahan karena harus meraba-raba agar tepat sasaran sesuai permintaan.
"Okey, Mas bawain."
Vante kembali lagi dengan membawa gelas minumnya dan mengapit dua ciki di ketiaknya. Menghampiri Andara dan menaruh cemilan choco banana tersebut di meja Andara. s**u punya Adek masih ada?"
"Masih utuh loh, Mas," jawab Andara dengan sedikit menggoda Vante.
"Loh, ndak diminum, kenapa?"
"Ga ada airnya yang keluar," ceplos Andara dengan asal yang membuat wajah suaminya menjadi merah karena digoda istri sendiri.
"Adek, is…."
Andara tertawa lepas melihat ekspresi malu yang dikeluarkan oleh suaminya itu. "Haha, Adek bercanda." Andara memeluk pinggang suaminya yang berdiri di sampingnya itu. "Minum s**u Adek masih ada kok."
"Capek, ga?" Vante sedikit menunduk dan memberikan kecupan lembut di kepala sang istri. Menyeruak aroma jeruk tersebut memasuki rongga hidung Vante. Belakangan ini, ia menjadi menyukai aroma jeruk berkat Andara.
Andara menggeleng di perut suaminya, ia memejamkan mata sejenak untuk meringankan pikirannya. "Enggak secapek kerjaan sebelumnya," jawabnya.
"Masih banyak, kah?"
"Tinggal sedikit lagi, Mas."
"Ya udah selesain dulu, ya. Nanti Mas pijitin badannya biar enak. Jangan terlalu dipaksain kalo udah capek ya, Dek," ujar Vante dengan penuh pengertian. Lalu, mengecup kepala Andara lagi sekilas dan melepaskan pelukannya pada sang istri. "Mas tunggu depan tv, ya."
"Okey, Adek selesain ini dulu."
Andara kembali fokus pada komputernya dan Vante kembali berbarin di depan tv menikmati suara dari acara tv, ditemani dengan cemilan potato slice.
Tak lama, handphone Andara memunculkan notif pesan masuk yang tertera dari layar benda berbentuk persegi tersebut. Sebuah pesan yang dikirimkan Indira untuk dibaca olehnya.
[Andara ada waktu? Aku ingin berbicara empat mata denganmu]
Andara mengernyitkan dahinya. Tidak biasa Indira menghubunginya dan mengajak bertemu. Ada apa? Apalagi yang ingin Indira lakukan terhadap dirinya? Tidak membalas pesan Indira, Andara memilih mengabaikan dan berfokus pada pekerjaannya yang menanti itu.
"Dek?"
"Iya, Mas?"
"Tadi malam ga pake itu loh," ucap Vante tiba-tiba. Ia baru mengingatnya sekarang dan mencoba berkata pada Andara untuk membahasnya.
"Iya, Adek tau kok."
"Jadi gimana?" Vante memberhentikan mulutnya yang sedang mengunyah potato slice tersebut. Dia menanti jawaban istrinya, semoga sesuai ekspektasi.
"Ga gimana-gimana. Adek juga ga punya obat pencegah kehamilan. Mas juga ga pake pengaman, kan? Jadi, ya udah mau digimanain emangnya," tutur Andara santai. Dari nada bicaranya, dia terlihat tidak panik dan menganggap hubungan semalam hal yang lumrah dan bukan masalah yang besar karena program rencana kehamilan tersebut.
"I-itu…. Kalau ada dedek bayinya g-gimana?"
Andara tersenyum mendengar pertanyaan polos suaminya itu, sangat gugup dan penuh harap. Jelas, Andara tahu.
Sebelum menjawab, Andara meminum s**u yang ada di gelasnya. "Ya, bersyukurlah Mas. Adek nerima aja kok kalau ada dedek bayinya, hehe."
"Hah…." Vante menghela nafas lega atas jawaban Andara. "Akhirnya… takut adek belum siap."
"Adek siap kok, Mas. Adek juga ga mau buat Mas nunggu lama-lama, jadi Adek juga pengen kasih anak secepatnya," kilahnya dengan jujur. Walau iya tak yakin apa bibit itu terbentuk dengan satu kali percobaan atau sebaliknya, hanya lewat begitu saja.
"Makasih ya, Dek. Udah mau siap buat jadi ibu."
"Sama-sama, Mas. Adek juga mau pas Mas bisa lihat nanti kita rawat dedek kecil yang ada di perut Adek nanti."
"Semoga, Mas menginginkan kehadiran Vante kecil."
***
"Apa kau gila, Indira!" Sonata menatap nyalang pada putri sulungnya yang duduk berhadapan dengannya.
"Aku tidak gila, Mah. Aku cuma ingin kembali pada Vante," jawab Indira seolah-olah dia tersakiti. Dia datang ke kediaman Brama dan meminta pada Brama dan Sonata untuk menjemput Andara dan membiarkan Indira menetap menjadi istri Vante.
Brama menghembuskan nafas putus asanya dengan berat. Putrinya benar-benar semena-mena dengan pernikahan yang melibatkan adiknya itu.
"Itu suami adikmu, Indira!" Lagi, teriakan Sonata menggelegar memenuhi seluruh ruangan dalam rumahnya.
"Tapi, Mas Vante itu suamiku. Andara hanya menggantikan sebentar kan, Mah. Aku ingin kembali pada Vante…," lirihnya dengan lemah agar Sonata dan Brama meluluh.
"Enggak! Enggak bisa! Vante Adinan sudah menjadi suami sah Andara Jeo," tekan Sonata dengan nada yang serius. "Kenapa kau begini? Kemana kau selama ini? Kenapa kau baru menyadari sekarang setelah Andara dikorbankan?"
"Vante akan operasi donor korea, itu artinya dia bisa melihat lagi kan, Mah. Ini kesempatan bagus untuk rumah tanggaku-"
"Cukup!" sela Sonata cepat. "Cukup, Indira! Kenapa kau seenaknya begini. Vante hanya milik putri bungsuku! Kau yang membuang laki-laki itu. Kenapa kau sekarang egois? Lagi? Lagi, kau akan mengorbankan dan menyakiti putri bungsuku?"
"Mah…." Brama mencoba menenangkan istrinya dengan mengusap pundak wanita itu.
"Mah? Mamah bela Andara melulu! Aku juga berhak bahagia, Mah! Indira menaikkan intonasi bicaranya menjadi sedikit lebih kuat dan penuh penekanan.
"Tidak! Tidak, Indira! Kau membuang Vante!"
"Aku mencintai Vante Mah, aku istrinya Vante!"
"Tidak!" Sonata berdiri dan menggebrak meja makan tersebut. "Kau serakah, Indira! Kau jahat! Bagaimana bisa aku mendidik putriku seperti ini?"
"Pah…," lirih Indira meminta bantuan Brama yang masih tidak bersuara atas permasalahan ini.
Sonata menatap Brama dengan mendelik. "Papah, jangan coba-coba membela Indira. Andara juga putri kita! Tolong pahami situasi ini."
"Papah!" Indira bertekuk lutut di bawah kaki Brama. "Cuma Papah yang ngerti Indira, Pah! Indira menderita, Indira mau kembali sama Vante lagi, Pah. Tolongin Indira."
"Sayang…." Brama mengusap pipi anaknya yang meneteskan banyak air mata. "Jangan, ya…. Itu kebahagian Andara. Jangan merenggutnya lagi."
"Tapi, itu milik Indira, Pah! Indira cinta sama Vante! Ughhh!" Tangisan Indira pecah dan mengiris hati Brama kesekian kalinya. Apa dia akan mengorbankan Andara sekali lagi.
"Pah!" Sonata menggeleng-gelengkan kepalanya. "Andara putri kita, Pah… dia juga punya hati yang mudah terluka."
"Papah! Indira mohon, hanya Papah yang bisa bantu Indira. Indira mencintai Vante, Pah! Indira mau Vante! Indira mau bahagia cuma sama Mas Vante, Pah!" Lagi, gadis itu berteriak memohon pada Brama agar menuruti kemauannya.
Indira menyesal dan cemburu melihat Vante begitu sayang pada Andara. Dan dia percaya, sebelum semuanya terlambat, ia harus memperbaiki hubungannya itu bersama lelakinya.
Brama menatap sendu pada Sonata. Sonata hanya bisa meneteskan air matanya. Lagi, bayangan putri kecil bungsunya berputar, Andara kecil yang pernah kehilangan harapan untuk hidup. Anak manis yang ceria, terkurung dalam ruang kegelapan bernama trauma, mengakibatkannya menjadi tertutup dan tidak banyak memiliki teman.
"Papah, akan sesuaikan pada keputusan Andara saja…."
Lagi, bunga kosmos itu membiarkan takdirnya dipermainkan. Apakah dia akan berkorban sekali lagi?
•• To be continue ••