Setelah sambungan telepon berakhir, Daniel merasakan kegundahan hati yang begitu sangat mendalam sekali. Istrinya itu sudah jauh lebih berbeda bahkan berubah, tak ada lagi kelembutan di dalam hatinya dalam segala macam tindakan yang diberikan. Sedikit merasa kerinduan pada sikap Mira yang selalu lembut dan menggodanya, tapi sekarang? Wanita itu begitu sangat keras kepala dan selalu saja menentang. Benar-benar menunjukkan bahwa dia itu memang egois dan harus tetap menang dalam segala macam hal.
Daniel menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya itu. Ia merasakan rindu akan kehangatan dan momen-momen indah, juga kebahagiaan bersama dengan keluarga kecilnya. Ia hanya ingin memiliki seorang anak, agar menambahkan kebahagiaan mereka. Tapi, hal itu sepertinya sangat sulit sekali untuk dilakukan oleh Mira.
Pikirannya sudah tak karuan, pria itu merasa ada di satu titik dengan dua jalan yang berbeda. Sikap Mira yang begitu sangat keras kepala dan kasar, justru begitu sangat berbanding terbalik dengan sikap Nara yang lembut, penuh kasih sayang dan sikapnya yang benar-benar membuat pria itu merasakan kenyamanan yang tak pernah dirasakan olehnya selama ini.
Bahkan, saat bersama dengan istrinya pun, pria itu tak pernah merasakan kebahagiaan yang sama saat bersama dengan Nara. Padahal, baru hanya sekilas saja merasa saling mengenal satu sama lainnya, tapi … Daniel sudah merasa ada ketertarikan yang begitu sahabat dalam pada gadis itu.
“Sungguh, mereka itu ibaratkan langit dan bumi. Semuanya berbeda, dari sikap, tingkah laku, gaya bicara bahkan berpakaian.”
“Seringkali aku mengingatkan Mira untuk bisa bersikap lembut dan juga bertutur kata yang baik, tapi rasanya sangat sulit sekali.”
“Dan kini, aku bertemu dengan seorang gadis yang benar-benar begitu sangat sempurna. Tanpa diminta untuk menjadi sempurna pun, gadis itu sudah begitu sangat sempurna sekali.”
*
Hari-hari sudah semakin berlalu dan Daniel terus selalu berusaha untuk menyeimbangkan antara cinta dan harapan. Tak dipungkiri, dia masih begitu sangat mencintai istrinya, meski hatinya terlalu sering disakiti, tapi bagaimanapun itu … rasa cinta yang dimiliki olehnya begitu sangat besar, hingga tak bisa dikikis begitu saja.
Sementara itu, Daniel juga mulai mencuri-curi kesempatan dan waktu, pria itu sering kali mengunjungi toko kue miliki Nara, di segala macam kesempatan yang ada. Ada saja gebrakannya, entah membeli kue untuk diri sendiri, untuk keluarganya, untuk orang-orang kantor, sampai pada untuk dibagikan pada orang-orang. Pria itu mulai menunjukkan gelagat ketertarikan yang mendalam pada gadis itu.
Dan, entah memang mereka ini ditakdirkan untuk selalu bertemu atau hanya sebuah kebetulan saja. Setiap kali Daniel datang ke toko, pasti selalu saja bertemu dengan Nara. Bahkan gadis itu sendiri yang membantunya memilih kue apa saja yang cocok di segala macam kebutuhan. Setiap kali bertemu dengan gadis itu, ia mulai semakin merasakan ketertarikan yang semakin mendalam.
Gadis itu tak pernah merasa curiga akan hal apapun, karena berpikir kalau pria itu memang ingin membantunya dalam mengembangkan usaha, meski sebenarnya usaha gadis itu sudah sangat berkembang pesat. Tapi, dengan bantuan dari Daniel, toko kuenya itu berhasil memasok beberapa perusahaan besar yang membutuhkan Snack dari segala macam pertemuan. Jelas, gadis itu merasa sangat bahagia sekali karena dibantu.
Setiap datang, Nara selalu menyambutnya dengan senyuman hangat, membuat Daniel sendiri merasa begitu sangat bahagia, karena selalu bisa melihat senyuman manisnya itu. Tapi, gadis itu juga mulai merasa penasaran, kenapa pria itu merekomendasikan toko kuenya pada perusahaan yang lainnya.
“Mas, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Nara saat mereka sedang duduk di sudut ruangan sambil mengepak kue-kue yang akan dibawa oleh Daniel.
Sementara Daniel sendiri sedang menikmati cheesecake buatan gadis itu. Terlalu fokus menikmati sampai tak menyadari gadis itu mengajaknya bicara.
“Mas Daniel ….” Nara menyentuh tangannya, dengan suara lembut kembali memanggil pria itu.
“Hah? Iya? Kenapa, Nara?”
Gadis itu mengulum senyum, melihat pria itu yang sedang menikmati cheesecake dengan mulut yang belepotan. “Kamu lucu sekali, seperti anak kecil. Makan kue saja, belepotan,” kekeh Nara, mengambil tissue dan mengusap bibir merah Daniel.
Seketika, tubuh Daniel menegang, apalagi saat tangan lembut itu menyentuh bibirnya meskipun mengusap menggunakan tissue, tapi dia bisa merasakan kelembutan tangan Nara.
“Maaf ya, Mas. Mas Daniel makannya berantakan sih,” ucapnya setelah selesai mengusap bibir pria itu.
“I-iya, terima kasih,” jawab Daniel tergagap, ia meletakkan cheesecake di atas meja dan mulai mengusap bibirnya sendiri.
“Sudah bersih, Mas.”
“Terima kasih, Nara.” Daniel berusaha untuk menghilangkan kegugupan yang saat ini sedang dirasakan olehnya itu. “Aku terlalu menikmati kue buatanmu, sampai tak menyadari kalau cara makanku begitu sangat berantakan.”
“Dan, tidak menyadari ketika aku memanggil,” sambung Nara terkekeh.
“Ya Allah, maafkan aku ya.”
“Tidak apa-apa, Mas.”
“Tadi kamu bertanya apa?”
“Aku hanya ingin bertanya saja, kenapa Mas Daniel jadi merekomendasikan toko kue ini ke semua perusahaan besar?”
“Loh, memangnya kenapa? Tidak boleh?”
“Bukan begitu, Mas. Aku tidak menyangka saja, Mas Daniel mau membantuku untuk mengembangkan toko kue ini.”
“Sebenarnya, tanpa aku membantu pun … toko kue ini sudah berkembang sangat pesat sekali, Nara. Tapi, aku pun ingin mereka merasakan kenikmatan dari semua kue di toko ini. Jadi, tidak ada salahnya, bukan?”
“Tidak ada yang salah bahkan, Mas. Terima kasih ya, Mas. Terima kasih karena sudah membantuku.”
“Hei, bicara apa kamu ini? Aku hanya membantu sedikit saja.”
“Tapi belum ada satu Minggu, kue-kue yang ada di sini selalu habis sebelum waktunya, Mas. Banyak sekali pelangganku yang tidak kebagian, dan mereka mulai protes,” kekehnya.
“Itu artinya, kamu harus meningkatkan produksi, Nara.”
“Iya, Mas. Aku memang harus meningkatkan produksi, ini terlalu mendadak sampai aku belum bisa mendapatkan pegawai baru.”
“Kamu tenang saja, aku siap menjadi pegawaimu.”
“Hei, mana mungkin! Seorang pengusaha besar, menjadi pegawai di toko kue kecil seperti milikku ini. Mas Daniel ada-ada saja.” Nara tertawa dan tawanya begitu sangat terdengar renyah sekali.
“Nara ….”
“Ya, Mas?”
“Kamu cantik kalau sedang tertawa atau tersenyum ….”
Nara melebarkan matanya, tak menyangka karena akan dipuji oleh pria itu secara mendadak seperti ini. Wajahnya memerah, menahan malu karena pujian sederhana yang mampu membuat hatinya menghangat. Baru kali ini, ada pria yang secara terang-terangan memujinya sambil terus menatap lekatnya.
“Masya Allah … aku memang cantik, Mas. Tapi, bisakah tatapan matamu itu biasa saja?” Nara kembali bertanya dengan terkekeh, untuk menghilang rasa gugupnya.
“Kamu … terlalu cantik untuk dilewatkan. Maka dari itu, aku sering kali memilih menatapmu lebih lama. Karena aku … dapat menemukan kedamaian saat menatap wajahmu yang teduh dan menyenangkan.”
“Mas Daniel ….”
“Astaghfirullah … Nara … maafkan aku … aku … aku tidak bermaksud …..”