Keesokan harinya, seperti biasanya Daniel kembali ke kantor. Tetapi, pikirannya terus saja melayang pada pertemuan di toko kue kemarin. Ia masih mengingat jelas, senyuman indah yang terukir di wajah ayu itu. Rasanya, tak sanggup dan tak bisa untuk menghapus senyuman Nara dari dalam pikirannya. Dalam hati, ia mulai meragukan hubungan pernikahannya dengan Mira, semakin kesini hubungan mereka terasa semakin hambar dan tak layaknya pasangan suami dan istri.
Apakah Daniel masih bisa bertahan dengan semua hubungan yang salah bersama dengan istrinya itu?
Salah? Ya, Daniel menganggapnya salah … karena istrinya yang seolah-olah tak pernah peduli dengan apa yang menjadi keinginan dan harapannya. Mira selalu memikirkan dirinya sendiri tanpa bisa melihat dengan jelas apa yang diinginkan oleh suaminya.
Wanita itu terlalu sibuk dengan dunianya, sampai benar-benar melupakan kodratnya yang saat ini sudah menjadi istri. Tak pernah sekalipun, Mira mengurus Daniel dengan baik, karena di dalam pikirannya hanya ada karir dan kesuksesan. Tanpa pernah memikirkan bagaimana hati dan perasaan suami juga keluarganya.
Daniel pun mulai berpikir dan khawatir dengan perasaannya terhadap, Nara. Ia merasa gelisah tak menentu dan mengkhawatirkan jika perasaannya terhadap gadis itu semakin dalam dan kuat, jadi tak bisa dikendalikan lagi olehnya.
Saat jam istirahat siang, Daniel memutuskan untuk menelpon Mira, wanita itu ada perjalanan pekerjaan di luar kota dan sudah dua hari tak pulang ke rumah. Ia merasa harus segera membahas hal ini dengannya karena semuanya demi masa depan mereka semua.
“Halo, Sayang.”
“Iya, Daniel. Ada apa?”
“Kenapa kau tidak bersemangat seperti itu, menjawab telepon dariku?”
“Ini jam makan siang, aku sedang makan siang setelah banyak pekerjaan yang aku lakukan. Dan kau, menelpon di waktu aku sedang di tempat kerja, hal itu sangat mengganggu, Daniel,” jawab Mira dingin.
“Kau ini aneh, dulu … aku tak pernah bermasalah jika dihubungi saat jam kerja, tapi aku menelpon di waktu istirahat saja, masih disalahkan. Kamu itu masih anggap aku suami atau tidak?”
“Sudahlah, jangan terlalu banyak bicara omong kosong, Daniel. Ada apa kau meneleponku?”
Daniel terkekeh, bahkan untuk menelepon istri saja seakan-akan tak dapat izin. “Padahal, aku menelpon istri sendiri, tapi kamu sebagai istri seakan enggan untuk bicara denganku.”
“Aku sedang sibuk. Cepat katakan ada apa?”
“Segera pulang! Aku ingin bicara banyak hal denganmu!” kata Daniel berusaha untuk terdengar tenang, meskipun hatinya sudah terasa sangat panas sekali.
“Mana bisa seperti itu, Daniel! Kau tahu sendiri, aku harus menyelesaikan pekerjaan selama satu Minggu. Dan ini, baru dua malam! Aku tak bisa pergi sesuka hati seperti itu!”
“Tapi aku ini suamimu! Aku berhak atasmu! Bahkan, aku masih sanggup memberikan nafkah dua kali lipat dari penghasilanmu itu, Mira!”
“Dan ini adalah mimpiku! Aku tahu, kamu bisa memberikan apapun yang aku inginkan dan butuhkan, tapi kau tak akan pernah bisa memberikan sebuah mimpi untuk menjadi model terkenal seperti sekarang ini, Daniel!”
“Jangan lupa, kesuksesanmu saat ini … ada campur tanganku di dalamnya, Mira!”
“Ya aku tahu, tapi bisa sampai berada di titik ini, semuanya juga karena kerja kerasku sendiri, Daniel.”
“Sudahlah! Cepat! Apa yang ingin kau katakan! Aku benar-benar sibuk, Daniel!”
“Ini semua tentang masa depan kita, Mira.” Daniel akhirnya mengalah dan mulai bicara. Hatinya mulai merasa tertekan karena tekanan dari kedua orang tua dan juga Mira. “Ayah dan Bunda, sudah menanyakan kembali, kapan kamu siap memiliki seorang anak?”
“Daniel … bukankah sudah sering aku katakan? Aku tidak akan pernah bisa siap untuk menjadi seorang ibu! Dan aku, tidak ingin membahas hal itu sekarang! Saat ini, aku masih ingin fokus pada karir! Jadi, aku mohon … kamu jangan mengacaukan segala halnya,” jawab Mira dengan suara tegas.
“Mengacaukan? Haha! Konyol! Aku hanya meminta hakku! Kenapa kamu justru seolah-olah aku tak memiliki hak atas hal itu?”
“Semua keluargaku mengharapakan seorang cucu. Dan aku merasa bersalah karena tak bisa memberikan harapan tersebut pada mereka, Mira!”
“Itu bukan masalahku! Itu masalahmu, karena tak bisa memberikan pengertian pada mereka!”
“Lalu, pengertian seperti apa lagi yang harus berikan pada mereka? Hah? Sudah hampir tiga tahun, mereka menunggu! Ini bukan perkara Tuhan memberikan atau tidak! Tapi, karena kamu yang menolak kehadirannya, Mira!”
“Sudah cukup, Daniel. Aku tidak ingin membahas hal ini lagi, aku hanya tidak ingin terburu-buru untuk memiliki seorang anak, bahkan terlintas di dalam pikiran saja, tidak. Saat ini, aku hanya ingin fokus dengan pekerjaan dan bisa sukses.”
“Kenapa kau begitu sangat egois sekali, Mira? Kamu … kamu bahkan tidak peduli sama sekali dengan semua harapan orang tuaku?” Daniel merasa benar-benar sangat frustasi sekali.
“Bukan aku tidak peduli. Aku benar-benar peduli tetapi aku juga tak bisa dong, mengorbankan impianku hanya untuk memenuhi semua harapan mereka yang tidak masuk akal itu.”
“Tidak masuk akal?”
“Ya, memaksaku memiliki seorang anak, mengandung, melahirkan, merawatnya itu adalah sesuatu hal yang benar-benar sangat tidak masuk akal. Kenapa juga kita harus hidup dengan seorang anak? Kenapa tidak bisa kalau tanpa anak? Bukankah semuanya bisa saja? Tapi, mereka terlalu repot dengan pikiran anak!”
Daniel terdiam, merasa kesal dan marah dengan apa yang dikatakan oleh istrinya itu. Tak menyangka, kalau Mira bisa berkata seperti itu padanya, padahal … selama ini dia selalu mengikuti dan menuruti semua keinginannya, tapi seorang ….
Pria itu merasakan perasaan yang begitu sangat campur aduk sekali. Daniel benar-benar mencintai Mira dengan tulus tapi dia juga tak bisa mengabaikan semua harapan sederhana dari keluarganya terutama bundanya. Tak sanggup rasanya, jika harus terus-menerus menyakiti bundanya.
“Kau sudah selesai bicara belum? Kalau sudah, aku mau lanjut makan siang dan kembali bekerja.”
“Baiklah. Kita akan membicarakan hal ini lain kali.”
“Tak perlu lain kali, karena aku tidak akan pernah mau membicarakan hal ini lagi, Daniel!”
“Kalau begitu, pergi saja yang jauh dan jangan pernah pulang!”
“Daniel apa maksudmu!” teriak Mira di seberang sana.
Daniel yang merasa sangat muak dengan wanita itu pun, mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Pria itu benar-benar kesal dan emosi sekali, meraup wajahnya kasar dan mengacak-acak rambutnya frustasi. Setelah sambungan telepon berakhir, hatinya merasa begitu sangat hampa sekali.
Tiba-tiba, di dalam pikirannya itu terlintas wajah Bundanya yang selalu tersenyum lembut dan penuh kehangatan, rasanya benar-benar membuatnya merasa semua beban di pundak itu sirna karena kelembutan yang diberikan oleh bundanya, berbeda sekali dengan Mira yang selalu membuatnya merasa kacau dan marah.
Di tengah kebingungan yang saat ini tengah melanda hati dan pikirannya, tiba-tiba pikirannya kembali melayang dan teringat pada sosok gadis cantik yang selalu tersenyum manis padanya. Membayangkan hal itu saja, dapat membuat hatinya menghangat dan tenang, apalagi jika bisa selalu bertemu dan memilikinya. Mungkin … Daniel akan merasakan kebahagiaan yang tak pernah bisa dirasakan olehnya hingga sampai pada saat ini.
Nara, gadis cantik yang memiliki senyuman yang menawan dan selalu bicara lembut pada siapapun. Bukan karena dia adalah seorang pemilik toko yang harus bersikap lembut pada siapapun, tapi Daniel bisa melihat kalau gadis itu memang benar-benar begitu sangat lembut, meskipun hanya mendengar suaranya saja. Dan, entah bagaimana bisa, pria itu justru merasa nyaman saat berbicara dengannya.
“Apakah mungkin … aku mengikuti saja perintah dari Mira … untuk … menikah lagi?”