Mas, kamu kenapa?

1209 Kata
Wajah gadis itu seketika memerah saat mendapatkan pujian dari pria itu. Selama ini, Nara akan terlihat biasa saja saat dipuji oleh siapapun itu. Ia hanya memberikan senyuman manis, tanpa bereaksi lebih. Tapi, entah mengapa saat ini begitu sangat berbeda sekali. Mendapatkan pujian dari Daniel, membuatnya merasa malu dan wajahnya memerah. “Nara … maafkan aku. Maafkan aku yang tak bisa menahan diri ini. Aku … aku tak bermaksud ….” “Iya, Mas. Aku paham … mana mungkin juga Mas Daniel mengatakan hal-hal yang seperti itu padaku, padahal jelas-jelas sudah memiliki seorang istri, bukan?” Skakmat. Daniel tak mampu lagi berkata-kata, Nara memang tahu bahwa dirinya sudah memiliki seorang istri, karena memang sempat datang ke acara mereka dan ternyata memang bundanya mengambil semua kue dari toko gadis itu untuk semu acara yang digelar waktu itu. “Aku … lebih baik tak usah membahas hal itu, Nara.” “Loh … kenapa, Mas? Hubungan rumah tangga Mas Daniel dan Mbak Mira baik-baik saja, kan?” “Hah … entahlah. Aku tak tahu harus beraksi dan menjawab seperti apa. Tapi, lebih baik tak usah membahasnya, Nara.” “Baiklah. Maafkan aku ya, Mas. Maaf, karena aku sudah begitu sangat lancang sekali bertanya hal-hal yang tidak seharusnya aku tanyakan.” “Tidak masalah, Nara. Kamu tidak bersalah, hanya saja … aku malas untuk membahas hal tersebut. Karena, ya aku merasa memang tak ada juga yang harus dibahas.” “Mas … jika memang ada masalah, lebih baik diselesaikan dan jangan sampai masalah ini berlarut-larut, Mas. Tak baik, jika suami istri bertengkar terlalu lama.” “Memang … di dalam rumah tangga, sebuah pertikaian atau perdebatan kecil itu biasa terjadi. Tapi, jangan terlalu lama didiamkan, maka itu akan menjadi tidak baik.” “Setan akan memanfaatkan hal ini, Mas. Bahkan, bersiap untuk meluncurkan cara agar kalian tetap menjadi salah paham. Bukankah masalah itu sudah seharusnya dihadapi? Bukan dihindari?” “Iya memang, tapi masalahnya ini memang tak semudah itu, Nara. Terlalu kompleks sampai harus melibatkan Bunda dan Ayah. Entahlah, aku sendiri bingung harus menjelaskannya seperti apa dan bagaimana.” “Mas, adukan saja semuanya pada Gusti Allah. Aku yakin, Mas Daniel akan segera mendapatkan jawaban dari segala macam kegelisahan di dalam hati.” “Nara … jika aku ingin memiliki seorang anak apakah salah?” “Tidak. Jika memang Mas Daniel dan Mbak Mira, sama-sama sehat. Maka tidak ada salahnya untuk memiliki seorang anak. Tapi, jika sampai pada saat ini belum juga diberikan keturunan, mungkin Allah sedang menyiapkan hal baik lainnya.” “Lalu bagaimana jika … memaksa untuk tidak memiliki seorang anak?” “Hah? Maksudnya, bagaimana … Mas? Maaf, aku sedikit tidak paham dengan apa yang dikatakan.” “Hm … Mira … wanita itu … sama sekali tak ingin mengandung anakku.” “Hah? Maksudnya, Mbak Mira menolak untuk memiliki anak?” “Ya. Memang seperti itu, dia sama sekali enggan untuk memiliki seorang anak. Dia, terlalu fokus dengan karir, sampai menganggap bahwa anak itu sama sekali tidak penting dan juga akan sangat begitu merepotkan baginya.” “Tapi … ayah dan bunda sudah ingin sekali menimang cucu. Sebenarnya, mereka tak pernah memaksa karena selalu berpikir, mungkin … memang Allah yang belum memberikan amanah besar tersebut pada kami.” “Tapi … kejadian malam itu … mereka mendengar semuanya. Mendengar saat Mira dengan lantang mengatakan bahwa enggan memiliki seorang anak dan menolak memberikan keturunan pada keluarga Mananta.” “Hal itu membuat ayah dan bunda terkejut. Mereka mendengar semuanya dan merasa kecewa dengan sikap yang diambil oleh Mira. Karena, selama ini mereka memang tidak pernah tahu alasan utama tersebut, mereka selalu berpikir Allah belum memberikan amanah anak.” “Kekecewaan mereka menimbulkan keributan, Bunda dan Mira sedikit bertengkar dan beradu pendapat. Tapi tetap saja, Mira begitu sangat keras kepala dan tak peduli dengan permintaan bahkan permohonan Bunda.” “Dan, ya sampai sekarang … aku selalu berusaha untuk mengajaknya program kehamilan dan yang lainnya, tapi tetap enggan. Dia tetap pada pendiriannya, tidak mau hamil dan melahirkan.” “Kamu tahu sendiri bukan? Allah menciptakan seorang wanita itu hakikatnya memang untuk menjadi seorang istri dan ibu. Mengandung, melahirkan dan juga merawat anak itu adalah hal yang begitu sangat diinginkan oleh seluruh wanita bukan?” “Tapi dia … benar-benar menolak semuanya, enggan untuk melakukan semua itu karena terlalu memikirkan karirnya.” “Astaghfirullah … astaghfirullah … astaghfirullah … kenapa Mbak Mira seakan melawan kodrat yang sudah diberikan oleh Gusti Allah?” “Entahlah … aku juga merasa bingung dan tidak paham dengan jalan pikirannya istriku itu, Nare.” “Sekarang, dia lebih banyak menghabiskan waktu di luaran sana. Beralasan bahwa sibuk dengan pekerjaan modelnya, aku tak tahu … sebenarnya dia memang benar-benar sibuk atau sedang menghindar dariku.” “Astaghfirullah … Nara … maaf. Maaf seharusnya, aku tidak menceritakan masalah rumah tanggaku padamu. Seharusnya, tidak boleh ada orang lain yang tahu tentang masalahku ini.” “Tidak masalah, Mas. Justru seharusnya, aku yang meminta maaf padamu, Mas. Aku yang secara tidak langsung, membuatmu menceritakan semua masalah rumah tanggamu. Maaf ya, Mas … maafkan aku.” “Tidak perlu meminta maaf, Nara. Semua ini bukan kesalahanmu. Semua ini adalah kesalahanku.” “Mas … aku tidak tahu lukamu sedalam apa … tapi, kamu harus tetap bisa sabar dan tenang ya, Mas. Percayalah, Allah tidak akan menguji umatnya di luar batas kemampuannya.” “Jika saat ini … Allah sedang menguji Mas Daniel, mungkin memang hanya Mas Daniel yang mampu dalam menghadapi semua ini.” “Aku tahu, baik Mas Daniel, Bunda dan juga Ayah … sudah pasti sangat terluka dan terpukul akal masalah ini. Tapi, aku yakin … kalian semua bisa dan mampu menyelesaikan masalah ini.” “Sepertinya, masalah ini tidak akan selesai, karena Mira sama sekali tidak mau melakukannya, Nara. Bahkan, secara terang-terangan dia mengatakan dan memintaku untuk menikah lagi, demi untuk bisa mendapatkan apa yang aku inginkan dan membuatku bahagia karena bisa memiliki seorang anak dari darah daging sendiri.” “Apa? Apa Mbak Mira sudah tidak waras, menyarankan hal itu padamu, Mas?” Daniel terkekeh, melihat wajah Nara yang begitu sangat terkejut itu. Matanya yang indah melotot sempurna dan bibirnya yang tipis pun ternganga. “Mas, kok ketawa sih?” “Kamu lucu ….” “Apanya yang lucu coba? Aku ini, merasa terkejut dengan saran istrimu yang tidak masuk akal seperti itu. Masa iya, secara terang-terangan memintamu menikah lagi?” “Loh, ya memang seperti itu kok yang diminta olehnya. Aneh bukan?” “Ya bukan aneh, Mas. Tapi begitu sangat tidak masuk akal sekali. Biasanya, seorang wanita akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mengandung. Tapi ini … dia … malah menyarankan kamu … untuk … menikah lagi?” Nara menggelengkan kepalanya, kembali merasa tidak percaya akan hal tersebut. Daniel tersenyum manis, menghembuskan nafas kasar dan menganggukkan kepalanya. “Ya, memang seperti itulah, Mira. Terkadang, sarannya itu sungguh tidak masuk akal sekali.” “Mas … sabar ya.” Reflek Nara menyentuh tangan Daniel dan mengusapnya pelan, membuat tubuh pria itu seketika menegang dan menatap tangan lembut itu dengan begitu sangat lekat. Gadis itu sama sekali tak menyadari apa yang saat ini sedang dirasakan oleh pria itu. Ada getaran aneh yang mampu membuat pria itu seketika terdiam dan tak bisa berkata-kata. “Mas … kamu kenapa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN