9. Masalalu

1587 Kata
Vasco mengepalkan tangan, tak terima jika sudah ada mami yang mereka bahas. Tangan yang mengepal itu digenggam erat. Sherina menggelengkan kepala, tak mengijinkan Vasco menanggapi apa yang mereka katakan. Namun yang namanya Vasco si pemaksa dan manusia yang emosionalnya tinggi itu tak mempedulikan. Melangkah mendekati keliam pria yang berstatus teman satu sekolahan. “Vasco, stoop!” tangannya ditarik Sherina sekuat mungkin. “Kalo kamu berkelahi, aku pulang. Aku nggak mau nemenin kamu!” ancamnya. Tak mempedulikan itu, bahkan tak menatap wajah Sherina yang memohonnya untuk berhenti. Menatap kelima cowok itu dengan penuh amarah. Sherina berhambur memeluk kekasihnya ini. Memeluknya sangat erat, sampai ia bisa merasakan detak jantung Vasco yang berdetak tak karuan. Emosinya benar-benar mudah terpancing. “Ppliis, pliis don’t be angry. Please hold your emotions.” Bisik Sherina sambil mendekap erat tubuh Vasco. “for me, please ....” Vasco menggeram menahan emosi yang meletup. Menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan melalui mulut. Menuruti apa yang Sherina katakan. Mengelus rambut Sherina lembut, lalu menarik tubuh Sherina. Mengajaknya untuk segera meninggalkan mini market itu. Sherina memeluk erat tubuh kekasihnya, menyandarkan kepala ke punggung Vasco. Ada banyak pertanyaan diotaknya yang harus segera ia temukan jawabannya. Bisa ia rasakan betapa emosinya saat keliama bocah itu menyebut Vasco anak pungut. Tapi tadi itu ditelfon, seseorang memanggilnya dengan panggilan tuan muda. Cukup lima belas menit motor Vasco sudah masuk ke basemen apartemen tempat tinggalnya. Sherina turun, merapikan rambutnya yang cukup berantakan. Lalu mengejar langkah Vasco yang lebih dulu melangkah meninggalkannya. Vasco berdiri didepan pintu lift, menoleh kesamping, lalu meraih tangan Sherina untuk digenggam. Setelah pintu lift terbuka, mereka melangkah masuk kedalam. Vasco memeluk tubuh Sherina erat ketika pintu lift tertutup. “Thanks, sayang. Please don’t ever leave me. I need you, sayang.” Ucapnya dicekuk leher Sherina. Sherina hanya bisa mengangguk, balas memeluk Vasco erat. Vasco melepaskan pelukan saat pintu terbuka. Matanya tertuju pada seorang pria dengan setelan jas yang berdiri disamping pintu apartemennya. Pria itu sedikit tersenyum, lalu membungkukkan sedikit kepala. “Tuan muda,” sapa Roger. Vasco tak mempedulikan itu, tangannya langsung memencet beberapa angka dan mendorong pintunya. Sherina tersenyum, membungkukkan sedikit badan, lalu mengikuti Vasco masuk. Vasco langsung duduk disofa, sementara Roger duduk disofa depan Vasco. Menaruh tas warna hitam yang sejak tadi ia bawa. Membuka tas itu, mengeluarkan beberapa lembar kertas, lalu menyodorkan kertas putih dengan tinta hitam kearah Vasco. Mengambil pena didalam tasnya. “Silakan, tuan muda. Jika sudah selesai membaca, bisa langsung ditanda tangani.” Ucap Roger dengan sangat santai. Vasco melirik kertas putih itu, meraihnya, dengan cepat kertas itu hancur mencari sobekan kecil. “aku nggak mau! Kasih aja semua ke papi. Aku males hidupku direcokin mulu.” Sherina yang menjadi penonton, melotot melihat interaksi yang tak sehat ini. Sebuah kertas yang menyatakan tentang pemberian harta seutuhnya atas nama Deanoy Vasco Bagaskara itu sudah raib. Namun Roger tersenyum kecil, kembali mengambil kertas yang sama dari dalam tasnya. Menyodorkan lagi kehadapan Vasco. “Ini adalah wasiat dari Tuan Daniel Bagaskara. Saya tidak bisa untuk tidak terus memaksa Tuan muda. Jadi ... tolong pikirkan, tuan. Tuan Daniel sudah meninggal, sementara anak tuan satu-satunya, Nyonya Wilca Syatha Bagaskara juga sudah tiada. Anda adalah satu-satunya pewaris seluruh harta Bagaskara. Bukan tuan Bobby, ataupun nyonya Velisa.” Vasco terdiam, menatap kelain arah dengan pikiran yang berkecamuk. “Om tau, dalam tubuhku ini nggak ada darah Bagaskara yang ngalir. Jadi ... aku sama sekali nggak berhak menerima semua ini.” Sherina berdiri. “aku buatkan minum untuk kalian.” Tanpa menunggu persetujuan, ia segera berlalu dari hadapan dua lelaki ini. “Tuan muda, saya tau anda sangat menyayangi nyonya Wilca. Apakah tuan akan membiarkan harta orang yang tuan sayangi raib begitu saja ditangan orang yang ternyata sudah menyakiti wanita yang tuan muda sayangi?” Vasco tetap diam. Cukup kesal mengingat Papi dan istrinya menuduhnya ingin menguasai seluruh harta keluarga mami. Ditambah dia yang memang tak memiliki hubungan darah sama sekali dengan keluarga Mami. “Silahkan diminum dulu.” Sherina meletakkan dua gelas teh hangat diatas meja. Roger menatap Sherina. “Anda ....” “Saya Sherina, om. Tem—“ “Dia pacarku.” Vasco memotong kata-kata Sherina. Sherina tersenyum kikuk. Kembali duduk disamping Vasco. Mengetahui apa maksud tatapan Roger. Sherina ngangguk mengerti. Roger meminum minumannya. Mengemasi barang-barangnya. Meninggalkan beberapa lembar kertas penting itu diatas meja. “Saya harap, tuan muda segera menandatangani ini. Agar pemindahan nama itu bisa segera saya proses.” Roger beranjak, menenteng tasnya, lalu menundukkan sedikit kepala. “Saya permisi, masih banyak tugas yang harus saya selesaikan.” Melangkah keluar dari apartemen Vasco. Sherina hanya diam menatap kertas-kertas yang berserakan diatas meja. Menatap Vasco yang juga diam menatap kelain arah. “Vas, kamu nggak mau cerita sama aku?” tanyanya lembut. Vasco tetap diam, tak bergeming sama sekali. Sherina meraih tangan Vasco, lalu menggenggamnya. “Katanya ... kita pacaran, kan?” vasco tetap diam tak bergeming. Sherina membuang nafas, menatap lurus kedepan. “Aku nggak akan paksa kamu untuk cerita. Karna aku memang orang yang baru kamu kenal. Kamu bisa cerita jika kamu udah percaya sama aku.” Sherina beranjak, namun tangannya dicekal. Vasco menariknya, menyuruhnya untuk kembali duduk disampingnya. “Aku ... anak pungut.” Ucapnya lirih. Sherina mulai serius mendengarkan setiap kata yang akan keluar dari mulut Vasco. “Aku diadopsi mami dan papi saat usiaku lima tahun. Sebelumnya, aku tinggal di panti. Bahagia banget saat aku memiliki kedua orangtua yang utuh. Apa lagi mereka memanjakanku dengan harta yang sangat berlimpah. Mami dan papi sudah menikah puluhan tahun, tapi nggak bisa punya anak, karna mami mandul. Aku menjadi anak satu-satunya, walau memang aku bukan anak angkat. Oppa Daniel sangat menyanyangiku, membiarkan aku memiliki semua yang tak dimiliki oleh orang lain, termasuk jet pribadi, aku pernah dibelikan itu. Setelah itu, oppa meninggal, tak begitu lama, mami jatuh sakit. Lalu Velisa datang sebagai seorang suster yang merawat mami. Yang ternyata malah menjadi perusak rumah tangga papi dan mami. Papi yang awalnya sangat sayang sama mami dan aku, berubah setelah mengenal Velisa lebih dekat. Kejadian yang paling tak bisa aku lupakan ... hiks .... aku nyesel, aku mnyesel karna waktu itu membiarkan mami memakan makanan itu.” Sherina mengelus punggung Vasco, menyalurkan kekuatan melalui sentuhan tangannya. “Setelah mami meninggal, perbuatan papi dan Velisa makin tak tau malu. Aku pernah beberapa kali memergoki mereka yang sedang bercinta didalam rumah. Benar-benar iblis!” tangan Vasco terkepal erat, sangat emosi mengingat kelakuan papinya. “Setelah itu, aku memutuskan untuk pindah kesini. Meminta om Roger membelikan apartemen ini.” Vasco menatap lekat wajah Sherina yang serius mendengarkan cerita masa lalunya. “Aku hanya anak pungut, yaang. Semua ini bukanlah milikku, aku bukan siapa-siapa.” Air mata itu membasahi kedua pipi putih Vasco. Tangan Sherina terulur, mengelap lembut kedua pipi Vasco. Lalu tersenyum manis. “Walau kamu bukan anak kandung, mereka menyayangi kamu melebihi anak kandung. Oppa mempercayakan kamu untuk menjaga harta yang sejak lama ia kumpulkan. Oppa dan mami nggak mau harta mereka sia-sia ditangan papi kamu. Orang yang sudah mengkhianatinya. Kamu nggak perlu dengerin kata orang tentang siapa kamu, Vas. Kamu nggak perlu sakit hati jika mereka mencelamu begitu, anggap aja angin lalu. Jangan kecewain kepercayaan oppa dan mami. Terima semua dan balas kebaikan keduanya dengan menjaga harta mereka.” Vasco menatap kelain arah. “Tapi, semua teman-teman nggak ada lagi yang mau temenan sama aku. Bahkan para cewek-cewek yang dulu mengagungkan aku, mereka jadi ikut membullyku.” Sherina menanggapinya santai, sangat santai. Bahkan ia juga pernah mengalami masa tersulit. “Yaudah sih, kamu nggak perlu berteman dengan orang yang memandang kamu dari segi materi, bahkan status. Orang itu nggak tulus temenan sama kamu. Jadi ... yang tadi di mini market itu teman sekolahmu?” Vasco ngangguk. “Mereka dulu teman dekatku. Bahkan sangat dekat. Sering banget aku mentraktir mereka. Tapi, setelah tau aku anak pungut, mereka jadi seperti itu. Bahkan mereka juga yang nyebarin berita ini ke sosial media, sampai seluruh dunia tau kalo aku ini Cuma anak pungut. Aku merasa frustasi, nggak ada tempat buat ngadu. Saat aku butuh temen, sama sekali nggak ada yang mau dengerin keluh kesahku. Makanya aku memilih untuk pergi nyusulin mami. Eh ... kamu malah datang, ngehalangin niat baikku.” Reflek tangan Sherina langsung jitak kepala Vasco. “Aww, sakit, yaang.” Mengelus kepala bekas tangan Sherina. “Bunuh diri itu nggak ada baiknya. Berhenti ngomong kalo bunuh diri itu niat baik.” Sherina menarik kertas yang ada dimeja, lalu memaksa tangan Vasco memegang pena. “Ayo, tanda tangani ini. Jadiin ini sebagai bentuk balas budi kamu ke mereka.” Vasco cemberut menatap Sherina, enggan untuk menanda tangani. “Vasco, ayo ....” paksa Sherina. “Cium dulu, nanti aku tanda tangan.” Menaik turunkan alisnya dengan senyum menggoda. “Iih, apaan! Nggak ada hubungannya sama cium. Buruan tanda tangani.” Suruhnya. Kemabli bibirnya manyun, membuat Sherina terkekeh karna gemas. Akhirnya menyoretkan tinta diketas itu. “Nah, gitu dong.” Sherina heboh. Teresenyum menatap tiga kertas yang sudah ada tanda tangan Vasco. Vasco merekatkan duduknya, mepet ke tubuh Sherina. Membuat Sherina bingung menatapnya. “Vasco, kamu mau ngapain?” “Cium, tadi kan aku udah bilang. Ayo, cium aku.” Diam mendekatkan wajahnya ke wajah Sherina. “Apa sih!” mendorong wajah Vasco agar menjauh. “Kamu sukanya modu—“ Cup! Vasco mencium tepat dibibir yang sedikit terbuka itu. Menekan tengkuk Sherina dengan satu tangan, lalu melumat bibir kekasihnya itu lembut. Merasa jika lawannya menegang, ia lepaskan pagutan. "Kalo ciuman, jangan lupa bernafas. Mati nanti!" Vasco beranjak, masuk kedalam kamar, tak peduliin pacarnya yang hampir mati jantungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN