Vasco menghentikan motor didepan gerbang kost Sherina. Mengekor saat gadis cantik itu berjalan masuk kedalam. Lalu duduk diteras depan menunggu gadisnya selesai dengan segala urusan.
Ddrtt ... ddrtt ....
Ponselnya berdering nyaring, membuatnya berdiri untuk mengambil dari saku celana. Tertera nama Roger si penelfon.
“Hallo,” sapanya seraya menempelkan ponsel ditelinga.
“Tuan muda dimana? Saya ada di apartemen.” Suara disebrang sana.
“Kenapa nyari aku?” tanyanya dengan tak ramah.
“Ada yang perlu kita bicarakan, tuan.” Tutur Roger sabar.
“Kalo mau, tungguin aja sampai aku pulang.”
Nggak dengerin Roger ngomong lagi, Vasco segera mematikan ponsel, kembali menyimpannya ke saku celana. Kembali duduk dengan menaikkan kedua kaki ke kursi, mata menerawang kedepan. Tiba-tiba saja ada kristal bening yang menetes dari matanya. Cepat ia menghapus air mata sialan itu.
Ceklek!
Pintu kamar nomor 21 dibuka, menampilkan sosok Sherina dengan wajah cemberut, rambut ia gelung acak adul diatas. Pakai celana sebatas paha dan kaos warna hitam yang kegedean. Bersedekap dengan bersandar dibibir pintu. Menatap pacarnya dengan sangat kesal.
“Yaang, ke apartemenku yuuk,” ajak Vasco, mendongak menatap kekasihnya yang masih aja cemberut.
“Enggak.” Tolaknya cepat.
Vasco membuang nafasnya, kembali menatap kedepan, lalu menyandarkan tubuh kedinding. Hanya diam dengan pikiran yang sangat kacau.
“Kamu nggak ada kegiatan ya?” tanya Sherina yang berniat mengusir halus.
Cowok berambut pirang ini menggeleng lemah. Matanya terlihat sayu, ada banyak masalah yang membuatnya ingin cepat mati. Memijit pelipis, lalu menekan kedua mata agar tak lagi cengeng.
“Mending kamu pulang deh. Aku capek, pen istirahat.” Sewotnya.
Vasco diam, hanya menunduk untuk menyembunyikan perasaannya.
“Kamu pulang ya. Aku pen tidur siang.” Usirnya, membalikkan badan, lalu melangkah masuk kedalam kamar. Langkahnya terhenti saat mendengar isakan kecil dari Vasco. Kembali menatap pria menyebalkan yang menunduk dengan bahu bergetar. ‘Astaga, disuruh pulang malah nangis? Dasar bocah!’ batinnya.
Mendekati pacarnya, duduk disebelah Vasco, mengelus punggung yang bergetar itu. “Vas, iya deh, nggak usah pulang. Tetep aja disisni, aku nggak jadi tidur. Udah nggak usah nangis.” Berkata lebih lembut untuk menenangkan pacarnya.
Tanpa aba-aba Vasco langsung berhambur memeluk tubuh ramping Sherina. Menyembunyikan wajah dicekuk leher gadisnya. Kembali terisak disana. “Biarin aku bersandar dibahumu, pliiss ....” pintanya dengan suara serak karna tangis.
Sherina terdiam, merasakan ada sesuatu yang beda dari pikirannya. Ngangguk, lalu membalas pelukan Vasco. Mengelus punggung yang tertutup jaket jeans itu. Ingin banyak menanyakan sesuatu yang berputar diotaknya, tapi memilih diam mendengarkan tangis Vasco.
Setengah jam berlalu, Vasco merasa sedikit tenang. Melepaskan pelukan, menghapus mata dan ingus. Masih saja menunduk, enggan untuk menatap Sherina.
Sherina masuk kedalam kamar, membuatkan minuman hangat. Membawanya keluar lalu menaruh dikursi samping Vasco.
“Di minum dulu, biar sedikit fresh.” Memilih menyandarkan bokongnya didinding yang menjadi pagar depan kamarnya. Menatap mata Vasco yang terlihat merah karna tangisnya tadi.
“Makasih, yaang.” Vasco meraih gelas disampingnya, meminum setengah, lalu ngambil tissu dan mengelap wajahnya. “Aku boleh ikut cuci muka?” ijinnya.
Sherina ngangguk. “Masuk aja kedalam, kamar mandinya ada didalam.”
Berdiri, melangkah masuk kedalam kamar Sherina untuk membasuh mukanya. Sementara itu, Sherina bingung menebak apa yang sedang terjadi. Semakin tak tega untuk bersikap jutek atau nyuekin Vasco.
“Untung cakep. Coba burikan, males gue!” gerutunya.
“Siapa yang burikan, yaang?” Vasco keluar dengan wajah basah, rambutnya juga sedikit basah.
“Eh, enngak kok. Ini handuk.” Menarik handuk warna pink yang ia jemur dibelakangnya.
Vasco menerima handuk yang diulurkan Sherina, lalu mengelap wajahnya yang basah.
Ddrtt ... ddrtt ....
Kembali ponsel yang ada disaku celana berdering. Vasco menyerahkan handuk yang sudah selesai ia pakai, lalu merogoh ponselnya. Masih sama, ada nama Roger dilayar itu.
“Apa sih, om?” terlihat sangat kesal saat mengangkat telfon.
“Tuan muda, tolonglah. Ini tentang wasiat nyonya Wilca. Atau saya akan menemui tuan saat ini. Tuan muda dimana?”
Vasco menatap Sherina yang menyimak obrolannya. “Yaang, temenin balik ke apartemen sebentar ya.” Pintanya memelas.
Nggak ada alasan lagi, gadis itu hanya menganggukkan kepala.
“Yaudah, bentar lagi aku balik.”
Kembali Vasco mematikan telfon. Lalu menyimpan ponsel ke saku celana. Menatap Sherina dengan sedikit binar. “Ayok, yaang.” Ajaknya.
“Aku ganti celana dulu.” Masuk kedalam untuk mengganti bajunya, Vasco mengikuti, ikut masuk kekamarnya. “Kamu ngapain ikutan masuk?”
“Bawa baju ganti sekalian, yaang. Besok kamu berangkat kerja dari apartemenku aja.” Suruhnya.
Sherina cemberut. “Engg—“
Cup!
Vasco mencium bibir yang terbuka itu. “Bisa kan, nurut?” mata mereka beradu, jarak terkikis karna tangan Vasco melingkar dipinggangnya.
Sherina melotot terkejut untuk serangan yang selalu tiba-tiba. Kepalanya mengangguk sebagai jawaban untuk permintaan pacarnya. Vasco kembali mendekatkan wajah, memiringkan sedikit kepalanya, lalu bibirnya kembali menyentuh bibir Sherina. Melumat lembut bibir yang kini mulai ia sukai. Sherina yang memang tak pengalaman dengan ciuman, hanya diam menikmati apa yang Vasco lakukan. Kedua matanya merem dengan tangan yang mengenggam erat sofa.
Vasco melepaskan pagutan setelah puas melakuakn apa yang ia sukai. Tersenyum menatap wajah Sherina yang bulshing dengan mata terpejam dan bibir sedikit terbuka.
“Udah selesai ciumannya, yaang. Buka mata.” Suruhnya dengan sedikit kekehan. Tangannya terulur, mengelap sisa salivanya dibibir Sherina yang sedikit memerah. “Makasih ya, yaang. Aku sayang banget sama kamu.”
Sherina salah tingkah, mulai bingung dengan perasaannya sendiri. Jantungnya tak bedetak normal, aliran darah masih saja memanas karna ... nggak tau juga kenapa. Mendorong d**a Vasco, lalu berbalik memunggungi kekasihnya itu. Menyembunyikan senyum, yang entah senyum apa. Dia sendiri tak mengerti. Segera ngambil celana dilemari dan membawanya masuk ke kamar mandi.
Tak ingin ada yang berfikir aneh tentang mereka, Vasco segera keluar dari kamar. Kembali duduk dikursi yang ia duduki tadi, lalu mengambil ponsel untuk menghilangkan kebosanannya.
Beberapa menit kemudian, Sherina keluar dengan tas ransel. Lalu mengunci pintu kamarnya. Vasco pun berdiri, tersenyum menatap kekasihnya.
“Udah?” tanyanya. Sherina ngangguk, lalu tangannya digandeng untuk turun bersama.
**
Motor merah Vasco berhenti didepan mini market yang dekat dengan apartemennya. Mengajak gadisnya masuk untuk membeli camilan yang diinginkan.
“Biar aku aja.” Menolak saat Sherina hendak membayar tagihan yang disebutkan oleh kasir.
Nurut, Sherina kembali menyimpan dompetnya. Menenteng sekantong plastik belanjaannya. Keluar lebih dulu, menunggu Vasco disamping motor.
Terlihat ada beberapa motor yang datang. Bocah-bocah yang seumuran dengan Vasco. Kelima anak lelaki itu menyeringai saat melihat Vasco keluar dari mini market. Mengurungkan kaki mereka yang hampir melangkah masuk.
“Jajan pakai duit siapa lo?” pertanyaan yang ia lemparkan ke Vasco.
Vasco hanya diam, tetap berjalan menghampiri Sherina. Pura-pura tak mendengar apa yang meraka ucapkan.
“Anak pungut ya jajan pakai duit papi pungut lah, brow.” Sahut salah satunya.
Sherina terbelalak mendengar apa yang anak-anak itu katakan.
“Pungut aja songong!”
“Sok jagoan, bangga banget dengan harta orangtua pungutnya.”
“Udah piatu, brow!”
“eh, iya lupa, yang sayang sama dia kan udah mati!”
Vasco mengepalkan tangan, tak terima jika sudah ada mami yang mereka bahas.