Sherina memegangi d**a yang masih berdetak cepat, lalu memegangi bibir yang masih basah. Merem, merebahkan tubuhnya ke sandaran sofa.
“Bisa ya, asal cium gitu.” Mengeluhkan kelakuan Vasco yang sudah tak terhitung berapa kali telah menciumnya. Padahal mereka baru aja kenal tiga hari.
“Yaang, cari makan yuk.” Ajaknya saat baru saja keluar dari kamar.
Sherina yang ngelamun sedikit terlonjak. Menoleh kearah kekasihnya yang berjalan mendekat. “Kamu punya bahan makanan di kulkas enggak? Mending bikin aja deh.”
“Ya nggak ada lah, yaang. Aku kan nggak bisa masak. Ngapain nyimpen kangkung sama yang lain.” Duduk disamping Sherina, merebahkan kepala dengan seenaknya dibahu Sherina.
Membuat Sherina membuang nafas panjang. “Yaudah deh, kita beli aja.”
“Sayang, mending kita belanja ke swalayan, beli semua bahan yang kamu butuhin untuk bikin makanan.” Usul Vasco.
“Kamu nggak keburu lapar?”
“Enggak kok, ayok, kita ke swalayan.” Menarik tangan Sherina untuk segera berdiri.
“Bertar, aku ambil dompet dulu.” Membuka tas ransel yang tergeletak disampingnya.
“Nggak usah. Aku yang bayar, kamu nggak usah bawa dompet nggak apa-apa.” Larangnya, kembali menarik tangan Sherina hingga gadis itu berdiri dan mengikuti langkahnya.
Vasco tersenyum, mengelus punggung tangan Sherina. “Nggak sabar deh, makan makanan masakan kamu.”
Sherina hanya tersenyum kaku. Ia pun lama tak pernah membuat makanan didapur. Langkah mereka terhenti diloby apartemen.
“Tunggu sini ya, yaang. Jan kemana-mana.” Pesannya sebelum akhirnya melangkah menuju basemen.
Sherina mengerucut. “Dikira aku anak kecil apa!”
Bersedekap menatap beberapa orang yang berlalu lalang didepan apartemen.
“She,”
Panggilan seseorang yang membuat Sherina sedikit terperanjat. Menoleh kesamping, kearah seorang lelaki yang memakai jaket tebal berwarna hitam kombinasi hijau. Pria itu menarik masker penutup mulutnya, lalu tersenyum kearah Sherina yang hanya diam karna merasa tak mengenalinya.
“Ini gue.” Rega tertawa kecil, menghampiri Sherina yang mulai tersenyum.
“Astaga, gue kira siapa!” menepuk pelan lengan Rega. “Lo ngapain disini, Ga?”
“Ngantar pesanan.” Jawabnya.
Sherina tersenyum seraya menggaruk pelipis. Lupa kalau Rega bekerja jadi drive ojol ketika usai kerja di swalayan.
“Elo sendiri kenapa ada disini?” tanyanya, memperhatikan Sherina yang berdiri sendirian tanpa membawa apapun.
“Uum ... gue ....”
Tak meneruskan kata-katanya, sebuah mobil warna hitam berhenti tepat didepannya. Membuat Rega dan dirinya menatap pintu mobil yang kacanya menurun pelan.
“Ayo masuk.” Perintah Vasco.
Sherina tersenyum menatap Rega. “Gue duluan ya, Ga.”
Rega hanya ngangguk dengan senyuman kecil. Menatap mobil hitam itu melaju meninggalkannya. “Kok kek pernah liat cowok yang didalam itu ya, tapi dimana?” kembali menatap mobil Vasco yang hampir menghilang. “Apa itu pacarnya Sherina?” lalu menggelengkan kepala. “Pinter juga cari pacar. Tinggal diapartemen ini, udah pasti tajir. Kirain, dia pacaran sama bang Leon, nggak taunya.” Tertawa kecil.
Setelah ngedumel sendirian, Rega melangkah menuju motornya yang ia parkirkan di samping pos satpam.
**
“Siapa dia?” tanya Vasco disela nyetir.
Sherina sibuk memasang sabuk pengaman. “Dia Rega, teman kasir. Mungkin kamu udah pernah liat.”
“Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama dia.” Mulai dengan keposesifannya.
Sherina melongo menatap Vasco. “aku sama dia nggak dekat kok. Cuma kenal aja, kebetulan tadi ketemu dia disana. Dia—“
“Aku nggak nanya, yaang, dia ngapain. Yang jelas, kamu nggak usah banyakkan ngobrol sama cowok.”
Enggan untuk menanggapi, Sherina memilih menyandarkan kepala di sandaran kursi. “Iya, iya.”
“Yaang, bentar lagi aku lulus sekolah lho. Kemarin udah ujian yang terakhir. Besok suruh masuk, tapi Cuma absen doang.”
“Hhmm.”
Vasco tersenyum kecil. “Nikah yuk,” ajaknya, melirik Sherina sambil tersenyum manis.
Sherina terbelalak. “Jan gila deh!” sewot karna marah.
“Kamu nggak mau nikah sama aku?”
Sherina membuang nafas, memijat pelipisnya.
“Nikah itu kan didasari perasaan yang sama. perasaan kita kan udah sama. makanya, nikah yuuk.” Ajaknya lagi.
“Vasco ....” mengurungkan niat untuk kembali menjelaskan tentang ia yang tak memiliki perasaan cinta. Menatap keluar jendela, bingung juga mau ngomong apa.
“Kenapa, yaang?”
Vasco menghentikan mobil di parkiran luar mall, sedikit bergeser, menatap kekasihnya yang sudah melepas sabuk pengaman.
“Kenapa? Kok malah liatin aku kek gitu? Nggak mau turun?” tanya Sherina seraya membuka pintu mobil yang ternyata masih dikunci.
“Jelasin dulu, kenapa enggak mau nikah sama aku?”
“Bukannya enggak mau, tapi ... nikah itu butuh persiapan, Vas. Nggak hanya asal-asalan aja. Prinsipku, nikah itu sekali seumur hidup. Jadi ... ambil keputusan buat nikah itu nggak mudah.”
Vasco ngangguk, paham maksud Sherina. “Pengumuman lulus juga masih dua bulan lagi, yaang. Kita masih ada waktu untuk memikirkan pernikahan kita.”
“Hah?!” expresi cengo Sherina dengan keterkejutan yang ia dengar.
Tak mempedulikan wajah keselnya Sherina, Vasco segera membuka pintu mobil. Menggandeng tangan Sherina begitu kekasihnya itu keluar dari dalam mobil. Lalu jalan bergandengan masuk kedalam mall. Langkah mereka memasuki swalayan Cae, tempat Sherina bekerja. Vasco mengambil troly, lalu mengekor Sherina menuju ke stand sayuran.
“Ambil yang banyak sekalian aja. Buat stok beberapa hari.” Suruh Vasco. Ia sendiri memilih sea food, membolak-balikkan beberapa kepiting, lalu memasukkan satu per satu kedalam plastik. “Yaang, kamu bisa masak kepiting, kan?” tanya Vasco sambil melirik Sherina yang memasukkan cabe ke plastik.
“Hhmm.” Masih kesal, males untuk berdebat ditempat yang rame. Apa lagi kebanyakan orang-orang disini mengenalnya.
Vasco kembali mendorong keranjangnya untuk menanti kekasihnya memilih beberapa bumbu dapur. Setelah selesai Vasco mengajak Sherina untuk membeli beberapa minuman serta camilan untuk jadi stok di kulkas.
“Keatas yuk, yaang.” Ajaknya.
“Mau ngapain?” tanya Sherina yang nggak setuju.
“Beliin kamu sendal. Di apartemen sendalnya kan Cuma satu. Ayok.” Menggenggam tangan Sherina untuk menaiki eskalator.
Memilih menuruti apa kata pacarnya. Mereka berdiri dengan tangan berada dalam genggaman Vasco. Sherina tersenyum ke beberapa anak kasir yang berpapasan dengannya di eskalator yang turun.
“Kamu ngapain senyum-senyum? Senyum sama siapa?” tanyanya sambil menatap Sherina yang masih sedikit tersenyum.
“Sama temen kasir, tadi mereka turun. Mau buka kasir.”
Vasco hanya ngangguk, tak jadi marah karna yang tadi itu wanita semua. Kembali tangan yang satu mendorong keranjang saat sudah sampai dilantai dua.
“Kamu ambil sendalnya ya. Aku mau ambil shampoo.”
Sherina ngangguk, berjalan lurus, berhenti tepat didepan rak panjang yang berisi berbagai macam sendal. Di tengah keseriusannya memilih, seseorang mendekatinya.
“She, tumben belanja akhir bulan?” sapa orang itu.
Sherina mendongakkan kepala, tersenyum saat melihat ada pak Joko yang berdiri dibelakangnya. Mengambil sendal jepit warna ungu, lalu berdiri.
“Iya, pak.” Jawabnya kikuk.
Joko, menurut pandangan Sherina adalah lelaki yang pintar dan sempurna. Dia tampan, tegas dan lembut. Selama bekerja dua tahun kurang, belum pernah Joko memarahinya. Malah selalu membimbing dengan sangat sabar.
“Besok jam tiga sore, ada waktu?”
Sherina ngangguk. “Saya besok libur. Jadi ... ada banyak waktu.”
Joko tersenyum, mengalihkan pandangannya. “Iya, makanya saya mau ajak kamu nonton. Tadi saya udah beli tiket, film ini masih baru. Belinya harus ngantri panjang banget.”
Mata Sherina berbinar. “Bapak mau ajak saya nonton?”
Joko ngangguk. “Apa kamu mau?”
Sherina bersorak dalam hati, menggenggam sendal dengan erat. Keberuntungan macam apa yang menghampirinya.
“Yaang, aku cariin lho. Ternyata disini.” Tiba-tiba Vasco muncul dengan troli yang hampir penuh. Menatap Joko dengan memicing.