“Nona, ini belanjaan anda.” Pria itu memberikan kantong berisi belanjaan Rania yang sudah dibayarnya.
“Te—terima kasih. Seharusnya anda tidak melakukan ini.” Rania memberanikan diri menatap pria yang sudah memberikan kantong itu.
Wanita itu terkesima, pria yang ada di hadapannya memiliki paras yang begitu memikatnya. Pria itu memiliki wajah cukup tampan, mirip aktor india kesukaannya—Amitabh Bachchan waktu muda.
“Tidak masalah, Nona.”
“Jangan panggil saya dengan sebutan nona, Bang. Saya ini sudah punya anak, hehehe.” Rania merona.
“Owh, benarkah? Saya pikir anda masih gadis. Tidak terlihat seperti seorang ibu. Saya pikir usia anda masih dua puluhan.”
“Oiya, maaf ... bisa saya minta nomor ponsel anda, Bang?”
“Maaf, nomor ponsel? Untuk apa?” Pria itu menatap Rania, Rania gelagapan.
“He—eh, ma—maf ... anda jangan salah paham dulu. Maksud saya, saya ingin mengganti uang anda, nanti. Setelah dompet saya ketemu, saya akan segera menghubungi anda untuk mengembalikan uang yang sudah anda keluarkan untuk membayar belanjaan saya.” Rania gugup.
“Tidak perlu, mbak. Maaf kalau saya memanggil anda dengan sebutan mbak. Saya sudah mengikhlaskan uang itu, anggap saja itu rezeki anda.” Pria itu tampak santai dan bersahaja.
“Tidak, saya tidak ingin punya hutang kepada siapapun. Apalagi kepada anda, yang sama sekali tidak saya kenal. Saya akan mengembalikan uang itu. tolong beri saya nomor ponsel anda.” Rania tetap memaksa.
“Baiklah, jika anda tetap memaksa. Nomor ponsel saya—.”
“Sebentar ... sebentar ... saya mau mengambil ponsel saya dulu.” Rania mengambil ponsel nokia 3310 miliknya yang wanita itu letakkan di dalam saku celana jeans yang ia kenakan, “Berapa?”
“nol delapan satu tiga satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan.”
“Baiklah, terima kasih. Saya akan segera menghubungi anda jika dompet saya sudah ketemu.” Rania tersenyum, pria itu cukup terpukau dengan senyum manis milik wanita dua puluh lima tahun itu.
“Okay, tidak masalah. Bahkan jika anda tidak menggantinya sekalipun, bagi saya tidak masalah. Saya sudah mengikhlaskan. Saya malah senang bisa membantu wanita cantik seperti anda.” Rania seketika merona.
“Hhmm ... maaf, kalau begitu saya permisi.”
“Ya, silahkan.”
Rania berlalu meninggalkan pria itu. Pria berperawakan india, berwajah bersih dan mulus. Ada janggut super tipis di dagunya. Berkulit sawo matang dan bibir sedikit tebal. Sekilas memang mirip dengan aktor india, Amitabh Bachchan waktu muda. Sang pria pun berlalu meninggalkan mini market menggunakan mobil yang ia sewa.
Rania sedikit berkeringat. Tubuhnya sangat lemah, ia masih demam. Dengan sedikit gemetar, Rania membuka gembok yang melekat di pintu rumah kontrakannya. Pintu rumah itu sangat sederhana. Beberapa bagian sudah mulai mengelupas.
Setelah berhasil membuka gembok, Rania segera melangkah ke dalam dan masuk ke dalam kamarnya. Rania tertegun, netranya menangkap sebuah benda kecil tergeletak di atas lantai. Sebuah dompet kecil sedikit lusuh bertuliskan ”toko mas jaya” masih diam di tempatnya.
Rania menarik nafas panjang, ia lega. Dompet itu sudah menemani Rania selama tiga tahun. Emas yang ia beli di toko tersebut, sudah kembali lagi ke toko itu, dua tahun yang lalu. Kala itu Rania tidak bekerja, Adam juga. Saat itulah mereka memutuskan mengirim anak-anak mereka ke kampung atas saran dari orang tua Rania. Untuk memenuhi kebutuhan mereka di rantau, Rania menjual emas yang sudah ia beli selama setahun.
Rania segera mengambil dompet itu dan merangkulnya. Seulas senyum, terpatri dari bibir wanita itu. Walau nilai uang dalam dompet itu tidak seberapa, namun itu sangat berharga baginya.
Rania segera mengeluarkan ponsel jadul miliknya. Hanya ponsel itu yang mampu ia beli. Di saat orang-orang sudah memiliki ponsel berkamera dan bisa memutar lagu-lagu romansa, Rania hanya mampu membeli ponsel nokia tipe 3310.
Rania segera menekan tombol navigasi dan mencari nama seseorang—Harun. Rania segera menghubungi nomor tersebut.
“Halo ....” terdengat suara bariton seorang pria dari seberang telepon.
“Ha—halo, apakah ini dengan bang Harun?”
“Ya, ini siapa?”
“Ini saya bang, Rania.”
“Rania mana, ya?”
“Rania yang ta—.” Panggilan itu terputus. Pulsa Rania sudah habis.
Ah ... mengapa malang sekali nasibku. Masa pulsa aja nggak kebeli. Semua ini gara-gara bang Adam, Rania mengupat dalam hatinya.
Rania tersentak, ponsel jadul itu berdering.
“Halo, maaf bang, tadi terputus.”
“Iya, tidak masalah. Ada apa, Rania?”
“Begini, dompet saya sudah ketemu. Ternyata kececer di lantai kamar. Saya ingin mengembalikan uang yang sudah abang keluarkan tadi, untuk membayar belanjaan saya.”
“Ternyata kamu begitu memaksa untuk mengembalikannya. Padahal saya benar-benar sudah mengikhlaskan uang itu.”
“Tidak bang, saya tidak ingin berhutang. Kapa kita bisa ketemu? Apakah bisa nanti malam selepas maghrib?”
“Bisa, dimana?”
“Terserah abang saja, nanti saya akan susul ke sana bersama suami saya.”
“Oh iya, baiklah. Nanti akan saya kabari lagi.”
“Iya bang, terima kasih.”
Rania memutuskan panggilan suara itu dan meletakkan ponselnya di atas meja sederhana yang dibuat sendiri oleh Adam. Di meja itulah Rania menata beberapa kosmetik miliknya. Tidak banyak, hanya sebuah pelembab, alas bedak, bedak tabur dan sebuah lipstik. Tidak ada skincare apapun yang Rania miliki.
Beruntung, Tuhan memberikan wajah dan kulit yang cantik alami untuk Rania. Gadis itu berkulit sawo matang agak cerah, mendekati kuning langsat. Kulit wajahnya cerah dan sangat mulus. Memiliki rambut lurus dan panjang. rambut Rania seperti rambut dengan perawatan mahal. Padahal rambut itu tidak pernah tersentuh jenis vitamin rambut apapun. Rania hanya menggunakan shampoo biasa, yang ia beli sachetan di warung tetangga.
Rania kemudian berlalu ke dapur. Memanaskan air di atas panci untuk dia mandi. Bukan Rania sok-sok-an, ingin berendam air hangat bertabur kembang atau cairan perawatan tubuh, yang biasa digunakan oleh wanita-wanita berkantong tebal, bukan. Rania sengaja memanaskan air, karena tubuhnya masih meriang. Ia ingin menghangatkan tubuhnya dengan mandi air hangat.
Rania sudah meletakkan panci berisi air dia atas kompor. Wanita itu memasukkan sebuah lidi ke dalam lubang tempat memasukkan minyak tanah ke dalam kompor itu.
Kering ...
Lidi yang dimasukkan Rania sama sekali tidak basah oleh minyak tanah. Itu artinya, kompornya kehabisan bahan bakar.
Ah ... aku harus ke warung dulu membeli minyak tanah, gerutu Rania lagi.
Wanita itu segera mengambil jerigen dan berlalu ke warung yang hanya berjarak tiga rumah dari rumahnya. Rania membeli seliter minyak tanah, kemudian kembali ke rumahnya. Ia melihat motor Adam sudah ada di halaman rumah kontrakannya.
“Bang Adam, sudah pulang?”
“Sudah, dari mana?”
“Dari warung, beli minyak tanah. Minyak kompor habis.”
“Owh ... kenapa nggak pakai tungku saja. Bukankah kayu kabar masih ada?”
“Aku capek niup-niup terus, Bang. Lagi pula aku demam, aku nggak kuat dengan asap tungku.”
“Ya sudah.”
Adam berlalu dan masuk ke kamar mereka. Rania mendengus kesal. Wanita itu ingin protes, tapi tidak bisa. Ia tetap melangkahkan kakinya ke dalam dapur dan memasukkan minyak tanah yang sudah ia beli ke dalam kompor menggunakan corong yang juga sudah lusuh.
Setelah Minyak tanah itu sudah memenuhi baki kompor, Rania menurunkan kembali pancinya dan menyalakan kompor itu, kemudian menaruh lagi panci berisi air ke atas kompor yang sudah menyala.
Rania menyeka keningnya. Ia semakin meriang. Tapi badannya terasa gerah. Rania memutuskan untuk tetap mandi dengan air hangat. Berharap setelah mandi air hangat, badaannya sedikit lebih segar.