Rania terkulai lemas. Wanita itu mengangkat selimut hingga menutupi tubuhnya yang polos. Tak lama, Rania terlelap dengan dildo masih dalam genggamannya.
Adam bangkit dari ranjang. Pria itu mengutuk dirinya. Ia memang tidak pernah bisa hebat di ranjang. sudah berkali-kali ia mencoba untuk memuaskan istrinya, namun hasilnya sia-sia. Adam tidak pernah bisa bertahan lama. Cairannya seakan selalu mendesak untuk keluar.
Dulu, Adam pernah mencoba mendekati wanita lain. Mencoba untuk berhubungan dengan wanita itu. Adam pikir, mungkin ia jenuh dengan istrinya, hingga mencoba bersenggama dengan wanita lain. Tapi hasilnya tetap saja sama. Wanita itu malah kecewa dan meninggalkan Adam.
“Dasar, laki-laki payah. Siput di pelihara!”
Kata-kata wanita itu selalu terngiang-ngiang di telinga Adam. Kata-kata itu sangat menyakitkan baginya. Semenjak saat itu, Adam tidak pernah lagi berhubungan dengan wanita mana pun, selain Rania—istrinya.
Pria itu kemudian berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu meninggalkan Rania yang masih menikmati dunia mimpi.
-
-
-
Pagi ini, Rania bangun dengan kondisi tubuh yang kurang baik. Kepalanya sedikit sakit dan tubuhnya sedikit meriang. Ia demam.
Tapi Rania enggan untuk izin bekerja. Pekerjaannya sebagai buruh pabrik roti, diberi upah harian. Ia akan kehilangan gajinya hari ini, jika ia tidak pergi ke pabrik.
Dengan malas, Rania tetap melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi. Wanita itu hanya mencuci muka dan menggosok gigi, tanpa mandi. Kulitnya terasa ngilu ketika terkena air dingin pagi.
Netranya menatap jam dinding, sudah hampir jam tujuh pagi. Jika ia tidak segera berangkat, maka ia akan terlambat. Percuma kakinya tetap melangkah ke dalam area pabrik jika terlambat. Karena ia tidak akan diizinkan untuk masuk dan bekerja. Pada akhirnya, ia akan tetap kehilangan upah untuk hari ini.
Rania segera menganti bajunya dengan seragam yang diberikan pengurus pabrik. Seragam yang di dapat Rania dengan cara dicicil. Separuh dari harga seragam itu, memang ditanggung oleh buruh, dan separuhnya lagi ditanggung oleh pabrik. Tapi beruntung, seragam berwarna jingga itu sudah lama lunas. Sehingga Rania tidak perlu memikirkan potongan gaji untuk membayar cicilan seragamnya.
Rania dengan cepat menyisir rambutnya dan menguncir rambut itu dengan karet gelang yang ia temukan di lantai kamarnya. karet gelang bekas pengikat kerupuk.
Rania sudah tidak melihat Adam. Sepertinya bang Adam sudah pergi kerja, batin Rania. Wanita itu segera berlalu dan mengunci pintu.
Dengan setengah berlari, Rania berjalan meninggalkan komplek perumahan tempat ia tinggal. Rania tidak ingin naik ojek, demi menghemat pengeluarannya.
Lima belas menit berjalan kaki, Rania pun sampai di tepi jalan besar, tempat ia biasa menunggu angkutan kota menuju pabrik tempatnya bekerja.
Wanita itu berhenti sesaat, napasnya sesak. Ia berjalan cukup cepat dengan kondisi tubuh yang kurang sehat. Rania juga belum menyempatkan diri untuk mengisi apapun ke dalam perutnya.
“Naik, Dek?” sapa seorang supir angkutan kota tatkala berhenti di depan Rania. Supir itu sudah mengenali Rania.
“Iya, makasih, Bang.” Rania duduk tepat di belakang kursi supir.
“Adek kelihatannya pucat, sakit ya?” supir angkutan kota menatap Rania lewat kaca kecil yang terpasang di bagian atas mobilnya.
“Iya Bang, agak demam.”
“Tapi mengapa tetap bekerja?”
“Sayang uangnya, Bang. Hehehe ....”
“Maksudnya?”
“Kita cuma buruh biasa, Bang. Kalau gak masuk, gaji nggak hidup. Nggak apa-apalah tahan-tahan sedikit demamnya. Nanti minum paracetamol juga sembuh.” Rania merasakan kepalanya cukup sakit, tapi berusaha wanita itu tahan.
“Ya sudah, hati-hati saja nanti.” Sang supir kembali fokus kepada kemudinya.
Dua puluh menit kemudian, angkutan kota yang di tumpangi Rania berhenti di depan pabrik tempatnya bekerja. Wanita itu membelokkan langkahnya terlebih dahulu menuju warung, tidak jauh dari pabrik. Rania membeli dua jenis kudapan dan juga sebuah paracetamol untuk menghilangkan rasa nyeri di tubuhnya.
“Ra ....” Rania menoleh, ia melihat Dewi setengah berlari, menghampirinya.
“Dewi, ada apa?” jawab Rania seraya membayar belanjaannya.
“Kamu kenapa Ra? Kok pucat? kamu sakit?” Dewi memegang tengkut Rania, terasa sedikit hangat.
“Sedikit demam saja, minum paracetamol juga bakal hilang.” Rania tersenyum, sedikit terpaksa.
“Kenapa nggak izin aja sich, Ra?”
“Lima puluh ribu itu gede cint ... kalau aku izin, lima puluh ribu akan melayang begitu saja.” Rania segera beranjak dari warung menuju pabrik tempatnya bekerja. Dewi mengikuti.
“Iya sich Ra, tapi kalau nanti terjadi apa-apa, bagaimana?”
“Kan ada kamu, yang akan bantuin aku, hehehe.”
Dewi hanya bisa menggeleng. Rania benar, lima puluh ribu di tahun dua ribu tujuh, itu sangatlah besar. Apalagi Rania memiliki anak-anak yang harus ia biayai di kampung halamannya.
Sepuluh menit sebelum bel berbunyi, Rania dan Dewi sudah berada di loker mereka masing-masing. Rania masih bisa menyempatkan diri untuk menyantap kudapan yang baru saja ia beli. Sesaat kemudian, ia menenggak paracetamol untuk mengurangi nyeri dan demam yang ia rasakan.
Rania memang tidak sehat, berkali-kali wanita itu salah memasukkan roti ke dalam packingan. Beruntung, bu Gina tidak memperhatikan Rania. Dewi dengan sigap selalu membantu setiap Rania kesulitan dalam pekerjaannya. Alhasil, Rania masih bisa menyelesaikan pekerjaannya hari ini dengan baik.
“Wi, makasih ya udah bantuin kerjaan aku hari ini. akhirnya uang lima puluh ribuku tidak melayang begitu saja, hahaha.”
“Sama-sama Ra. kamu aneh ya, dalam sakit masih aja bisa bercanda.”
“Hidup jangan terlalu di bawa serius Wi, nanti cepat tua. Oiya, aku duluan ya.”
“Oke, hati-hati. Maaf ya Ra, hari ini aku dijemput sama bang Dani.”
“Nggak apa-apa. Semoga saja Dani ngak sama kayak Gito, hahaha.”
Rania tertawa seraya berlalu meninggalkan Dewi—sahabatnya. Tubuhnya sangat lemah. Ia berniat mampir dulu ke mini market untuk membeli obat dan beberapa kebutuhan rumah tangga. Rania enggan membawa dirinya ke bidan atau klinik, apalagi rumah sakit. Alasannya sama, untuk menghemat biaya pengeluaran.
“Bang, stop di sini bang.” Rania memberhentikan angkutan kota yang ia tumpangi.
“Lho? Kok berhenti di sini, Dek? Kan simpang rumahnya Adek masih di depan sana?” Sang supir tampak heran.
“Iya bang, aku mau mampir ke minimarket dulu, mau beli sesuatu,” jelas Rania.
“Owh ... ya sudah, hati-hati ya.”
Rania membayar ongkos dan segera berlalu masuk ke dalam minimarket yang ia tuju. Wanita itu mulai memilih barang-barang yang akan ia beli. Tidak banyak, hanya sekilo gula, sekotak teh, beberapa mie instant, kopi dan obat-obatan juga beberapa kebutuhan yang lainnya.
Setelah merasa cukup, Rania ikut mengantri di meja kasir untuk membayar belanjaannya.
“Semuanya empat puluh tiga ribu, Kak,” ucap kasir minimarket setelah menjumlah total semua belanjaan Rania.
“Iya, sebentar.”
Rania mulai membuka tasnya. Wanita itu sangat kebingungan karena ia tidak mampu membayar belanjaannya. Rania tidak menemukan dompet di dalam tasnya.
“Bagaimana, Kak?”
“I—iya, sebentar ....” Rania terus mengobrak-abrik isi tasnya. Wanita itu bahkan menuangkan semua isi tasnya di atas meja kasir.
“Bagimana, Kak? Jadi dilanjutkan atau di batalkan?” sang kasir mulai kesal.
“Ma—maaf, sepertinya dompet saya ketinggalan. Saya minta maaf.” Rania malu, wanita itu kembali mengemasi isi tasnya yang tidak seberapa. Dompet kecil bertuliskan toko mas Jaya, tidak juga ia temukan.
“Huh ... dari tadi dong, Kak. Nggak lihat antriannya panjang,” Kasir berbicara ketus.
“Maaf Dek, biar saya yang bayar semua belanjaan kakak ini. Berapa total semuanya? Sekalian nanti bayar dengan belanjaan saya”
“Baik, pak,” jawab kasir, ramah.
Rania tersentak, ia merasa sangat malu. Sesaat, ia tidak berani menatap pria yang sudah membayar semua belanjaannya. Rania maju beberapa langkah untuk memberi ruang pada pria itu agar bisa berdiri di samping meja kasir.