002:RAIN-I LOVE YOU

1188 Kata
“Bee?” “Kenapa sayang?” “Kalau aku kuliah lagi gimana?” “Boleh.” Syukurlah, bukan urusan cerai yang Zia bicarakan. “Ngambil di Depok boleh?” Sendok gue yang berisi suapan nasi kari ngerem di depan mulut. Kalau gue balas agar Zia ambil master di Bandung aja, bakalan salah ngga tuh? “Kerjaan kamu di sini gimana?” Kayaknya pertanyaan ini lebih aman. Setelah menikah, Zia memang stand-by di AirlanggaCode cabang Bandung. Ngga lagi dampingin Papa Jagat – ayahnya Zia – di kantor pusat. Alasannya, biar ngga jauh-jauh dari gue. Nah kalau ujung-ujungnya Zia mau ambil kuliah di JaBoDeTaBek, berarti weekdays Zia di Jakarta dong? Masa lagi caos begini malah LDM-an? Apa ngga makin kacau pernikahan gue nanti? By the way, kami menikah satu bulan setelah masa internship gue selesai. Berhubung waktu itu gue dalam idle time sebelum daftar PPDS, gue punya waktu sekitar tiga bulan untuk full liburan plus dampingin Zia ke mana-mana. Dan saat-saat itu memang rasanya seperti bulan madu setiap hari. “Kalau dibolehin Papa, aku bisa balik kerja di head office. Lagian kalau aku lihat jadwal kuliahnya, tiap hari tuh. Jadi pengangguran dulu berarti. Kamu keberatan?” tanggap Zia. “Soal?” “Aku pengangguran.” Kok dangkal banget sih pikiran Zia, apa karena lagi marah? “Aku lebih concern soal kamu tiba-tiba mau kuliah di Depok karena berusaha jauh dari aku?” balas gue. “Kok kamu mikirnya gitu?” tanyanya bingung. “Pertanyaan yang sama, sayang. Kok bisa kamu berpikiran kalau aku keberatan menafkahi kamu karena kamu pengangguran?” Zia mendengus keras. “Kalau aku memang butuh jarak dengan kamu gimana, bee?” tanya Zia lagi. “Masalah apa pun di pernikahan kita, ngga boleh keluar dari rumah ini. Harusnya begitu, sayang. Kita selesaikan di sini, bukannya malah saling menjauhi.” Benar kan yang gue bilang? “Kamu dari tadi manggil sayang terus ke aku?” “Kan kamu bilang ngga suka lagi dipanggil bear.” “Hmm. Soalnya, belakangan panggilan itu ngingatin aku ke masa lalu.” Kening gue mengerut sebagai respon atas jawaban Zia barusan. Apa hubungannya bear dan masa lalu? “Soal apa?” “Ada deh.” Gue mendengus. Gue itu paling bete kalau ada orang yang gue tanya jawabnya ‘ada deh.’ Itu manusia langsung gue tandain sebagai orang yang nyebelin. Tapi kan Zia istri gue, masa gue memberlakukan hal yang sama? Sendok dan garpu gue letakkan di piring yang baru setengah isinya pindah ke dalam perut. Mungkin karena emosi, dentingnya terdengar cukup kencang. “Kok marah?” tanya Zia. “Ngga,” tanggap gue seraya beranjak ke kabinet dapur, ngambil food container. Ambyar selera makan gue. Sisa makanan gue pindahkan ke wadah kotak tersebut, sementara Zia lekat memerhatikan setiap gerakan gue. “Iya kamu marah,” ujar Zia lagi. “I love you, Zia. Aku ngga marah,” balas gue. Kata Papi, “kalau lagi kesal sama pasangan, bilang I love you sesering mungkin, peluk istri selama mungkin, banyak istighfar pas ngerasa ngga paham dengan isi pikirannya. Pantang dibalas dengan mencak-mencak apalagi ngebentak dan main tangan!” Gue ingat, dan gue nurut, karena gue kepingin rumah tangga gue langgeng selamanya. “Kamu tau ngga sih arti dari I love you? Secara harfiah!” Tuh, dingin banget coba nada suara Zia. Kayak gue tuh tipe cowok pengumbar saranghae. “Ada jawaban tertentu yang ingin kamu dengar dari aku?” balas gue. Ngga paham lagi ngadepin rajukannya yang bikin hati gue kecabik-cabik dari semalam. “Kok malah balik nanya? Jangan-jangan emang ngga pernah paham ya?” Gue mendengus, menutup mata untuk sesaat. Sabar, Rain! “I love you menurut Ahmad Rain Evano Purwadinata adalah saat di mana aku berani memutuskan untuk hidup dengan seseorang – yang entah bagaimana hatiku memilih dia. I love you adalah kala hatiku remuk, aku tetap ngga bisa mengutamakan ego. I love you adalah saat aku bertekad untuk terus memperjuangkan perempuan yang aku nikahi.” Gue beranjak lagi, meletakkan sisa sarapan ke dalam kulkas. “Kamu pikir, aku suka sembarangan bilang I love you? Faktanya, di luar Mami dan Teteh, kamu satu-satunya perempuan yang membuatku berani mengatakan I love you.” Kini Zia yang mendengus, ia memalingkan wajahnya agar gue ngga menyadari jika ia meneteskan air mata. Well, itu percuma. Gue lalu mendekatinya lagi, memutar kursi Zia, bersimpuh di hadapannya. Air mata gue turut menetes. “Aku ngga suka lihat kamu nangis,” lirih Zia. Sengau. “Do you love me, sayang?” “Kamu minta nyawaku pun, aku ngga keberatan untuk ngasih, bee,” jawabnya. “Terus, kenapa kamu mau menjauhi aku?” tanya gue lagi. “Aku takut kamu ngga bahagia sama aku.” “Aku bahagia. Sangat, Zia. Menikah dan hidup dengan kamu adalah keputusan terbaik yang pernah aku buat,” jawab gue. Zia menangkup wajah gue. Rahang gue yang masih ditumbuhi rambut-rambut halus ia usap lembut. Sementara titik pandangnya, jatuh di bibir gue. Tanpa ragu, gue menyambar bibirnya, mengajak Zia berbalas ciuman. “Jangan ngomongin cerai lagi ya, Zi?” pinta gue setelah ciuman kami usai. “Aku ngga tau apa yang membuat kamu sedih beberapa minggu terakhir. Mungkin awal mulanya sudah lebih lama dari itu, aku aja yang baru ngeh. Aku minta maaf ya sayang?” “Memangnya kamu ngerasa ngelakuin kesalahan?” “Zi … kesalahan itu ada empat, ada yang disengaja, ada yang ngga sengaja, ada yang disadari, dan ada yang ngga disadari. Yang mana pun itu, aku minta maaf. Karena, aku pasti melakukan kesalahan. Kamu ngga mungkin sesakit ini kalau bukan karena aku kan, sayang?” ujar gue lagi. Zia mendengus. Tak ada senyum di wajahnya. Pun tak ada jawaban apakah gue dimaafkan. Namun, ia menunduk, mempertemukan bibir kami kembali. Sebentar saja, ngga selama sebelumnya. “Kalau misalnya … ada seseorang yang juga mencintai kamu sebesar cintaku? Dan ternyata, dia lebih baik dari aku dalam hal apa pun? Apa yang akan kamu lakukan, bee?” “Aku akan tetap mencintai kamu,” jawab gue ngga pakai mikir. Lugas, dan gue rasa cukup tegas. “Semisal, aku tetap merasa kalah? Dan bersama kamu justru terasa menyakitkan?” “Apa yang bikin kamu merasa kalah? Kamu punya segalanya Zia. Kamu sempurna sebagai seorang perempuan. Ngga ada alasan buat aku berpaling dan mengkhianati janjiku sebagai suamimu.” “Tapi, bisa aja kamu juga mencintai dia. Mungkin kamu belum sadar. Atau, kamu sekedar merasa berkewajiban mempertahankan pernikahan kita.” “Memang nyatanya begitu kan? Sebagai kepala keluarga, sebagai suami, dan sebagai seorang laki-laki yang sangat mencintai kamu – aku harus menjaga pernikahan kita. Itu bukan sekedar!” Zia terdiam, menunduk dalam. Gantian gue yang menangkup wajah cantiknya, memaksanya menatap gue. “Sayang, take your time kalau memang kamu belum siap bilang ke aku ada masalah apa. Ngga apa-apa, Zia. Kapan pun, aku bersedia mendengar. Tapi, aku mohon … jangan pernah berpikir untuk mengakhiri pernikahan kita.” “Bee?” “Zia … please.” “Jawab pertanyaanku ini dengan jujur.” “Aku ngga mau cerai, Zia! Aku ngga akan pernah menceraikan kamu!” “Sebelum kita menikah, berapa kali kamu merasa benar-benar jatuh cinta? Dan apakah, semua perasaan itu sudah selesai? Benar-benar usai?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN