“Gue mencintai dia, Zi. Kita mencintai laki-laki yang sama. Gue punya alasan kenapa gue memutus kontak dengan Rain.”
“Rain suami gue!”
“Karena gue menghilang. Gue yang selalu berusaha mencegahnya mengutarakan perasaan. Gue cinta pertamanya!”
“Lo gila?”
“Iya, gue gila! Lo ngga tau kan gimana usaha gue untuk bisa kembali ke sini? Demi Rain!”
“Jangan ganggu suami gue!”
“I don’t care! Gue cukup yakin Rain akan memilih gue. Sedari awal, gue yang dia cintai!”
Pukul empat pagi. Aku terbangun dalam rengkuhannya. Dengan keringat yang bercucuran, meski AC menyala. Mimpi buruk itu, sudah dua minggu terakhir menghantui.
Apa hanya sekedar mimpi?
Tidak! Gadis dalam mimpiku benar-benar mengatakan omong kosong itu. Maksudku, awalnya kusangka hanyalah omong kosong. Namun, semakin hari, entah kenapa aku merasa jika itulah yang akan terjadi.
Ia benar, ia adalah cinta pertama bagi suamiku. Ayahnya keturunan Amerika Serikat, ibunya asli Pasundan. Kecantikan yang ia miliki tak usah diragukan lagi. Tubuhnya pun indah proporsional. Ia yang dulu selalu membuat Rain terus melirik, memerhatikan, dan mendekat. Sementara aku ... bagaikan langit dan comberan jika disandingkan dengan perempuan itu.
Aku menoleh, mendapati pria bernama lengkap Ahmad Rain Evano – yang kami perebutkan – terlelap dalam.
Kuangkat tanganya dari tubuhku, kukecup lembut, kemudian kuletakkan sepelan mungkin.
Entah apa jadinya aku jika berpisah dengannya. Rasanya aku ingin pergi sejauh mungkin agar tak perlu lagi bertemu dengannya.
Alarmku belum bergetar. Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku selalu memiliki waktu untuk menatap b4jingan yang berstatus suamiku ini. Ya, itupun tak salah, tentang perasaanku padanya, tentu saja … aku teramat mencintainya.
Lantas kenapa aku bisa menyebutnya b4jingan? Itu karena aku benci caranya memperlakukan perempuan itu. Rain bilang ia mencintaiku, namun kenapa ia masih sebegitu ramahnya dengan orang dari masa lalunya? Bagi orang lain mungkin itu hal yang biasa, namun bagiku itu adalah perilaku bajing4n. Betul, aku terbakar rasa cemburuku sendiri tanpa peduli dengan apa yang sebenarnya Rain hadapi.
Begitu ponselku bergetar, perlahan aku turun dari ranjang. Kukenakan kimonoku, barulah kutinggalkan kamar kami, pindah ke kamar sebelah untuk membersihkan diri dan memulai rutinitas pagi.
Beres mandi, aku duduk di depan meja rias. Mataku memandang gawai, berkaca-kaca lagi. Aku membuka salah satu aplikasi sosial media, dan kembali ke profil baru perempuan itu. Sekilas, tak akan ada yang menyadari kejanggalan di halaman ini. Namun aku tau pasti, foto-foto itu ia posting untuk membuatku merasa kalah. Rain dan teman sejawat serta koleganya, termasuk dia, siapa yang bisa memastikan jika hanya aku di hati suamiku?
Puas menyiksa diri, aku melangkah keluar kamar, menuju dapur. Meski pernikahanku terancam, bukan berarti aku malas-malasan dan menelantarkan suamiku. Bahan-bahan makanan yang sudah kusisihkan semalam aku pindahkan ke meja dapur, bersiap memasak.
“Zia? Bear?”
Aku mendengus. Kugeser titik pandang ke jam digital di ruangan ini, pukul setengah lima pagi. Kompor kumatikan agar butter yang sudah terlajur mencair tak menjadi gosong.
“ZIA!” Ia panik.
‘Here we go again, Zi.’
“Zi—"
Derap langkahnya semakin jelas mendekat. Dari balik punggungku, ia mengambil pisau yang tengah kugenggam, menjauhkan benda tajam tersebut dari jangkauan. Rain lalu memelukku.
“Mimpi buruk lagi?” tanyaku.
“Even worse.”
“Kenapa?” Aku berusaha mendorongnya, melepaskan diri. Dan selalu sama, selalu gagal. Mungkin bukan rengkuhannya yang erat, tapi aku yang tak pernah bersungguh-sungguh menjauhinya.
“Kamu bangun duluan, kupikir kamu pergi.”
“Tiap pagi kan begitu. Aku memang pergi. Ke dapur. Masak sarapan buat kamu, bee.” Seperti cinta aku yang hanya buat kamu sedari dulu. Sayangnya, kamu ngga begitu ke aku.
“Aku bantu, biar aku juga masakin sarapan buat kamu. Cintaku.”
Aku memutar bola mataku. Rain terkekeh.
Well, meski tak kubantah. Biarlah ia mendustaiku. Aku masih ingin menikmati cintanya, sebelum perempuan itu benar-benar berhasil membuka kembali kisah mereka. Sial sekali memang. Tau jika akan dicampakkan justru membuat perasaanku semakin buruk.
“Weekend ini aku libur,” ujarnya seraya melongkarkan rengkuhan, menatapku lekat. “Kamu kepingin ke mana?”
Pengadilan Agama aja, bee. Mungkin lebih cepat kita berpisah, akan lebih mudah untukku menata hati. Weekend PA buka ngga ya?
“Bear?” Suaranya memecah lamunanku.
“Kamu mandi gih. Nanti subuhnya keburu habis lho,” ujarku tanpa menatapnya. Justru sibuk memerhatikan ujung telunjukku yang mengukir bentuk hati di dadanya.
“I love you too,” ujarnya lagi.
Aku mendengus sekaligus tersenyum singkat. “Sampai kapan?”
“Sepanjang hidupku. Nanti kita lanjut lagi di surga,” jawabnya sumringah. Sebenarnya Rain ini tau ngga sih mana senyum bahagiaku dan mana senyum frustasi?
Dasar pembohong!
Rain menunduk, mensejajarkan titik pandang kami. Matanya indah. Alisnya, hidungnya, bibirnya, bentuk wajahnya pun sempurna. Bagiku. B4jingan ini memang mengerikan. Tau kenapa demikian? Karena selalu saja aku yang kalah, terpesona.
“Mimpi apa sih aku bisa punya istri secantik ini?”
“Mimpi kejatuhan bulan!” ketusku. Rain malah tergelak.
Melihatku datar saja, ia berhenti tertawa dan berdehem sekali. Tatapannya lekat padaku, ibu jarinya mengelus pipiku lembut.
Ya Allah, jika ini semua benar kebohongan, jika cintanya padaku tak nyata atau hanya sekedar pengisi hati yang kosong, bisakah biarkan selamanya seperti itu? Aku sungguh takut menjalani hidupku tanpa dia.
“Jangan nangis, sayang. Bilang apa salahku, biar aku perbaiki.”
Aku takut kamu pergi, memilih dia. Dan kurasa akan demikian, seperti dulu.
Ruang di antara wajah kami ia kikis. Sapuan hembusan udara hangat menyapa wajahku, membuat mata ini otomatis terpejam. Dan saat bibir kami bertemu, lembut ciumannya membuatku tersihir.
“Aku bisa bilang I love you seratus kali hari ini asalkan kamu ngga sedih lagi.”
Aku menggebuk lengannya pelan.
Rain terkekeh. ‘Cup!’
“Istriku jutek!” ujarnya kemudian begitu aku memberengut saat ciuman kami ia usaikan.
Kamu brengs3k!
“Aku brengs3k?”
“Ih siapa yang bilang gitu?” sangkalku. Memangnya tadi aku nyeplos? Tidak bukan?
“Ekspresi kamu kayak bilang gitu,” ungkapnya dengan kening yang mengkerut.
“Terserah kamulah bee.”
“Kita jadi ganti panggilan sayang?”
“Hmm.”
“Apa?”
“Bed and breakfast!” jawabku asal.
Rain justru tergelak. “Ngga maulah, aku ngga suka. Ngga cocok juga. Masa manggil kamu bed?”
“Kalau bear cocok ya?”
“Pertama, aku ingin tekankan. Just like your berties said, kamu dipanggil bear bukan karena fisik. Lagipula ngga semua bear badannya besar. Tapi, karena kamu peluk-able, suka meluk, dan enak dipeluk. Terus, nempelin kamu itu rasanya nyaman luar biasa. Also, kamu juga menenangkan.”
Sounds like bullshit! Karena kamu yang ngomong.
“Kamu mau ngomong sebanyak apa lagi sih? Habis lho subuhnya,” ujarku tanpa menanggapi apa yang ia katakan sebelumnya.
Rain menatap penunjuk waktu, lalu mengangguk-angguk.
“Kamu sudah shalat?” tanyanya kemudian.
“Belum. Tadinya mau bikin kari dulu. Malah kamu ganggu,” omelku lagi.
“Hati kamu kuganggu?”
Hati aku kamu genggam, bee.
“Iya! Udah tau pakek nanya!” ketusku.
“Ya sudah, aku mandi dulu ya?” ujarnya sembari terkekeh. “Tunggu aku di mushola, kita subuhan bareng, habis itu aku bantu kamu masak.”
“Bawel! Gih sana buruan.”
“I love you, bear.”
“Hmm.”
I love you too, bee … in happiness and in sorrow.
Ya Allah, rasanya aku begitu ingin memutar waktu. Tak mengenalnya sedari awal, pun tak jatuh cinta padanya.