Paksaan Kai

1272 Kata
Terbangun karena terpaan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar yang tidak pernah tertutup. Safira tersentak kaget sebab dia terbangun bukan di kamarnya, melainkan... "Ini ...?" Dia usap kasar wajahnya yang terlihat kesal sekaligus menyesal. "Bisa-bisanya aku ketiduran di sini, ck!" Kecerobohan itu tak mungkin terjadi jika saja Safira tidak menuruti nalurinya sebagai sesama manusia. Semalam, dia pikir Kai akan bertindak sama seperti yang sudah-sudah. Dia kira Kai akan kembali melecehkannya. Namun, semua pikiran buruk tersebut musnah ketika tiba-tiba Kai jatuh pingsan tepat berada di pelukannya. Safira tentu panik sebab rupa-rupanya, calon adik iparnya itu demam tinggi. Alhasil, setelah menimbang-nimbang keputusan cukup lama, Safira memilih mengesampingkan gengsi serta kekesalannya untuk sementara, demi menyelamatkan nyawa seseorang yang telah membuatnya susah selama tiga bulan terakhir ini. "Ck, aku harus buru-buru pulang. Mana hapeku? Jam berapa sekarang?" Safira beranjak dari kasur, dan mencari-cari keberadaan ponselnya. Seingatnya, semalam dia tidak berada di kamar ini, melainkan di ruang tamu. "Pasti hapeku di sana." Bergerak cepat karena merasa hari sudah sangat terlalu siang, setengah tergesa-gesa Safira melangkah ke ruang tamu. Aroma masakan langsung tercium di hidung Safira saat melewati area dapur. Maniknya hanya melirik sekilas ke arah pemuda bertato yang hanya memakai celana bokser pendek sedang berdiri di depan kompor. 'Apa dia lagi masak?' batin Safira sambil mengedikkan bahu tak acuh. Dia memilih berjalan ke ruang tamu untuk mengambil ponselnya. Kai yang sedang merebus pasta seketika menoleh begitu mendengar suara langkah kaki seseorang. Senyum samar tersungging di bibirnya saat melihat Safira tengah berada di ruang tamu. Dia lalu lekas meniriskan pasta yang telah matang, dan memasukkan ke penggorengan yang sudah terdapat bumbu. Mengaduknya sebentar supaya tercampur sempurna, baru setelah itu dia mematikan kompor. Spaghetti yang sudah matang itu segera dipindahkan ke piring yang sebelumnya sudah dipersiapkan. Kai menatanya dengan luwes, setelahnya membereskan meja kitchen island dengan tisu dapur, lalu kompor dan peralatan bekasnya memasak. Begitu semuanya beres, Kai membawa dua piring berisi spaghetti ke meja makan. Maniknya memerhatikan Safira yang terlihat kesal di sofa. Perempuan itu seperti tengah mengomel sendiri. "Hapeku kenapa mati, sih?" cicit Safira menghela napas berat berkali-kali seraya menatap miris benda pipih pemberian Arkana yang ternyata kehabisan daya. "Gimana kalo Mas Arkana ngehubungin aku? Mana udah siang lagi!" Helaan napas panjang berembus kasar dari hidung Safira. Menyandarkan punggung serta kepalanya di sofa, Safira memijat pelipis yang terasa berdenyut. Kai menghampiri Safira. "Fir." "Apa?" Safira menyahut ketus, tanpa menatap Kai yang berdiri di sampingnya. Perempuan itu sengaja memejamkan matanya supaya tidak melihat apa yang tidak boleh dia pandang. Tubuh Kai yang setengah telanjang dan terdapat beberapa ukiran tato cukup menggoda bagi siapapun yang memandangnya. Tak terkecuali Safira. "Sarapan dulu," titah Kai. "Gak mau. Aku mau pulang aja," sahut Safira. Menghela napas dalam-dalam, dia lalu menyalahkan Kai atas apa yang terjadi pada dirinya. "Gara-gara kamu, aku jadi ketiduran di sini. Terus kesiangan." Kai terdiam tidak membantah seperti biasanya. Dia rasa, dia harus berterima kasih kepada perempuan ini. Karena kalau tidak ada Safira, mungkin dia tidak akan bisa berdiri dan terlihat sehat seperti sekarang. Waktu sadar Kai cukup terkejut ketika mendapati dirinya berbaring di sofa dengan kompresan handuk di dahi. Lalu, yang lebih mengejutkannya lagi, ada Safira yang tidur dengan posisi terduduk di sisi lain. Tepatnya pukul empat pagi, Kai memindahkan Safira ke kamar yang biasa digunakan perempuan itu ketika sedang beberes di sini. Kai juga sengaja tidak mengganggu mau pun mengusik tidur Safira. Karena sudah terlalu siang, Safira tak mau membuang waktu lagi. Dia harus pulang agar tidak terlambat berangkat bekerja. Jika tidak mengingat Arkana yang ingin menjemput, maka Safira tidak akan sekesal ini. Beranjak dari sofa, Safira berniat untuk ke kamar mandi lebih dulu. Mencuci mukanya agar tidak terlihat aneh saat nanti di perjalanan pulang. Mengabaikan Kai yang betah berdiri sambil melamun. Pemuda itu baru menyadari jika Safira sudah tidak berada di tempatnya ketika mendengar pintu kamar mandi ditutup. Kai lantas kembali ke dapur, dan duduk di kursi meja makan sambil menunggu Safira selesai dengan urusannya di kamar mandi. Beberapa saat kemudian Safira keluar dari kamar mandi dalam keadaan wajah sudah segar. Manik Safira hanya melirik sinis pada Kai yang duduk dengan bersedekap. Ketika akan melanjutkan langkahnya menuju ruang tamu, Kai menginterupsinya dengan perkataan yang terdengar sangat langka. "Makasih karena udah ngerawat gue semaleman." Kai berbicara dengan sangat lembut serta raut wajah berbeda. Ucapan terima kasih tersebut sempat membuat langkah Safira berhenti sebentar, dan menatap Kai yang duduk dengan santai. Alih-alih menanggapi, Safira hanya mengerutkan kening serta alisnya sesaat. Lalu, dia kembali melanjutkan langkahnya ke ruang tamu untuk mengambil tas. Kesal karena ungkapan terima kasihnya tak digubris, Kai lalu bangkit dan menghampiri Safira. "Elu gak denger tadi gue ngomong apa, Fir?" tanyanya. Sudut mata Safira melirik sekilas lalu menyahut, "Denger, kok." Dia menyampirkan tali tas ke pundaknya, bersiap pergi. "Terus?" "Terus apa?" tanya Safira, memicingkan mata sambil merapikan rambut yang sedikit berantakan. Dia melepas ikatan rambutnya, lalu menyisirnya dengan kelima jari-jarinya. Kai yang memerhatikan itu merasa semakin kesal karena seolah-olah Safira sengaja mengacuhkannya. "Elu gak nanggepin rasa terima kasih gue, Fir. Basa-basi apa, kek!" Safira mencibir dengan gerakan mulut tanpa bersuara, sambil mengikat rambutnya kembali. Dia pun berkata, "Emang udah seharusnya 'kan kamu bilang begitu. Aku udah capek-capek semaleman ngompres kamu. Malah sampe ketiduran di sini, ck!" Kai berdecih, lalu melangkah mendekati Safira yang spontan mundur. Dari tatapannya terlihat jelas jika pemuda itu masih begitu kesal dengan sikap Safira. "Gue juga gak minta elu buat ngerawat gue. Semalem elu bisa aja 'kan tinggalin gue. Terus, ngapain lu susah-susah ngurusin gue?" selidik Kai memancing Safira supaya mau membuka mulut untuk berdebat lagi dengannya. Pikiran Kai masih tertuju pada perlakuan Safira kepadanya. Bukankah seharusnya perempuan ini bisa langsung pergi saja semalam? Lalu, untuk apa Safira repot-repot merawatnya? Perkataan Kai membuat Safira sampai menggeleng berkali-kali. Dia sungguh tidak percaya dengan apa yang dilontarkan oleh pemuda bertindik itu. Belum juga ada satu menit Kai terlihat lembut. Tapi, tiba-tiba kelembutan itu sudah berubah lagi. Sifat aslinya muncul kembali. "Aku cuma gak mau disalahin kalo sampe kamu kenapa-kenapa. Karena kamu juga pingsan di depanku. Aku juga bukan kamu yang gak punya rasa empati sama orang lain. Jadi, udah jelas sekarang? Ngerti? Udah, aku mah pulang!" "Fir!" Kai malah menahan siku Safira. "Apa lagi? Aku mau pulang. Mau kerja. Ini udah siang. Nanti Mas Arkana mau jemput ke rumahku," kesal Safira karena Kai tidak pernah bisa mengerti apa yang dia katakan. "Kakakmu nanti jemput aku, Kai. Kalo aku gak ada di rumah, nanti dia malah curiga. Coba kamu pikir, apa yang bakal Mas Arkana pikirin soal aku. Seandainya dia tau aku gak sengaja ketiduran di apartemen kamu, hem?" "Biarin aja dia sekalian tau kalo calon istrinya—" "Kai! Kamu bisa, gak, sih, gak ungkit masalah kerjaan sampingan aku?" Safira mulai geram. Dia berusaha menyingkirkan tangan Kai dari sikunya, tetapi tidak berhasil. "Kamu bisanya dikit-dikit ngungkit! Dikit-dikit ngungkit!" "Elu boleh pergi tapi kalo udah makan itu." Telunjuk Kai mengacung ke arah meja dapur. Safira berdecak. "Aku gak mau!" "Terserah. Elu tinggal pilih. Mau makan spaghetti itu atau elu tetep tinggal di sini sampe entar malem." "Aku gak yakin sama rasanya." "Elu bisa coba dulu." "Pasti kamu taruh racun 'kan?" Manik Safira memicing tajam. Kai berdecak, menggeleng lalu tertawa sarkas. "Gue gak pengen masuk penjara cuma gara-gara ngebunuh cewek modelan lu!" "Maksudnya? Modelan gimana, nih? Gini-gini juga kakakmu cinta sama aku." Safira tak terima dengan cibiran Kai yang menganggapnya perempuan sembarangan. Bola mata Kai berputar malas. Selain cerewet, Safira juga mempunyai tingkat kepercayaan diri yang begitu tinggi. Tanpa babibu Kai langsung menyeret Safira ke dapur. "Berisik! Pokoknya elu gak boleh pulang sebelum makan. Gue gak mau buang-buang makanan!" Kaki Safira sampai terseok-seok karena Kai terus menyeretnya. "Kai! Kamu suka banget maksa! Ngeselin! Kai!" _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN