Ada yang salah?

1410 Kata
"Kamu beneran gak bisa bawa pulang Kai, Ar? Papi pengen ketemu sama dia sebelum berangkat ke Belanda." Papinya Arkana bertanya dengan raut penuh harap. Mata tuanya menyiratkan sebuah kerinduan berbalut penyesalan yang begitu mendalam. Tubuh yang dulu gagah dan tegap kini hanya bisa berbaring di ranjang pesakitan akibat sakit yang dideritanya. Semenjak divonis mengidap gagal jantung dan diabetes setahun belakangan, Barack tak lagi bisa bersikap semena-mena seperti dulu. Keangkuhannya terkikis oleh usia serta penyakit. Arkana selaku putra pertama hanya mampu menggeleng lemah. Sebagai seorang anak dia tentu ingin mewujudkan keinginan papinya. Walaupun, orangtua ini telah banyak melakukan kesalahan di masa lampau. "Arkana udah berusaha hubungi Kai, Pi. Tapi, hapenya gak aktif," ucap Arkana dengan berat hati. Dia genggam tangan Tuan Barack, lalu mengusapnya lembut. "Nanti sore biar Arkana coba samperin ke apartemennya lagi." Setidaknya, hanya ini yang bisa Arkana upayakan. Kai tetap adiknya meski pemuda itu lahir dari rahim yang berbeda. Tuan Barack mengangguk lemah, tetapi binar pada sepasang maniknya mengisyaratkan betapa dia sangat berharap. Dia hanya ingin menebus kesalahannya pada putra keduanya itu. Anak yang dulu kehadirannya dia sesali. Ruth—istri ke dua Barack yakni maminya Kai mengambil tisu, lalu mengusap cairan bening yang mengalir di pelipis sang suami. "Mas harus yakin, kalau Kai pasti mau maafin, Mas. Nanti ... Biar aku bantu bujuk lagi," ucapnya menghibur suaminya. "Aku sungguh-sungguh ingin meminta maaf sama dia, Ruth. Aku ingin dia kembali ke rumah ini." Air mata semakin mengucur deras di pipi Barack. Pria itu tak dapat lagi membendung kesedihannya. Tak tega melihat papinya tak berdaya seperti itu, Arkana langsung memeluk. Mengusap punggung renta Barack yang berguncang akibat isakan. "Udah, Pi. Udah. Papi gak boleh banyak pikiran. Papi harus berpikiran positif. Urusan Kai, biar aku yang urus." "Papi juga mau minta sama kamu, Ar. Selama ini kamu sudah kerepotan mengurus perusahaan dan bisnis keluarga. Kamu sampai harus menunda pernikahanmu dengan Safira gara-gara papa yang penyakitan ini." Isakan Barack makin menjadi. Safira yang kebetulan ada di kamar itu pun turut merasakan kesedihan sang calon mertua. Perempuan itu sudah berada di sana sejak pagi atas permintaan Arkana. Tak pernah dia menduga jika permasalahan dalam keluarga Arkana terlalu rumit dan pelik. Barack menyudahi kesedihannya lantas memanggil calon istri Arkana. "Safira." "I-iya, Pi," sahut Safira sambil menyeka sudut matanya yang berair dengan tisu. Barack tersenyum samar, lalu menatap Arkana sesaat. Dia lantas menatap Safira, dan berkata, "Maaf, ya ... Pernikahan kalian harus tertunda karena papi." "Papi ngomong apa? Safira gak masalah, Pi. Kesehatan Papi yang terpenting untuk saat ini. Masalah pernikahan, itu bisa ditunda sampai Papi bener-bener sembuh. Jadi, nanti waktu Mas Arkana nikah sama aku, Papi bisa ikut ngerayain." Safira menatap Arkana, lalu memintanya untuk menyahut, "Bener 'kan, Mas?" Arkana spontan mengangguk, dan menggenggam tangan Safira. Dia sangat berterima kasih sekali pada perempuan ini karena sudah mau mengerti keadaannya. "Tuh, Pi. Safira gak kenapa-napa. Jadi, Papi gak perlu merasa bersalah. Lusa kita bisa berangkat ke Belanda. Oke, Pi?" ucap Arkana, mengusap punggung tangan Barack yang terdapat selang infus. Respon yang diberikan Barack cuma seulas senyum. Sedikit merasa lega, karena Safira mau bersabar dan selalu mendukung. Setelah percakapan yang mengharu biru itu, Arkana menepati janjinya. Dengan mengajak serta Safira, Arkana hendak mendatangi apartemen adiknya. Dalam perjalanan, keduanya kompak tak saling bicara satu sama lain. Dan Safira memaklumi akan hal itu. Namun, kebisuan yang ada di dalam mobil tak bertahan lama sebab Arkana memulai percakapan terlebih dahulu. "Makasih, Fir. Kamu ... Udah mau ngerti keadaanku dan kondisi Papi." Tepat di bawah lampu merah, sedan warna hitam itu berhenti. Lalu Arkana menoleh ke samping, menatap perempuan pujaannya yang tersenyum. Dia kecup punggung tangan Safira begitu lama. Arkana menyambung perkataannya lagi, "Sebulan kita gak bisa ketemuan. Aku pasti bakalan kangen banget sama kamu." "Kita 'kan masih bisa teleponan, Mas," ucap Safira, yang tak mau menambah beban pikiran Arkana. "Kamu gak usah mikirin aku, Mas. Kamu fokus sama penyembuhan Papi aja." Dia usap-usap lengan Arkana. "Kamu memang perempuan paling ngertiin aku. Sekali lagi makasih, Sayang." Rasanya tidak cukup jika hanya satu kecupan di punggung tangan. Arkana memberikan satu kecupan lagi kening Safira. "Sama-sama, Mas. Pokoknya aku pasti bakal dukung kamu terus." Lantas, Arkana membawa sedan warna hitam itu kembali melaju dengan kecepatan sedang begitu lampu lalu lintas berubah hijau. Safira menyandarkan kepalanya di pundak tunangannya dengan perasaan bersalah sekaligus resah. 'Aku sebenernya males ikut ke apartemennya Kai. Tapi mau gimana lagi. Kalo aku nolak, Mas Arkana pasti curiga. Semoga aja Kai gak ada. Jadi aku gak perlu liat mukanya.' Batin Safira. _ Rupanya, Tuhan belum mengabulkan doa Safira. Malam ini Kai berada di apartemennya. Tetapi, calon adik iparnya itu tak sendiri. Ada Eve di sana. Bahkan, gadis yang berprofesi sebagai model majalah dewasa itu tak sungkan menampakkan diri. Safira paling tidak suka dengan keberadaan Eve sebab cara berpakaiannya yang terlalu terbuka. Ditambah dengan adanya bercak kemerahan di tulang selangka dan leher gadis itu. Dia juga tidak buta dan bodoh. Kedua pasangan kekasih itu pasti habis melakukan hal-hal memuakkan. Arkana yang sedari tadi diam kini membuka suara. "Papi mau berobat ke Belanda. Kalo kamu masih peduli, seenggaknya kamu temuin Papi. Lusa kami berangkat." Kai mendengkus, seraya menyilangkan kaki. "Kalo mau berangkat, ya, berangkat aja. Ngapain juga ngasih tau gue," ucapnya tanpa merasa bersalah sama sekali, karena tak menanggapi omongan serius Arkana. "Bukannya gue udah pernah bilang. Gue udah gak ada urusan sama dia. Elu lupa gimana perlakuan dia ke gue dulu?" Setiap membicarakan masa lalu, hati Kai selalu memanas. Luka batin yang disebabkan oleh papinya sampai sekarang masih membekas. Mengenai rasa peduli. Menurutnya, hal tersebut sudah tak berlaku. Ke mana saja Barack selama ini, kenapa baru mengingatnya? ck! "Meskipun begitu. Dia tetap Papi kita. Orangtua kita." Arkana selalu menerima sikap Kai yang satu itu. Dia tidak bisa menyalahkan adik tirinya atas apa yang terjadi. Semua bencana berawal dari papinya. Andai saja dulu papinya mau menerima keberadaan Kai. Mungkin, masalah ini tak akan pernah ada. Dirinya dan Kai bisa hidup akur layaknya saudara. Bisa saling membantu untuk mengurus perusahaan keluarga. "Papi lu doang, kali!" Kai tersenyum kecut, lalu melirik sinis Safira yang sejak tadi hanya diam. "Kalo udah gak ada yang mau diomongin, kalian bisa pergi. Gue banyak urusan." Kai berdiri, lalu diikuti Eve. Safira geram bukan main dengan cara Kai memperlakukan Arkana. Dia memicing sambil bicara dalam hati, 'Orang ini beneran gak punya hati. Gak punya otak. Gak punya pikiran. Bisa-bisanya dia ngusir kakaknya sendiri.' "Sekali aja temuin Papi, Kai." Arkana berdiri, memasang raut memelas. Disusul Safira yang ikut berdiri. "Kasih Papi kesempatan buat nebus kesalahannya. Kamu gak mau 'kan suatu saat menyesal?" imbuhnya. Kai mengangkat bahu tak acuh, lalu berkata, "Satu-satunya penyesalan gue dalam hidup yaitu lahir sebagai anak haram dan jadi bagian dari keluarga Barack. Selain itu gue gak pernah nyesel sama keputusan yang harusnya gue ambil dari dulu." Saat berkata seperti itu, lagi-lagi Kai melirik Safira yang hanya diam sambil menatapnya sinis. Kai yakin, jika sekarang Safira sedang mengumpatnya. Yang bisa dilakukan Arkana ialah menghela panjang napasnya sambil meraup wajah. Jika sudah mulai menyinggung soal masa lalu, Arkana jadi mengingat almarhum maminya. Cukup maminya saja yang menjadi korban keegoisan papinya. Jangan ada lagi korban lainnya. Arkana tidak menginginkan hal tersebut sampai terjadi. "Oke, kalo kamu memang belum bisa maafin Papi. Aku bisa terima. Tapi, jangan sekali-kali kamu bicara kayak gitu lagi. Biar bagaimanapun kamu tetap adikku," ujar Arkana yang spontan mendapat elusan di lengannya. Safira sedang memberi kekuatan untuk calon suaminya agar tidak terlalu bersedih. Menyaksikan sikap Safira pada Arkana yang begitu lembut dan penuh perhatian, justru semakin memantik kemarahan seorang Kai. Entah mengapa, ada rasa tidak terima yang begitu sulit dia jabarkan. Kai menjadi geram. "Terserah lu!" Kibasan tangannya menunjukkan secara terang-terangan jika saat ini Kai tengah mengusir sepasang kekasih memuakkan yang ada di hadapannya itu. "Ayo, Mas. Lebih baik kita pergi aja dari sini. Kayaknya, percuma aja kita ngomong sama orang yang gak punya hati," ajak Safira yang sudah tidak betah dengan sikap Kai. Ingin sekali dia memukul kepala pemuda itu dengan batu atau dengan botol kaca sekeras-kerasnya, supaya pemuda itu segera menyadari kesalahannya. "Bentar, Fir." Arkana menahan kakinya untuk tidak beranjak dari tempatnya berdiri, padahal Safira sudah akan membawanya pergi dari sana. "Kenapa lagi, Mas?" tanya Safira dengan alis menyatu. Arkana tersenyum, menatap bergantian Kai dan Safira. Keberadaan Eve sama sekali tidak dia pedulikan. "Aku cuma mau bilang sama Kai. Selagi aku di Belanda. Aku mau dia yang ngenjagain kamu, Fir." "A-apa? Kai? Kamu minta dia buat jagain aku?" Rasa-rasanya ada yang salah dengan pikiran Arkana kali ini, pikir Safira. "Iya." - bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN