Terjebak!

787 Kata
"Ini uang buat nyicil utang Bapak saya, Pak Danis." Safira menyodorkan beberapa lembar uang di meja kerja Danis hasil keringatnya di Bar ini. Jumlahnya memang tidak banyak. Bahkan tidak ada seperempatnya. Danis mengembalikannya lagi. "Harusnya kamu kasih uang itu ke Kai bukan ke saya. Kan, dia yang lunasin utang-utang kamu. Jadi, mulai sekarang kamu bayarnya ke dia." Sepasang manik Safira terpejam sesaat. Hatinya mengumpat. Dia kesal karena harus berurusan dengan Kai. "Hmm ... Kalo saya titip aja kira-kira bisa, gak, Pak? Saya ...." "Kenapa dititipkan ke saya? Bukannya kamu juga udah tau 'kan apartemen-nya Kai?" Danis melipat tangannya di depan d**a, dengan satu alisnya naik. "Tapi, Pak." Safira menggigit bibir bawahnya. Kemudian berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Baiklah. Saya kasih ke orangnya langsung. Saya permisi, Pak." Dia mengambil uangnya lagi. "Silakan." Danis mengangguk. Safira bergegas berbalik dan keluar dari ruangan Danis. Setelah dari sini, tujuannya adalah apartment Kai. "Ngeselin banget orang itu!" sungutnya. Tepat pukul setengah satu malam Safira menginjakkan kakinya di depan pintu unit apartment Kai. Sebenarnya, bisa saja dia memberikan uang itu besok pagi. Akan tetapi, besok Safira mau izin tidak bersih-bersih dulu dikarenakan dia merasa sangat lelah. "Orangnya ada gak, ya? Apa aku langsung masuk aja? Gimana kalo rame? Aku males sebenernya dateng kemari malem-malem," gumam Safira terlihat malas. Tangan kanannya sudah terangkat hendak menekan kode pascode unit Kai. Namun, dia turunkan lagi. Cukup lama Safira bergelut dengan pemikirannya hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan saja. Toh, sudah terlanjur datang ke sini. "Bodo' ah!" Telunjuk Safira menekan kode pascode dengan lancar sebab deretan angka tersebut sudah dia hapal di luar kepala. Begitu pintu terbuka, Safira melangkahkan kakinya ke dalam. Sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia seperti biasanya. "Kai?" panggil Safira setelah menutup pintunya kembali. "Kai?" Tidak ada jawaban dari pemiliknya. Unit tersebut benar-benar kosong. "Kayaknya gak ada orang. Pergi ke mana, sih?" Langkah Safira terburu-buru, mengecek satu persatu ruangan yang ada. Terkecuali kamar Kai. Berdiri di depan pintu kamar Kai, Safira menghela napas panjang. "Aku penasaran sama ini kamar. Kenapa terus dikunci?" Nekad. Safira mencoba membuka pintu kamar itu dengan kunci yang tak sengaja dia temukan di atas meja kitchen island beberapa saat lalu. "Gak bisa." Safira terlihat putus asa karena tidak bisa menggunakan kunci di tangannya untuk membuka pintu kamar Kai. "Mungkin bukan ini kuncinya." Karena tidak ada Kai di sana, Safira akhirnya memutuskan untuk pergi saja. Mau tidak mau besok dia kembali ke sini. Sebelum pergi, Safira mengembalikan kunci itu pada tempatnya semula. Kemudian karena merasa haus, Safira mengambil botol air mineral di kulkas, dan meminumnya. "Apa aku tunggu aja, ya?" Telunjuk Safira mengetuk-ngetuk botol air minum. "Tungguin bentar, deh. Siapa tau habis ini orangnya dateng." Memilih untuk menunggu, Safira menarik kursi dan mendudukinya. Dia pikir sekalian saja. Sepuluh menit, sampai tiga puluh menit kemudian Kai tak kunjung datang. Safira mulai bosan sekaligus sudah sangat mengantuk. "Udah jam satu. Orangnya gak pulang-pulang, ck! Aku pulang aja, deh!" Dia menutupi mulutnya yang menguap berkali-kali, lalu beranjak dari kursi. Ketika hendak membuka pintu, Safira spontan melangkah mundur karena ada seseorang yang lebih dulu membukanya dari luar. Kai sontak memicing mendapati Safira berada di unitnya. "Elu?" Safira menelan ludah. "K-Kai." Telapak tangannya menjadi dingin melihat Kai dalam keadaan mabuk seperti ini. "Mau ngapain ke sini?" tanya Kai sambil berlalu dari hadapan Safira, menuju dapur. Dia berjalan sempoyongan, dan asal meminum air bekas Safira yang masih ada di meja makan. "Aku mau bayar utangku," sahut Safira sudah berada di balik punggung Kai. Mendengar itu, Kai menyeringai lalu berbalik. "Elu mau bayar utang? Itu artinya elu setuju kalo—" "Bukan itu maksudnya." Safira segera meralat agar Kai tidak salah menduga. Mengambil amplop cokelat dari dalam tasnya, Safira menyodorkannya ke Kai. "Ini. Biasanya aku nyicil ke Pak Danis. Tapi mulai sekarang aku nyicilnya ke kamu. Jumlahnya emang gak banyak." Kai mendengkus, melirik sinis pada amplop yang disodorkan Safira. "Ck, elu itu emang cewek bego! Dikasih yang gampang dan instan malah milih yang susah," sindirnya, lantas berjalan menuju wastafel dan mencuci muka di sana. Safira mengembuskan kasar napasnya. Dia tahu persis apa yang dimaksud Kai. "Terserah kamu mau nerima uang ini apa enggak." Dia meletakkan amplop tersebut di meja. "Aku pulang. Dan ya, besok aku izin gak bersih-bersih dulu. Badanku capek." Meninggalkan tempat itu secepatnya adalah pilihan Safira agar tidak terlalu lama berada di dalam satu ruangan bersama Kai. Namun, nampaknya sang pemilik unit tidak membiarkannya pergi begitu saja. Baru saja hendak membuka pintu, Kai lebih dulu menahan siku Safira. "Fir!" Lalu membalik badan perempuan yang terlihat terkejut itu. "Kai?" Manik Safira melebar nyaris keluar dari cangkangnya. Bagaimana tidak? Jika saat ini Kai mengunci pergerakannya, mendorongnya pada daun pintu dan menghimpitnya. "Lepas, Kai! Kamu mabuk! Aku mau pulang." Kali ini Safira benar-benar terjebak karena ulahnya sendiri. _ bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN