Tiada Hari Tanpa Jualan

1018 Kata
"Kak bagaimana ini, kita akan terlambat masuk sekolahnya." Saiqa mulai panik karena ia merasa matahari sudah begitu meninggi. Azie yang sudah terbiasa mendengarkan ocehan sang adik yang menjadi kewajibannya setiap pagi hanya bisa menghela nafas kasar. Beberapa hari terakhir ini memang siklus matahari mengalami perubahan, baru pukul enam pagi saja cahaya matahari sudah begitu terik seperti di waktu pukul sembilan pagi di hari-hari sebelumnya. Namun gadis kecil yang cerdas itu tak pernah absen untuk mengatakan kalau mereka akan terlambat masuk ke sekolah. "Bisa tidak kamu libur sehari aja gak ngoceh bilang kita akan terlambat. Ini baru jam enam pagi Saiqa, kalau kamu berangkat saja dulu ke sekolah kakak harus mengambil es mambo dulu di Bu Rohmi." Ucap Azie. "Aku ikut kakak saja." Saiqa menolak usulan kakaknya itu. Dua anak sekolah dasar itu pun berangkat menuju rumah Bu Romhi tempat di mana Azie mengambil es mambo untuk di jualnya. Rombong esnya akan di bawa ke sekolah dan akan di bawanya masuk ke kelas ketika jam pelajaran di mulai. "Assalamualaikum Bu saya mau ambil es?" ucap Azie memberi salam untuk pemilik rumah. Saat ini dua bocah itu tengah berdiri di depan pintu rumah Bu Rohmi yang setengah terbuka. "Waalaikumsalam eh kamu Zie, sebentar ya ibu siapkan dulu." Ucap Bu Rohmi yang muncul di pintu lalu kembali masuk untuk memgbilkan Zie rombong es beserta isinya. Tak beberapa lama Bu Rohmi keluar kembali menemui dua anak itu. "Nah isi esnya totalnya lima puluh ribu ya Zie." Ucap Bu Rohmi seraya menyerahkan rombong es berukuran besar itu dan di tangan yang satunya lagi Bu Rohmi tengah membawa keresek kecil berwarna hitam. "Nah yang ini ada sedikit cemilan untuk kalian!" lanjutnya lagi seraya menyodorkan kresek hitam itu pada Saiqa. Sebelum mengambil kresek tersebut Saiqa menoleh ke arah sang kakak yang langsung menganggukkan kepalanya sebagai persetujuan dari Zie agar adiknya itu menerima pemberian Bu Rohmi. "Terimakasih Bu." Ucap Saiqa seraya mengambil kresek itu dari tangan Bu Rohmi. "Sama-sama sayang, sekolah yang rajin ya!" Pesan Bu Rohmi dengan senyum mengembang di wajahnya. Kedua anak itu hanya mengangguk kan kepalanya. "Kalau begitu kami permisi dulu Bu. Terimakasih banyak semoga rezeki ibu terus berlimpah. Assalamualaikum." Pamit Azie seraya mengalami tangan orang tua itu di ikuti oleh adiknya. "Waalaikumsalam, Amiin makasih ya. Hati-hati ya." ***** Dua saudara itu pun kini melanjutkan perjalanan mereka ke sekolah. Jarak dari rumah mereka dan sekolah bisa di bilang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, mereka akan membutuhkan waktu selama dua puluh menit dengan berjalan kaki. Hanya saja Azie membawa rombong es besar beserta isinya itu yang lumayan berat mungkin sekitar 3-4 kg bahkan bisa lebih dari itu, tapi Azie tak pernah mengeluh untuk hal itu dan Saiqa anak yang bisa dikatakan masih balita itu karena usianya belum genap 6 tahun dengan senang hati ikut membantu sang kakak memegangi rombong itu. "Wah kak isinya ternyata roti!" ucap Saiqa dengan wajah sumringah melihat ke dalam kantong kresek hitam yang di bawanya. "Alhamdulillah. Simpan itu untuk makan siang kita nanti ketika jam istirahat!" perintah Azie yang berjalan di samping adik perempuannya itu. Saiqa pun menganggukkan kepalanya seraya kembali mengikat keresek itu. "Kakak butuh bantuan?" ucapnya menawarkan diri. "Tidak perlu, ini tidak terlalu berat." Ucap Azie pada adiknya seraya tangannya yang masih bebas kini meraih lengan adiknya karena mereka harus menyebrang jalan. Berjalan kaki ke sekolah sudah biasa mereka lakukan setiap hari. Dan di sela-sela perjalanan mereka itu lah terkadang mereka mendapatkan pembeli yang membeli es mambo tanpa mereka berteriak-teriak untuk menawarkan jualannya. Jadi mereka akan berangkat pagi-pagi sekali agar tidak terlambat ke sekolah. "Berikan uang saku mu!" pinta Azie ketika mereka sudah sampai di seberang dan di tempat yang lumayan tertutup. Saiqa pun menurut ia menyerahkan uang saku yang diberikan inaq padanya tadi subuh sebanyak tiga ribu rupiah. Azie mengambil satu lembar uang pecahan dua ribu rupiah dari tangan adiknya dan menyisakan uang logam seribu rupiah untuk adiknya itu. "Gunakan itu untuk membeli air minum mu nanti!" pesan Azie seraya memasukkan uangnya ke dalam saku baju seragamnya. "Ya kak." Saiqa hanya mengangguk patuh. Sebelum sampai ke sekolah mereka memang akan mengumpulkan uang saku mereka untuk di tabung nantinya. Bukan mau menyiksa sang adik tapi Azie lebih ke mengajari sang adik untuk berhemat dan belajar menabung sejak dini. Inaq hanya akan memberikan uang saku pada mereka masing-masing sebanyak tiga ribu rupiah saja tanpa memberikan uang untuk menabung di sekolah. Jadi terserah mereka nanti mau di apakan uang itu, tapi Azie mengumpulkan uang sakunya dan uang adiknya untuk di tabung di sekolah atas nama adiknya. Mengingat setiap pagi inaq juga menyediakan sarapan untuk mereka yaitu sepiring nasi dengan sayur atau lauk pauk seadanya untuk mereka makan berdua. Zie hanya akan memakan beberapa suap nasi saja tanpa lauk dan sisanya akan dihabiskan untuk Saiqa karena dia tahu sang adik sedang dalam masa pertumbuhan sehingga ia harus makan yang banyak. Dua anak itu tak pernah mengeluh dengan keadaan, bahkan hampir setiap hari mereka mendapatkan ejekan dari temannya. Seragam mereka saja sudah di tambal di beberapa bagian karena sobek. Sementara kaos kaki mereka sudah bolong di bagian bawahnya. Sedangkan sepatu mereka juga sudah lusuh dan bahkan yang sebelahnya sudah menganga seperti mulut ikan ketika muncul di permukaan tapi selama masih layak untuk di pakai mereka akan tetap menggunakan itu semua. "Kak apa inaq tidak berniat untuk menggantikan sepatu kita?" tanya Saiqa pada sang kakak dengan wajah sedihnya ketika ia menunduk dan melihat sepatunya yang sudah menganga ketika ia mengangkat jari-jari kakinya. "Kita sudah bersyukur masih bisa makan dek. Kamu jangan sedih ya, kalau uang celengan kita sudah cukup nanti kita pergi beli sepatu bekas di pasar." Zie mencoba menghibur adiknya. "Benar kah kak?" Ucap Saiqa dengan mata berbinar. "Ya tentu saja, doa kan kakak mu ini jualan esnya lancar ya!" ucap Azie yang kini memegangi pucuk kepala sang adik. "Pasti kak, nanti aku juga akan membantu kakak jualan seperti biasanya." Ucap Saiqa dengan senyum lebarnya. Azie kembali meraih tangan adiknya dan menggandengnya berjalan bersama. Tak pernah ada kata mengeluh untuk anak lelaki itu, ia selalu kuat dalam diamnya melewati hari-hari menyedihkan mereka. Semangatnya selalu membara, walaupun ia tak secerdas adik perempuannya dalam pelajaran tapi setidaknya ia pintar dalam menghadapi kehidupan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN