“Berhentilah menangisi sesuatu yang sia-sia. Simpan air mata mu untuk hal yang memang perlu di tangisi nantinya!” pesan Zie pada sang adik sembari menepuk bahu Saiqa setelah kepergian inaq.
Sekarang tinggal mereka berdua saja di ruangan sempit itu.
“Kakak ini,” ucap lirih Saiqa dengan manja, dihapusnya air mata yang membasahi kedua pipinya. "Memang sekarang aku nangisnya sia-sia ya kak?" lanjutnya lagi.
"Ya itu namanya sia-sia dek menangis hanya karena kita di marahi, atau menangis karena kita di ejek maupun di hina. Itu benar-benar membuat air mata kita mubasir dek, jangan jadi cengeng untuk hal-hal yang seperti itu kakak tidak suka!" tutur Zie lagi.
"Oh," Saiqa hanya ber-oh ria. "Eh berarti kakak juga gak pernah nangis kalau di marah dulu waktu kakak seumuran ku?" tanya bocah itu lagi.
"Tidak lah, air mata kakak itu sudah habis jadi tidak bisa menangis lagi!" bohong Zie pada adiknya.
"Emang bisa air mata habis kak? Kakak bohong lagi ni!" ucap gadis kecil itu dengan polosnya.
“Sudah lah simpan saja uang ini untuk kehidupan kita nanti agar tetap bertahan dengan nyawa ini!” ucap Zie dengan mengulurkan tangannya yang berisi beberapa lembar uang dua ribuan di genggamannya. Zie selalu menyerahkan uang yang di dapatnya dari hasil jualan es mambo bu Rohmi. Dia mempercayakan Saiqa untuk menyimpan uang mereka. Saiqa mengambil uang dari tangan kakaknya.
"Kata-kata kakak terlalu berlebihan deh. Terlalu dramatis sudah seperti sinetron FTV!" seloroh Saiqa
"Kayak kamu pernah nonton televisi aja sebut, sebut acara sinetron." Zie.
"Nonton lah, kakak aja yang terlalu sibuk cari uang sampai lupa bahagia." Saiqa.
"Eh jangan salah, cari uang itu juga sebuah kebahagiaan dan untuk masa depan. Emang kamu mau terus-terusan tinggal di rumah kecil ini?" Azie.
Kini percakapan dua saudara kecil itu sudah terdengar seperti perdebatan anak remaja yang baru lulus dari bangku SMA.
"Gak sih kak, aku juga ingin punya rumah yang besar seperti teman-teman yang lainnya. Tapi apa iya dengan untung jualan es mambo itu bisa buat beli rumah kak?"
"Oh sangat bisa dek, tapi nanti 30 tahun yang akan datang itu pun kalau beruntung dapat harga tanah seharga beras sekilo."
"Hah lama dong kak, kakak ini mau bodohin Saiqa ya?"
"Lagian kamu cerewet banget nanya mulu kalah-kalah guru BK. Sudah simpan saja uangnya sana!" perintah Zie yang sudah mulai mengantuk. "Kamu yakin menyimpan uang itu di sana selama ini?" lanjut Zie dengan tatapan tak percaya melihat sang adik yang tengah mengeluarkan sebuah celana dalam lusuh dan memasukkan uang mereka ke dalam sebuah celana dalam miliknya.
"Aku selalu menyimpannya di sini. Karena tidak akan ada yang mengambil dan mencurigai kalau celana dalam ini berisi uang." Jawab Saiqa dengan tawa kecilnya karena melihat wajah sang kakak yang menggemaskan dengan ekspresinya itu.
"Jorok banget sih kamu kecil-kecil. Lagian otak mu itu terlalu canggih nanti kalau uangnya jatuh bagaimana?"
"Tenang saja kakak ku sayang, aku sudah menjahit pinggirannya jadi aman. Asal jangan berikan aku uang logam saja, itu akan membuat kebisingan!" Saiqa kini memasukkan kembali celana dalamnya ke dalam tumpukkan pakaiannya di dalam kardus besar itu.
"Terserah kamu lah, kakak mau tidur dulu!" Zie pun berbaring kembali di atas tikar plastik di ruangan yang berukuran kecil itu. Hanya ada satu kasur busa ukuran 90x200 cm di kamar itu yang tergeletak begitu saja di lantai berlapis sarung yang sudah sobek di beberapa bagian. Kasur busa itu pun sudah lepek dan kempes, Zie memberikan Saiqa tidur di sana sedangkan ia tidur di lantai dengan beralaskan tikar plastik.
"Aku juga mau tidur kak. Aku sudah lelah hari ini."
Setelah selesai membereskan tempat penyimpanan uangnya, Saiqa menyusul untuk tidur.
*****
Sementara itu di ruangan yang berbeda, sepasang suami istri sedang berdiskusi tentang anak-anak mereka.
"Bisakah kau berhenti memukul mereka! Harus berapa kali aku katakan pada mu," protes Hasna pada suaminya yang sedang memegangi kepalanya.
"Aku hanya memberikan sedikit hukuman pada mereka karena tidak mendengarkan ku. Tapi lihatlah dirimu bukankah lebih kejam dari ku. Selalu meminta uang hasil kerja keras mereka, bukankah kamu lebih keterlaluan?" Husaen kini menatap tajam pada sang istri.
"Itu karena kamu juga kurang memberikan ku uang untuk belanja sehari-hari. Lagi pula mereka masih kecil, tidak baik buat mereka memegang uang berlebihan bukan. Aku ini ibunya nanti juga uang itu akan aku gunakan buat mereka." Saut Hasna tidak terima suaminya menyalahkan dirinya juga.
"Sudah lah kita ini sama saja, tidak bisa menjadi orang tua yang baik untuk mereka. Aku selalu menyesal setelah memberikan mereka hukuman, bahkan aku sendiri tidak bisa mengobati luka mereka dan berkata maaf pun terasa begitu sulit. Biarkan saja uang yang mereka dapat untuk diri mereka sendiri, jangan pernah lagi meminta uang pada mereka. Seharusnya kita malu pada mereka, Zie dan Saiqa tumbuh begitu cepat dengan pemikiran mereka yang lebih jauh dari kita!" tutur Husaen panjang lebar menyesali tindakannya yang selalu berlebihan karena terbawa emosi.
"Kamu benar, kita malah menjadi kebalikannya. Bertindak kekanakan begini. Bukannya memberikan contoh yang baik malah sebaliknya." Hasna membenarkan ucapan suaminya.
Sungguh mereka bukan orang tua yang kejam, hanya saja kondisi mereka yang sedang dalam keadaan serba kekurangan. Dan masalah hukuman amaq hanya ingin mendisiplinkan kedua buah hatinya itu. Tidak ada niatan yang buruk.
"Pak Maman bilang mereka berjualan di pantai hari ini. Azie memberikan hadiah pada Saiqa yang beruang tahun." Hasna menyampaikan pada Husaen alasan kedua anaknya terlambat pulang.
Ketika tadi Hasna ke rumah bu Rohmi menanyakan anak-anaknya ia tak sengaja bertemu dengan pak Maman dan berpesan agar tidak memarahi Azie dan juga Saiqa. Serta memberikan ibu muda itu satu bungkus nasi goreng untuk ke dua anak mereka.
Husna dan Husaen memang bisa di bilang pasangan orang tua muda, mengingat umur mereka sekarang 25 tahun tapi sudah memiliki anak sebesar Azie yang berusia sepuluh tahun. Jadi mereka menikah pada usia yang begitu muda dan membesarkan anak-anak mereka tanpa adanya dampingan dari orang tuanya. Karena Husna dan Husaen adalah anak yatim piatu, rumah yang mereka tinggali sekarang juga adalah pemberian dari salah seorang dermawan di sana.
"Ya sudah malam ini kita tidur saja, apa kamu sudah menyimpan bungkusan yang tadi kamu bawa?" tanya Husaen pada istrinya.
"Sudah aku simpan di dalam panci itu, besok akan aku panaskan untuk sarapan mereka!"
Pasangan suami istri itu pun berjalan meninggalkan dapur mereka. Malam semakin larut, begitu sunyi dan sepi. Hanya terdengar suara jangkrik dan kodok serta gemerincing dedaunan yang bergesekan karena hembusan angin.