11. Tidak Percaya Pernikahan

1266 Kata
Indira menghela napasnya panjang, gadis itu masih menatap kepergian mobil Dhafi yang baru saja melewati gerbang. "Apa iya aku sakit jantung? Kayaknya sih, soalnya masa iya aku jatuh cinta sama dia sih? Kalau iya, cepet banget? Padahal aku baru putus dari Mas Latif," gumam Indira. Gadis itu masih berpikir tentang perasaan di hatinya. "Tapi, kalau dipikir-pikir, Mas Dhafi lebih ganteng dari Mas Latif. Badannya juga lebih tinggi, dia baik dan pasti pinter, dosen gitu loh." Indira senyum-senyum sendiri memikirkan beberapa keunggulan Dhafi dibanding dengan Latif. "Tapi sayang, Mas Dhafi gak sehangat Mas Latif." Latif yang Indira kenal sangat perhatian padanya. Pria itu juga terasa sangat melindunginya juga bisa diandalkan. Indira merasa nyaman bersama Latif. Latif memberi yang tidak pernah Indira dapatkan dari ayahnya yang tidak pernah ada untuknya. Bahkan dari Affan pun tidak. "Dira ...." Indira menoleh dan mendapati kakaknya. "Loh, Mas Affan di rumah?" "Iya," jawab Affan. "Mas baru mandi dan mau ambil berkas. Kamu baru pulang?" tanya Affan. Indira mengangguk. "Hmm," jawabnya. "Diantar Dhafi? Mas lihat mobil Dhafi tadi," ujar Affan dan Indira kembali mengangguk. Affan pun tersenyum tipis. "Ya sudah, Mas balik rumah sakit ya. Ingat jaga diri." "Iya Mas," jawab Indira, hingga kemudian dia ingat sesuatu. "tunggu Mas!" Affan mengernyit. "Kenapa?" tanya pria itu penasaran. "Em, mau diperiksa," jawab Indira. Affan semakin tak mengerti. "Kamu sakit?" tanya pria itu. Indira lalu menarik kakaknya itu untuk duduk di sofa ruang tamu. "Dah berapa kali, jantungku dag dig dug cepet banget, terus muka kayak kesemutan, agak panas juga." Affan mengerutkan keningnya. "Sejak kapan?" tanya Affan. "Hmm, beberapa hari ini," jawab Indira. Affan pun segera memeriksa denyut nadi adiknya. "Hmm, normal si, ke ruang kerja Mas, biar Mas cek pakai stetoskop!" Indira pun segera mengikuti kakaknya menuju ruang kerja pria itu. Affan langsung memeriksanya dan mengatakan semua baik-baik saja. "Tapi kamu bisa ke rumah sakit untuk cek lebih lanjut," ujar Affan. "Ish, sekarang memang lagi normal Mas, tapi itu tadi. Kalau dekat Mas Dhafi," ucap Indira dengan malu-malu. "Oh itu." Affan pun tersenyum, dia paham sekarang. "kalau itu Mas gak bisa obati, cuma Dhafi yang bisa obati!" Affan kemudian mengusap kepala adiknya. "Ya sudah Mas ke rumah sakit, ingat kamu gak boleh pergi sendiri, kalau mau pergi sama sopir." "Oh iya Mas." Setelah kakanya pergi, Indira masuk ke kamarnya. Gadis itu langsung menuju ranjang dan teringat kata-kata kakaknya yang mengatakan bahwa hanya Dhafi yang bisa mengobati jantungnya. "Kan, sepertinya bener aku jatuh cinta sama Mas Dhafi, gimana ini?" gumam Indira. "kayaknya Mas Dhafi gak suka sama aku." Sementara di tempat lain, Dhafi baru saja memasuki sebuah rumah bergaya Joglo modern. Itu adalah rumah ayah Dhafi yang sangat mencintai budaya Jawa. Tadi dia mendapat sebuah pesan dari perawat ayahnya yang mengatakan kalau sang ayah tidak mau makan sejak pagi. "Mas Dito, Papa di mana?" tanya Dhafi pada perawat laki-laki ayahnya. "Di kamarnya Mas. Baru mandi." Dhafi pun mengangguk, dia lalu pergi menuju kamar ayahnya. Di sana dia melihat sang ayah sedang duduk di kursi rodanya dan menghadap jendela. Pria itu lalu mendekati ayahnya. "Pa," sapa Dhafi. Pria paruh baya dengan rambut beruban itu langsung menoleh. "Oh, ada tamu ya?" Dhafi menghela napasnya. Sudah lima tahun ayahnya mengalami stroke dan terganggu ingatannya. 5 tahun lalu ayahnya karena suatu hal mengalami kecelakaan dan terganggu sarafnya. "Ini Dhafi, Pa." Ayah Dhafi bernama Husain Abraham. Pria 60 tahun itu mengernyitkan dahi, perlahan tangannya menyentuh pipi Dhafi. "Dhafi, putraku?" "Iya Pa, ini Dhafi," jawab Dhafi. Tiba-tiba air mata menetes dari mata Pak Husain. "Maafkan Papa, Nak. Papa gak bisa memberi kamu masa kecil yang bahagia," ucapnya. Dhafi menghela napasnya. Selalu seperti ini jika dia menemui ayahnya. Karena itulah Dhafi memilih tinggal di apartemen, agar sang ayah tidak perlu merasa bersalah setiap kali melihatnya. "Pa, kata Mas Dito, Papa belum makan sejak pagi?" tanya Dhafi. Pak Husain menghela napasnya, dia kembali menatap ke arah jendela. "Papa, rindu saat kamu balita," ucapnya. Dhafi menunduk, saat dia balita, mungkin hanya itu kebahagiaan yang ayahnya rasakan dalam pernikahannya, sebelum ibunya berselingkuh dengan mantan kekasihnya setelah reuni sekolah. Sejak itu, Dhafi ingat kedua orang tuanya kerap kali bertengkar. "Papa ingin kamu menikah." Dhafi langsung menatap pada ayahnya. "Pa, Dhafi tidak akan pernah mau menikah!" ujar Dhafi dengan nada tegas. Dulu, dia tidak begitu membenci pernikahan. Ya, membenci pernikahan, bukan membenci wanita. Tetapi, sejak mengerti alasan ayah dan ibunya bercerai. Lalu saat dia menyukai perempuan dan berakhir buruk, dia mulai tidak percaya pada perempuan, kemudian tidak percaya pada pernikahan, bahkan mungkin sekarang benar-benar membencinya. Pak Husain lalu mengambil tangan putranya. "Sebelum Papa mati, Papa ingin sekali melihat kamu bahagia. Menikahlah, bangun keluarga yang bahagia seperti keluarga kita dulu." Dhafi tidak menjawab, pria itu hanya diam menatap pada sorot mata ayahnya. Sorot mata yang begitu bijak seperti dulu. Masih Dhafi ingat dulu, bagaimana ayahnya menasehati dirinya ketika dia berbuat salah. Nasihat yang membuat Dhafi sangat bangga pada ayahnya. Dulu, meski ayahnya sering bertengkar dengan ibunya. Tetapi ketika ayahnya melihat ada putranya, ayahnya akan segera menyembunyikan masalah. Berbeda dengan ibunya yang kerap kali melampiaskan kekesalannya pada putranya, pada Dhafi. "Papa ingin, melihat kamu menikah dengan perempuan yang baik, punya anak, kalian bahagia, barulah Papa bisa pergi dengan tenang, tanpa rasa bersalah." "Pa ...." Pak Husain menghela napasnya panjang, lalu melepas tangan Dhafi dan kembali menatap ke arah jendela. Dhafi mengikuti arah pandang ayahnya. Dan saat itu dia baru sadar. Bukan jendela yang tengah ayahnya pandang. Melainkan dinding di sebelahnya. Dhafi ingat, di sana dulu, ada foto keluarga yang terpajang dengan begitu indah. Foto yang tidak terpajang lagi sejak ibunya pergi meninggalkan rumah mereka. Sejak itu Dhafi hanya tinggal dengan ayahnya. Sang Ayah tidak pernah menikah lagi. Dhafi pikir, antara ayahnya sangat mencintai ibunya hingga tidak sanggup mengganti posisi ibunya dengan wanita lain, atau sang ayah menjadi membenci perempuan karena semua yang terjadi. Satu hal yang membuat Dhafi salut pada ayahnya adalah. Ayahnya tetap berusaha tenang dan tetap bijak jika berbicara dengannya. Namun samua berubah lima tahun lalu. Terjadi sesuatu dengan sang ayah, yang berakhir kecelakaan dan ayahnya menjadi seperti saat ini. Stroke, tidak bisa mengendalikan kakinya, dan juga tidak stabil pikirannya. Kadang normal, kadang seperti orang linglung. Satu jam kemudian, Dhafi sudah berada di kamarnya di rumah sang ayah. Pria itu baru saja mencuci wajahnya. Pria itu lalu menuju ranjang dan duduk di sana. Tiba-tiba alis Dhafi mengerut saat melihat ponsel di atas nakas menyala. Rupanya ada beberapa panggilan tak terjawab dari Affan, juga satu pesan dari sahabatnya itu. Affan segera membukanya. [Apa yang sudah kau lakukan pada adikku, bro?] Dhafi semakin mengernyit kebingungan dengan maksud pesan sahabatnya itu. Lalu dia kembali membaca pesan lanjutan sahabatnya. [Kau bilang, tidak mau menikahi Dira, terus kenapa kau buat adikku jatuh cinta padamu?] "Apa? Jatuh cinta?" gumam Dhafi. Kemudian pria itu teringat dengan gelagat Indira padanya tadi. "Jadi, dia benar-benar jatuh cinta padaku?" "Tunggu, dari mana Affan menyimpulkan hal itu?" Satu pesan masuk kembali ke ponsel di tangan Dhafi. Masih dari Affan. Dhafi pun segera membaca pesan dari sahabatnya itu. [Pertimbangkan permintaanku tempo hari, jadilah adik iparku!] Dhafi menghela napasnya panjang, dia enggan menjawab pesan sahabatnya itu. Dhafi meletakkan ponsel miliknya kembali ke atas nakas. "Menikahi Dira? Untuk apa?" gumam Dhafi. Menikah, benar-benar tidak ada rencana dalam hidup seorang Dhafi Atharizz Calief. Dia tidak mau menikah dan berakhir sama seperti ayahnya. 'Menikahlah Dhafi, baru Papa bisa mati dengan tenang.' Kembali Dhafi teringat dengan permintaan ayahnya. "Menikah? Dengan Dira? Haruskah aku menikahinya?" Pria itu memejamkan matanya, mengingat wajah Indira yang merona, polos dan kadang terlihat menggemaskan saat kesal. Tanpa sadar, Dhafi tersenyum hanya karena hal itu. "Mungkinkah, kalau aku?" Dhafi menyentuh bagian dadanya yang dia rasakan debaran jantungnya terasa begitu jelas di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN