12. Menghindar

1150 Kata
Seminggu sudah berlalu, Indira pagi ini sudah berada di kampus. Dia duduk di dekat parkiran, sambil memeriksa tugasnya. Berkali-kali gadis itu melihat ke arah parkiran mobil tempat biasanya Dhafi memarkirkan mobilnya. "Apa dia gak ngajar lagi hari ini ya?" gumam Indira, dengan penasaran dia melihat ke sekelilingnya, berharap dia melihat sosok pria yang tengah mengusik pikirannya. Sudah 3 hari Indira dengar Dhafi tidak mengajar. Indira mulai penasaran kenapa dosen tampan itu tak menampakan batang hidungnya sejak pertemuan mereka di Cafe dengan Winda satu minggu yang lalu. Pria itu seperti menghindarinya, begitu pikir Indira. "Apa dia menghindariku?" Indira mulai bertanya-tanya alasan Dhafi tidak berangkat. Indira menggeleng. "Dia dosen, harusnya profesional, tidak mungkin tidak ngajar hanya untuk menghindariku." Indira lalu mengambil ponselnya. Melihat kembali pesan yang dia kirim pada Dhafi. Pesan itu bahkan belum diterima oleh sang dosen tampan. "Tanya Mas Affan aja kali ya?" Indira kemudian berinisiatif untuk menghubungi kakaknya dan bertanya tentang Dhafi. "Apa, rumah sakit?" tanya Indira begitu Affan menjawab panggilan teleponnya dan memberitahu tentang Dhafi. "Oh, ya udah Mas, terima kasih." Indira melamun memikirkan tentang berita yang diberikan kakaknya. Sudah 2 hari Dhafi sibuk menjaga ayahnya yang opname di rumah sakit. Indira lalu melihat jam di tangannya. Sebentar lagi dia ada kuliah dan tidak mungkin membolos lagi. "Nanti pulang kuliah aku jenguk deh." Sementara itu di rumah sakit. Affan baru saja menyimpan ponselnya kembali. Saat ini kakak dari Indira itu sedang berada di Rumah Sakit di kamar rawat Pak Husain, ayah Dhafi. Pria itu tersenyum, mengingat tadi adiknya yang inisiatif menelponnya hanya untuk menanyakan tentang Dhafi. "Sepertinya ada kemajuan," gumam Affan. Pria itu kemudian menatap ke arah pintu kamar rawat. Tadi sahabatnya pamit untuk membeli sarapan. "tinggal Dhafi nya saja." Kemudian Affan menatap pada Pak Husain. Dia lalu mendekati ayah sahabatnya itu. "Om," sapanya. "Oh dokter," ucap Pak Husain. "Affan, panggil saja Affan Om, saya sahabat Dhafi," ucap Affan. "Dhafi?" Pria paruh baya itu mengerutkan keningnya. "oh, putraku." Pak Husain baru saja mengingatnya. "Iya, em Om istri saya baru melahirkan, bayi kembar," ujar Affan. "Wah, masya Allah, selamat ya Mas dokter," ucap Pak Husain. "Alhamdulillah, terima kasih Om," ucap Affan. "em ngomong-ngomong, Om gak pengin Dhafi menikah, terus punya anak, cucu buat Om?" Pak Husain menganggukan kepalanya. "Ya, ide bagus, Om juga ingin, tapi Dhafi, anak itu ...." Affan tersenyum, lalu dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Indira. "Lihat Om, dia adikku, 21 tahun," ujarnya. Pak Husain kembali mengangguk. "Cantik, dan senyumnya indah." Pria paruh baya itu terdiam sejenak sebelum menghela napasnya perlahan. "Adikku, suka sama Dhafi!" ujar Affan. Mendengar itu Pak Husain langsung menatap pada sahabat putranya. "Benarkah?" tanya pria tua itu dan Affan mengangguk. Pak Husain langsung mengambil alih ponsel Affan dan menatap lekat foto Indira. "Dia cantik, cocok sama Dhafi." "Hmm, sayangnya Dhafi ... dia, em ...." Affan ragu. "Om mengerti, nanti Om coba bicara padanya." Pak Husain mengembalikan ponsel Affan lagi. Pria itu tersenyum lebar. Kemudian pada sore harinya, pukul empat sore, Indira baru selesai kuliahnya. Gadis itu terlihat begitu lelah. "Ah capek banget, mana pusing kepala," gumam Indira yang berjalan lesu meninggalkan kelasnya. "Pengin pulang terus mandi, makan tidur." Namun, sesaat kemudian Indira teringat dengan Dhafi yang sedang merawat ayahnya di rumah sakit. "Ah mau jenguk Papa Mas Dhafi juga." Indira kemudian melihat jam di tangannya. "Masih sore," gumamnya. Kemudian gadis itu mengendus bau tubuhnya sendiri. "Emh, kecut." Indira menggeleng. "Gak mungkin aku ke rumah sakit sekarang, lebih baik pulang terus mandi dulu." Indira menuju parkiran. Di sana seharusnya sudah ada sopir yang menunggunya. "Mana mobilnya?" "Ah itu dia!" Gadis itu pun pulang bersama sopir pribadi Mama Herlina, ibu tirinya. Kemudian pada malam harinya setelah magrib, dengan membawa rantang berisi makanan, Indira pergi ke rumah sakit. Dia akan menjenguk ayah Dhafi. "Mau ke mana Dira?" tanya Mama Herlina. "Mau ke rumah sakit Ma," jawab Indira. "jenguk Papanya Mas Dhafi." "Oh begitu?" ujar Mama Herlina. "ya sudah nanti kalau ketemu Affan, bilang sama dia, cepat pulang bantu jaga Hanah, badan Mama pegel semua, gak sanggup kalau begadang lagi jaga Hanah sama bayi." Indira mengerutkan keningnya. "Mas Affan belum pulang Ma?" tanya Indira. "bukannya tadi udah, bareng aku nyampenya." "Pergi lagi dia, pulang cuma numpang mandi, katanya habis magrib, si bungsu mau diperiksa, mungkin besok bisa keluar dari NICU katanya," jawab Mama Herlina. Indira pun mengerti. "Oke Ma, nanti Dira temui Mas Affan." Kemudian gadis itu pun pamit. Tidak lama kemudian Indira sampai di rumah sakit. Dia langsung menemui Affan dan menyampaikan pesan ibu tirinya. "Hmm, Mas tau, nanti Mas pulang," ujar Affan. Pria itu lalu melirik pada rantang di tangan adiknya. "Apa itu?" tanya Affan. "Oh, em ini ...." Indira tampak ragu, juga malu. Affan mengerti. "Ya sudah, dia di kamar VIP 8, ke sana saja sendiri, bisa kan?" Indira pun tersenyum. "Em iya Mas. Dira ke sana dulu, assalamu'alaikum." "Waalaikumsalam." Affan menatap sendu pada kepergian adiknya. "ini akan sulit, Dhafi yang susah," gumamnya. Sedangkan Indira, baru saja keluar dari dalam lift yang mengantarkan gadis itu ke lantai di mana kamar VIP 8 berada. Indira menarik napasnya panjang, jantungnya mulai berdebar cepat. "Huff, harus terbiasa," gumamnya sebelum mengetuk pintu di depannya. Di ketukan kedua, pintu dibuka dari dalam. Dhafi tampak terkejut melihat kedatangan Indira. "Kau?" Indira tersenyum lebar. "Hai Mas, assalamu'alaikum." "Wa-waalaikumsalam." Sungguh Dhafi tidak menyangka akan kedatangan Indira. "Siapa Dhafi?" Dhafi menoleh. "Oh, ini mahasiswi Dhafi, Pa." Indira pun tersenyum, lalu dia menerobos masuk ke dalam kamar rawat membuat Dhafi panik. "Malam Om," sapa Indira. "saya Indira." "Indira?" tanya Pak Husain. Pria paruh baya itu mengerutkan keningnya, merasa tidak asing dengan wajah gadis di depannya. "Pa, dia mahasiswi Dhafi, sepertinya ada urusan kampus," ujar Dhafi. Indira langsung menggeleng. "Gak Mas, Om!" Gadis itu mengelak. "aku ke sini jenguk Om, terus bawa makan malam buat Mas Dhafi." "Dira ...!" desis Dhafi, pria itu mendekati telinga Indira dan berbisik, "jangan macam-macam atau Papa akan salah paham." "Oh ya paham, kamu pacar Dhafi, kan?" tanya Pak Husain. Sekarang dia ingat siapa gadis di depannya. Mata Dhafi dan Indira langsung membola menatap pada Pak Husain. "Pacar?" tanya keduanya kompak. Dhafi terlihat terkejut namun ada ekspresi tak setuju di wajahnya. Berbeda dengan Indira yang terlihat malu-malu. "Ah kamu cantik sekali Nak," ucap Pak Husain. "Dhafi kapan kalian nikah?" "Apa?" Dhafi tampak kebingungan dengan pertanyaan ayahnya. "Pa, Papa baru minum obat sebaiknya Papa istirahat." Dhafi kemudian mendekati ayahnya dan meminta sang ayah untuk tidur. Sementara Indira menuju sofa dan duduk di sana. Gadis itu mulai membuka rantang dan menyiapkan makan malam untuk Dhafi. "Apa yang kau lakukan?" tanya Dhafi. Indira melihat ke arah ranjang di mana ayah Dhafi sudah memejamkan matanya. "Om sudah tidur?" "Jawab pertanyaanku Dira, apa yang kau lakukan? Dan kenapa ke sini?" tanya Dhafi sekali lagi. Dhafi benar-benar tak menyangka akan kedatangan Indira. Padahal, sudah 3 hari dia sengaja menghindari gadis itu. 'Kalau seperti ini, gimana caranya agar tidak terjadi salah paham?' Dhafi teringat dengan apa yang dikatakan Affan tentang Indira yang mungkin jatuh cinta padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN