10. Gejala Jatuh Cinta

1050 Kata
"Mas lihat aku ketemu Indira tadi, kan?" Latif yang baru saja masuk ke dalam kamarnya langsung dicecar pertanyaan oleh istrinya. "Aku tahu, Mas membuntuti gadis itu, aku tahu Mas ke cafe!" Latif dengan kesal melepas jaket kulit yang dia kenakan. "Jangan kamu pikir, aku batal menceraikanmu!" ujarnya. Winda menyeringai. "Mas pikir gadis itu punya banyak warisan? Atau karena hubungannya dengan Profesor Haryadi? Mas salah besar, gadis itu tidak punya warisan dan tidak ada sangkut pautnya dengan pemilik rumah sakit itu." "Aku jauh lebih kaya dari gadis itu!" Mendengar itu Latif yang berniat membuka lemari, mencengkeram erat gagang pintu lemari. Dia benar-benar tak tahan. Pria itu berbalik lalu menatap tajam pada istrinya. "Apa kau tidak sadar juga apa yang membuat aku berkali-kali selingkuh darimu?" tanya Latif. "Karena aku merasa tidak punya wibawa sebagai seorang suami di matamu juga keluargamu. Karena apa? Karena aku miskin, bukan?" tanya Latif. "Apa kau kira aku laki-laki matrealistis? Dengar, aku menyukai Indira, karena dia menghormatiku, menghargai kemampuanku." Latif menggeleng pelan. "kau memang punya modal untuk membangun usaha kita Winda." "Tapi, karena kemampuanku mengelola hingga cafe-cafe kita berkembang!" Setelah mengatakan itu Latif masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya dengan keras. Winda meremas erat buku yang dia pegang, lalu melemparnya ke pintu kamar mandi. "Kau pikir kau hebat, hah. Kemampuan katamu?" Winda tertawa kecil. "kapan kau sadar, klien tidak akan memandangmu tanpa nama keluargaku ...!" teriak Winda. Di dalam kamar mandi. Latif sudah berada di bawah shower. Dia mendengar semua yang dikatakan istrinya. Bahkan dia menghapalnya dengan baik. Winda adalah penyesalan terbesar dalam hidupnya. Winda adalah jalan singkat yang dia sesali. Awalnya dia pikir bisa hidup enak menikah dengan anak orang terpandang, kaya tentunya. Karena itulah, saat tidak mendapat restu dari keluarga Winda. Dia nekad menghamili Winda supaya bisa menikahinya. Namun ternyata, pilihannya salah. Hidupnya memang terlihat enak di mata orang lain. Terlihat tinggi bagi orang lain. Namun pada kenyataannya di rumah tangganya, dia hanya suami tak berharga, menantu yang dianggap rendah. Dan, Latif benar-benar muak dengan semua itu. Dia berharap, bercerai dari Winda. Tapi, dia tak bisa melakukan dengan begitu saja atau dia akan kehilangan semuanya. Bagaimanapun, cafe bisa besar karena usahanya. Dia tak mau pergi dengan tangan kosong. Dan Indira baginya, adalah seseorang yang bisa menjadi jaminan baginya. Dia yakin keluarga Winda tak akan berani macam-macam jika dia bisa menikahi Indira. Jelas keluarga Winda masih tidak ada apa-apanya dengan keluarga istri Affan, kakaknya Indira. Apalagi, dia punya rasa sakit hati yang terpendam pada Affan. Latif yakin, melalui Indira, ibarat kata, satu tepuk dua lalat, satu kali melakukan pekerjaan, dia akan mendapatkan beberapa hasil atau keuntungan sekaligus. Tapi semua rencananya kacau, gara-gara seorang Dhafi. "Sial ...!" Sementara itu di tempat lain, Indira baru saja menutupi bibirnya dengan telapak tangannya, dia masih menatap cemas pada pria di sampingnya. Melihat reaksi Indira, Dhafi pun menahan tawanya, lalu dia mundur ke belakang. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu menutupi bibirmu?" tanya pria itu. Indira pun berdebar-debar jantungnya, dia gugup, bola matanya melirik ke kanan dan ke kiri, bingung harus menjawab apa. "Hm, apa kamu pikir aku akan menciummu?" tanya Dhafi. Mendengar pertanyaan pria di sampingnya, Indira pun memalingkan wajahnya, dia yakin pipinya pasti merona merah saat ini. Malu rasanya karena apa yang dia pikirkan begitu mudah ditebak oleh teman kakaknya itu. Sementara Dhafi kembali tertawa. Respon Indira begitu menarik baginya. Dia cukup terhibur menggoda gadis di sampingnya. "Dira-Dira, urusan aku normal atau tidak, itu bukan urusanmu! Tapi yang jelas, aku tidak seperti apa yang kamu pikirkan." Setelah mengatakan itu, Dhafi kembali menjalankan mobilnya. Sementara Indira sibuk mengatur detak jantungnya yang tidak karuan saat ini. 'Jantung, kenapa sih kamu dag dig dug gak karuan gini?' batin Indira bingung sendiri. Gadis itu berpikir untuk memeriksakan dirinya pada sang kakak nanti. Apalagi kakaknya, dr Affandra Janardana adalah seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, pasti mengerti kenapa sekarang detak jantungnya sering begitu cepat dan tidak beraturan. Hingga akhirnya, tidak lama kemudian mereka sampai di gerbang rumah Mama Herlina. Dhafi meminta security untuk membuka gerbang. Dia akan mengantar Indira sampai masuk ke dalam agar tidak ada kejadian seperti kemarin. "Terima kasih Mas," ucap Indira sambil mencoba melepas sabuk pengamannya. "tunggu, aku bisa sendiri!" Indira begitu waspada. Dia langsung mencegah Dhafi yang berniat membantu membuka sabuk pengaman yang dia kenakan. Dhafi pun menurut, dia hanya memperhatikan bagaimana Indira melepas sabuk pengamannya. "Aduh kok susah ya?" gumam Indira mulai panik. Dhafi pun tertawa kecil. "Aku bantu aja," ujarnya. "Jangan!" Dengan cepat Indira mencegah Dhafi membantunya. "a-aku bisa!" Alis Dhafi mengerut, dia hanya memperhatikan bagaimana Indira terlihat gugup saat ini. "Kamu gak akan bisa membukanya kalau gugup gitu," ujarnya. "A-apa? Siapa yang gugup," ucap Indira mencoba mengelak. Dhafi menggeleng, lalu dia memaksa untuk membantu Indira membuat gadis itu terdiam tak berkutik. Tubuhnya terasa kaku. Takut bergerak meski sedikit saja dan berakhir sentuhan fisik dengan Dhafi. "Kenapa tegang gitu?" tanya Dhafi. Indira tidak menjawab, gadis itu susah payah menelan paksa salivanya. Detak jantungnya serasa semakin menggila. "Dira, apa kamu baik-baik saja?" tanya Dhafi cemas. "wajahmu merah banget." Pria itu pun mencoba memeriksa keadaan Indira dengan menyentuh wajah gadis itu. "Jangan bergerak!" ujar Indira tiba-tiba membuat Dhafi sedikit terkejut. Pria itu pun diam. Sementara Indira, sibuk memeriksa pipinya yang terasa panas. "Aduh aku kenapa?" gumamnya. "Kenapa?" tanya Dhafi. "Jaga jarak!" ujar Indira lagi saat Dhafi mencoba lebih dekat dengannya. "Kenapa?" tanya Dhafi sekali lagi. "A-aku, aku bisa jantungan!" jawab Indira. Dhafi semakin bingung. "Jantungan?" tanya pria itu tak mengerti. Indira mengangguk pelan penuh keraguan. "Hm, ka-kalau Mas Dhafi dekat-dekat, jantungku pasti akan meledak." Dhafi mengernyit. "Meledak?" Pria itu menatap lekat pada gadis di depannya. Reaksi Indira, dia mulai paham. "Jadi, jantungmu berdebar semakin cepat kalau aku dekat-dekat?" tanya Dhafi dan Indira mengangguk. Dhafi pun terdiam, dia mengingat segala reaksi Indira hari ini. 'Apa dia jatuh cinta padaku?' batin Dhafi. Tentu pria itu tahu bagaimana rasanya saat jatuh cinta. Saat dekat dengan seseorang yang dia sukai. Dhafi kemudian menghela napasnya panjang. "Lebih baik, kamu minta Affan cek kesehatanmu. Itu ciri-ciri penyakit jantung." "A-pa? Penyakit jantung?" tanya Indira. "Hmm, jantung berdebar cepat, wajahmu terasa panas, gemetar seperti ada semut di wajahmu bukan?" tanya Dhafi dan Indira mengangguk. "Hm, periksa ke rumah sakit, cek kesehatanmu!" ujar Dhafi, pria itu mengulum bibirnya menahan senyumnya. Menurutnya, wajah Indira yang kebingungan cukup menarik baginya. Indira kembali mengangguk. "Jadi, ini bukan gejala jatuh cinta, kan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN