Sssshhh, dingin banget pagi ini. Gak mau mandi tapi mau pergi sekolah. Pengen fotocopy pakai handuk basah tapi nanti ketahuan ibu dan diomelin.
"Wulaaannnnn."
Teriak duo kompak itu di depan rumah menjemputku untuk pergi sekolah. Jam berapa sih mereka mandi, gak kedinginan apa?
"Tungguuuuuu! " teriakku dari kamar dan ibu mulai berbasa-basi dengan mereka.
"Ayo masuk, kalian sudah sarapan belum? Makan mie goreng mau gak, karena Ulan belum sarapan."
"Yah, udah jam berapa ini 'De ... makasih karena nanti telat. "
10 menit aku sudah siap dengan seragam sekolah dan tas selempang dibahu beserta botol air minum lalu berlari ke depan pintu.
"Loh, kamu gak sarapan dulu? "
Aku menarik punggung tangan ibuku untuk salim tanda hormat anak pada orang tuanya.
"Pergi dulu bu, nanti aja di sekolah, " ucapku tetapi setelah ibu menarik tanganku untuk masuk lagi ke dalam sambil mengoceh,
"Kamu tu, makan dulu walaupun sesendok ... buka mulut kamu?"
Mau tak mau aku pun menerima satu suapan dari ibuku lalu kabur secepat mungkin karena takut terlambat.
Setibanya disekolah, bel pun berbunyi sedangkan jidat telah penuh dengan bulir-bulir keringat. Poniku kuyup, mulut ngos-ngosan, hidung kembang kempis dan mereka berdua langsung ngacir ke kelas masing-masing.
Aku sih santai saja, sudah biasa jalan di koridor sekolah bersamaan dengan guru yang akan masuk ke dalam kelas.
Langkah kakiku diperlambat tetapi koridor masih saja ramai apalagi di depan kelas Gerry, dia senior yang suka sama aku, eh ... aku yang suka sama dia.
Aku garuk-garuk kepala, gimana caranya melewati mereka and the genk. Langkah kaki semakin malas seperti orang yang mau pingsan tetapi sayangnya aku gak pernah tahu bagaimana rasanya pingsan atau aku pura-pura saja ya, biar gak salah tingkah melewati mereka yang berjajar rapi depan kelas.
Oh, wahai para guru ... keluarlah engkau dari persembunyian. Aduh, semakin dekat aku semakin grogi, sendirian lagi nih ... aduh terpaksa. Mereka sudah menatapku sambil senyum-senyum tipis dan sikut menyikut. s
Sialnya mereka buat formasi kiri dan kanan dibagi rata, aduh ... apaan sih ini.
"Selamat pagi Wulandari, dari kayangan sang bidadari hati."
Aku tersenyum menatap seorang cowok di sebelah Gerry yang memang sering ngebanyol, dan Gerry tersipu malu menatapku.
"Wulan, selendangmu mana ... mau aku cucikan gak, biar kamu gak bisa balik kekayangan."
Cih, gombal!
Aku kesel jadinya dan mereka tertawa-tawa. Mereka hanya mengganggu lewat mulut saja tetapi aku yang malu digituin dan gak tahunya Gerry jalan di samping aku.
"Nanti istirahat makan bareng ya," bisiknya dan telingaku merinding, ini mimpi bukan?
"Oh, " Aku tak bisa berkata-kata.
"Aku ulang tahun jadi aku mau traktir kamu."
"Ehmm, " Aku hanya bergumam dan mengangguk.
"Jadi mau kan? "
Dia mengambil alih berdiri di depanku dan akhirnya kami saling menatap dengan rasa malu-malu.
"Iya kak, " jawabku pelan dan tersenyum simpul padanya.
"Hayo masuk kelas masuuuuuuk!!!"
Nah, guru killer udah pada keluar dari sarangnya. Gerry bergegas maju jalan dan aku juga langkah seribu menaiki anak tangga karena kelasku berada diatas.
Dengan hati yang cenat cenut aku menaiki tangga sambil tersenyum. Melihat wajah Gerry yang ganteng bikin jantung kedat kedut gak nentu, apakah aku jatuh cinta pada kakak kelas itu.
3 jam telah berlalu dan saatnya istirahat. Ketika aku keluar kelas ternyata Gerry sudah berada didepan kelas menjemputku.
"Loh, kak aku pikir ketemu di kantin."
"Gak lah, nanti kantin penuh banyak yang asal duduk, ayo."
Dia langsung gandeng tanganku saat menuruni tangga, ya ampun ... aku malu, ingin dilepaskan tapi malah digenggam erat dan mungkin sebagian teman sekelasku sudah melihat keadaan ini.
Rasa canggung tak nyaman tapi apa boleh buat hanya mengikuti alur. Terkadang kami saling menoleh satu sama lain, melempar senyum dan genggaman tangannya kian erat.
Di ujung sana telah terlihat kantin yang dikerumuni oleh para murid dan saat kami mendekat.
"Surprise, happy birthday to you."
Seorang cewek yang aku tahu itu kakak kelas memberi kejutan pada Gerry. Si cewek itu merengut melihatku lalu memberikan kue ulang tahun itu pada temannya langsung menghampiri Gerry untuk mengucapkan selamat.
"Selamat ya,"
Tangan cewek itu terulur untuk mengajaknya bersalaman tetapi terus menggantung karena tangan Gerry tak mau melepas genggaman tangannya pada tanganku, ya ampun ... bisa jadi masalah ini.
Seolah tak ada rasa malu cewek itu langsung memeluk dan mencium pipi Gerry kiri kanan tetapi Gerry malah diam tak menolak, aku gak suka cowok yang gak punya ketegasan.
Harusnya dia langsung mendorong cewek ini. Aku tetap berada disampingnya dan beradu pandang dengan kakak kelas itu yang bengis menatapku.
Ya Tuhan, hanya gara-gara cowok dia menatapku seperti aku adalah santapan lezat untuknya. Ini yang aku gak mau, ribut demi cowok!
Rasanya aku pengen cepat selesai acara makan-makan dengan para kakak kelas ini. Si cewek yang tidak tahu malu itu dari tadi terus saja menggoda Gerry, duduk dihadapannya sambil cengengesan gak jelas.
Dia pikir dengan wajah cantik dan senyuman manisnya itu bisa membuat semua cowok klepek-klepek, adanya malah cowok ketakutan dengan cewek yang terlalu agresif seperti dia.
"Udah?" tanya Gerry menoleh padaku dan aku langsung mengangguk lalu kami berdiri bersama.
"Yah, belum juga bel mau kemana sih, " ketus cewek itu tetapi tidak diperdulikan oleh Gerry.
Kalau aku bakal malu dan gak akan pengen ketemu dengan cowok yang mengacuhkan aku.
Aku dan Gerry keluar kantin kami duduk dibawah pohon yang rindang dan dia mulai bertanya-tanya.
"Kamu sudah punya pacar? "
"Belum."
"Mau gak jadi pacar aku."
Aku ditembak cinta, malu-malu antara mau dan gak karena dia belum dapat nilai plus dari aku.
"Nanti jadi masalah dengan kakak tadi," jawabku dengan pertimbangan padahal basa-basi.
Dia melengos ke sembarang arah, "Tingkah laku Ayu jangan diambil hati, memang jenisnya menjengkelkan. Kalau kamu diganggu dia, biar aku yang atasi."
Sebenarnya sih gak perlu. Aku bisa kok mengatasinya sendiri dengan pukulan tanganku dia pasti menjerit seperti ayam mau dipotong. Masalahnya, aku gak mau cari ribut dan akhirnya masuk ruang BP hanya karena rebutan cowok.
"Aku belum boleh pacaran sama ibu, maaf ya Kak."
Tampangnya lesu dan menunduk ke bawah lalu berapa detik kemudian dia mengangkat kepalanya dan tersenyum.
"Kalau sudah lulus, boleh 'kan pacaran? "
Aku mengangguk pasti, yang penting gak mencari masalah dengan si Ayu itu. Dan ternyata Gerry tipe cowok yang tidak memaksa dan menerima keputusanku.
"Kalau jalan-jalan sore boleh gak? "
"Pakai apa? "
"Pakai motor."
Aku mengangguk lagi tetapi tiba-tiba ingatanku masuk begitu saja tentang acara tahunan.
"Oh ya kak, ada acara tahunan nanti sore kamu ikut?"
Dia menggeleng, "Males, " jawabnya.
"Jadi kamu ikut acara nanti sore? "lanjutnya lagi.
" Iya, ayolah kak ikut kita bisa bertemu menikmati rangkaian acaranya, ramai loh muda-mudi di sana. "
Aku membujuknya dan sepertinya memang dia tidak tertarik mengikuti acara itu, lalu kami berjalan menuju kelas karena bel telah berbunyi.
Dia mengantarku lagi ke ruang kelas atas tetapi tanpa menggandeng tanganku. Kok aku jadi merasa kehilangan sih. Sampai di atas para teman cowok terus menjeling padaku.
"Nanti pulang, aku antar boleh? "
"Maaf, aku pulang sama teman kelas lain karena rumah kami dekat."
"Ya sudah, ada nomor telpon rumah atau hp? "
Aku memberikan nomor HP ibuku yang memang aku belum punya benda kecil itu secara pribadi yang kegunaannya luar biasa.
Ibu selalu menjaga agar aku tetap fokus dengan sekolah tanpa bermain HP dan harus berhasil menjadi orang yang sukses agar bisa membawa nama baik untuk keluarga.
Saat Gerry menuruni tangga suara teman sekelasku bagaikan ciutan burung, menggodaku.
"Udah jadian nih, wah gak jalan kaki lagi kamu Lan karena sudah ada ojek."
"Ye, gak juga ... enakkan jalan kaki sehat, " sahutku dan langsung masuk ke dalam kelas dan gak tahunya ada si cewek itu sedang duduk diatas mejaku bersama teman-temannya.
Aku melirik kesana kemari, teman-teman yang ada di dalam kelas hanya bisa diam tak berani menyapaku.
Aku beranikan diri mendekati mejaku dan dia terus memperhatikanku dengan mata sinisnya.
"Maaf, ini mejaku."
"Sejak kapan, memangnya sekolah ini punya Bapak kamu atau kamu bawa meja ini dari rumah sambil jalan kaki, cih! gak usah bergaya kamu, gadis kampung! "
"Hahahaha, goks! "
Teman-temannya tertawa keras sambil menatapku sedangkan dia tersenyum sinis.
Aku tarik napas dan melihat sekeliling, temanku memberi kode dengan mata aku menjauhinya dan seketika pun bel tanda masuk berbunyi lalu dia turun dari meja dengan langsung menginjak kedua kakiku.
"Akhh! "
"Sakit ya, makanya gak usah sok cantik tebar pesona dengan Gerry. Kamu hanya mau nebeng motor untuk antar jemput 'kan, biar gak jalan kaki terus. Jangan dekati Gerry lagi karena percuma dia hanya ingin mendapatkan sesuatu dari kamu. Menjauhlah dari dia sebelum terlambat."
Dia pergi bersama teman-temannya sambil tertawa-tawa setelah mengancamku. Sebenarnya aneh, kenapa harus dia peduli padaku kalau Gerry mau macam-macam, adanya dia yang ingin macam-macam padaku pastinya.
Dan aku merasa sekarang kakiku sebal karena dia berdiri diatas kedua kakiku tadi, sungguh keterlaluan.
"Wulan, kenapa sih kamu dekatin. Maunya dia cari masalah, untung gak diapa-apain."
"Gak diapain apanya, kaki Ulan diinjek."
"Haaaa? "
Mereka semua melihat aku meringis kesakitan dan membuka sepatu lalu memijitnya pelan agar bisa berjalan normal saat pulang sekolah nanti.
Untungnya aku memilih tidak ingin menerima Gerry menjadi pacar karena si cewek ini pasti akan terus meneror aku.
***
"Cie ada yang punya gebetan dan aku kira bakal naik motor pulangnya."
"Eh benar itu, pantasan ditunggu di tempat biasa gak ada eh gak tahunya mojok di bawah pohon, awas aja kesambet wewe."
Aku no komen mendengar sindiran kedua teman seperjuangan ini. Kalau aku buka suara mereka pasti banyak tanya dan aku gak mau bahas, apalagi masalah dilabrak kakak kelas yang centil, ihhhh pengen aku cakar wajahnya.
"Lan, aku bilangin ibu kamu loh karena tamat sekolah kamu pasti dilamar. "
"Ih, gak! Aku mau kuliah dulu. "
"Yakin, siapa tahu ikuti trend anak sekarang."
"Hamidun?" tanyaku dan mereka berdua cekikikan.
"Gak lah, bisa diusir dari rumah dan kamu gak mau nampung aku. "
"Ya gak lah, aib entar ketularan dosanya. Udah gak usah pacaran, masih bau kencur ... makan aja masih disuapin jadi gak usah macam-macam! " kata sepupuku ini yang terlihat tidak suka.
Aku semakin ingin mengganggunya, "Kalau cium pipi boleh lah ya, kalau dia minta ... dikasi gak? "
Dia menjelingku dan Ani cekikikan.
"Boleh tapi pipi atau pipi, eh gak taunya malah semakin turun, wah kacau." ucap Ani dan aku menjeling Ian.
"Wah enak dong boleh coba," sahutku dan dengan cekatan si cowok diantara kami ini buka suara,
"Aku timpuk!" jawab Ian dengan gerakkan tangannya yang ingin memukul aku dan aku berlari kencang sampai ke rumah.
Untung masih bisa lari kalau gak aku bakal ditimpuk benaran. Sampai di dalam rumah, ibuku sudah siap dengan semua persiapan untuk acara malam ini.
"Kamu jahil lagi sama Ian? "
"Habisnya aku mau ditimpuk, bu laperrr ....," rengekku manja.
"Ya makan sana, lauk kesukaan kamu sudah ada didalam tudung saji. Habis makan jangan tidur, bantu ibu berkemas. "
"Oke."
Aku gak sabar lagi, untuk acara malam ini. Ada Gerry gak ya? Siapa tahu dia berubah pikiran. Sekalian mau buat Ian semakin marah dan Ani menjadi salah fokus.