Naufal Dan Kebiasaan Buruknya

1781 Kata
Hari-hari yang Della lalui sebagai istri dari seorang Naufal, penuh dengan lika-liku dan air mata. Ia yang telah berjanji bahwa akan menjadi seorang istri yang semestinya, harus berhadapan dengan laki-laki yang masih menyimpan cinta pertama di dalam hatinya. Stefany, wanita yang Naufal cintai memang tidak pernah mengganggu kehidupan rumah tangganya. Tapi, sosok itu selalu ada di setiap malam kala suaminya tertidur. Setiap Naufal mengigau, nama itu yang selalu terdengar di telinga Della. Meski kamar tidur mereka terpisah, tapi Della kerap mendengar nama itu disebutkan. Baik di saat Naufal melakukan panggilan dengan teman-temannya atau di saat ia sedang sendirian tidak berkegiatan di luar. Enam bulan sudah rumah tangga keduanya berjalan. Della yang tetap melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri kini bisa sembari meneruskan kuliahnya yang sempat terhenti sebab skandal yang menimpanya. Berbeda dengan Naufal yang harus menunggu hingga musim depan, baru bisa kembali melanjutkan kehidupan balapannya seperti sebelum menikah dengan Della. Gadis itu jelas lebih beruntung. Ya, gadis. Hingga detik ini Della memang masih murni seorang gadis. Belum pernah ia disentuh oleh Naufal, sebab laki-laki itu yang memang tidak ingin melakukannya. “Tidak kuizinkan tanganku menyentuh kulitmu seujung kuku pun. Kesialan yang sudah aku lakukan enam bulan lalu, tak akan aku ulangi lagi dengan aku melakukan hal seperti itu denganmu. Sebab kamu tahu sekarang kalau apa yang aku lakukan waktu itu demi pernyataan cinta yang aku ungkapkan kepada Stefany.” Naufal pernah mengatakan hal itu di awal-awal pernikahan mereka. Menikah baginya bukan sebuah awal untuk merajut kebahagiaan. Karena kebahagiaannya sendiri adalah mencintai Stefany dan hidup bersamanya. Padahal lelaki itu tahu sejak mereka bertemu terakhir kali di hari pernikahannya dengan Della, sejak saat itu juga Stefany seperti hilang ditelan bumi. Perempuan itu seperti memutus kontak dengannya. Tak ada kabar, bahkan setiap chat tak pernah dibalas. Terakhir sebulan lalu, nomornya sudah tidak bisa lagi dihubungi. Dengar-dengar nomor Stefany tidak diganti, itu berarti nomor kontak Naufal sudah diblokir olehnya secara sengaja. Pria muda itu sempat frustrasi karena perempuannya menghindar. Tapi, ia tak pernah menyerah sampai akhirnya bisa bertemu dengan perempuan itu di sebuah pertandingan yang sengaja ia datangi. Pertandingan yang terjadi di negara tetangga di mana Naufal yang sengaja terbang ke sana demi untuk bertemu dengan sang pujaan hati, sempat membuatnya menyerah. Namun, sosok itu akhirnya muncul ketika akan menuju area paddock. Suasana tempat pertandingan di mana mereka saat ini berada terlihat sangat ramai sebab pertandingan yang akan dimulai. Naufal yang memilih duduk di area bangku penonton, memang sengaja tidak mendekati Stefany di area khusus pembalap dan kendaraan itu. Ia tak mau bertemu dengan rekan satu tim atau manajemen yang pastinya berkumpul di sana. Beruntung, akhirnya ia bisa bertemu wanita itu tanpa harus mencari. “Naufal!” seru Stefany kaget. Tapi, tak berlangsung lama perempuan itu bersikap normal seperti biasanya. “Stefany! Apa kabar?” “Ehm, baik. Kamu?” “Jujur saja, enggak.” Sikap jujur yang Naufal tunjukkan bukan semata-mata karena ia ingin dikasihani. Tapi, karena ia memang tak baik-baik saja setelah Stefany memutuskan hubungan mereka begitu saja. “Stefany ....” “Naufal, aku harap kamu bisa menerima kenyataan ini. Apa yang pernah terjadi di antara kita, sebaiknya kamu jadikan kenang-kenangan indah dalam memori hidup kamu.” “Aku tidak bisa.” “Kamu bukan tidak bisa, tetapi kamu tidak mau.” Obrolan mereka sempat menjadi bahan tontonan orang-orang yang ada di sekitar mereka. Sosok Naufal yang familiar dan terkenal, jelas menjadi pemandangan tersendiri di mana ia tidak berlaga dan malah duduk di bangku penonton paska skandal yang menjeratnya. Bukan sebuah rahasia umum lagi di mana skorsing yang pembalap muda itu terima terus disembunyikan oleh pihak manajemen. Bagaimana pun ditutupi hal itu pasti akan terbongkar dan diketahui oleh banyak orang. “Aku jelas tidak mau karena kamu adalah perempuan satu-satunya yang aku cintai, Stef.” Wanita itu tampak jengah mendengar kalimat gombal yang Naufal katakan. “Naufal, terimalah kenyataan kalau kamu sudah menikah. Ada perempuan di luar sana yang seharusnya membutuhkan perhatian dari kamu, bukan aku di mana hubungan kita sudah berakhir sejak setengah tahun lalu.” “Aku tidak mencintainya, Stef. Tidak sama sekali.” Naufal tampak berubah. Emosinya mulai terlihat dan itu membuat Stefany risih sebab menjadi pusat perhatian para penonton. “Naufal, sudah hentikan! Aku tak mau lagi berdebat. Sekarang atau nanti kita hanya manajer dan pembalap. Tak lebih dari itu. Jadi, aku harap jangan kotori hubungan kerja kita dengan sikap kamu yang masih saja kekanak-kanakan.” “Apa! Aku kekanak-kanakan?” “Iya.” Naufal semakin emosi. “Dengar! Siapa sebenarnya yang sudah membuatku jadi begini?” tanya lelaki itu menatap tajam wanitanya. Stefany tak mau menjawab. “Lihat! Kamu sendiri yang sudah membuatku berada dalam situasi ini. Setelah aku berhasil membuktikan apa yang kamu minta, kamu malah lepas tanggung jawab dan kini melupakan apa yang terjadi seolah-olah semua hanya ulahku sendiri.” Pertandingan MotoGP dengan CC terendah tampaknya sudah akan dimulai. Stefany yang mendengar situasi paddock yang semakin riuh, memilih untuk tidak menghiraukan kemarahan Naufal yang menurutnya tak akan pernah mendapatkan titik temu. “Naufal, sepertinya sampai kapan pun kamu tak akan pernah mengerti. Jadi, dari pada kita terus berdebat dan bertengkar tak ada guna, lebih baik kita benar-benar menjauh. Hubungan kita hanya hubungan profesional. Jangan kamu bumbui lagi dengan hal-hal yang tak penting.” Laki-laki itu tak bergeming. Ucapan Stefany barusan, ia anggap sesuatu yang tak ada beda dengan kalimat-kalimat sebelum mereka berpisah di pernikahannya waktu itu. “Tak ada lagi yang harus kita bicarakan. Sekarang aku harus menemui tim dan manajemen. Silakan kamu nikmati pertandingan hari ini. Atau kalau kamu tidak suka, kamu bisa pulang dan menemui istri kamu yang selalu kesepian karena mengetahui suaminya tak pernah memperhatikannya.” “Itu bukan urusan kamu!” Kali ini Naufal berkata ketus. Stefany memberikan respon terbaiknya. Wanita itu tersenyum karena akhirnya Naufal bisa juga marah padanya. “Ehm, ya sudah. Maaf kalau aku sudah ikut campur. Kalau begitu aku permisi karena ada banyak orang yang membutuhkan aku di sana,” ucap Stefany yang kemudian berbalik dan melangkah pergi menuju area para pembalap. Sedangkan Naufal, segera bergegas pergi meninggalkan deretan bangku penonton untuk keluar sirkuit. Di tempat lain, di waktu yang berbeda. Tepatnya di sebuah rumah di mana Naufal dan Della tinggal, tampak perempuan itu sedang sendiri mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Beberapa minggu sudah ia kembali kuliah, membuat rasa sepi yang melanda tertutupi oleh tugas yang menumpuk dari dosen. Saat Della sudah selesai dengan tugasnya, mendadak ia mendapat telepon dari ibu mertuanya yang mengabarkan akan datang menemuinya besok. “Besok? Mama dan papa akan ke sini?” tanya Della yang kini sudah terbiasa memanggil kedua mertuanya dengan panggilan yang sama seperti Naufal memanggil mereka. ‘Iya. Kenapa? Apakah kamu terlalu sibuk kuliah sampai tidak bisa menerima Mama dan papa, Del?’ “Ah, tidak, Mah. Bukan seperti itu. Hanya saja berita ini terlalu mendadak.” ‘Jadi, kapan kami bisa mengunjungi kamu dan Naufal? Apakah harus menunggu kamu libur kuliah?’ “Eh, tidak. Tidak begitu, Mah. Kalau Mama dan papa mau datang besok juga tidak masalah kok buat aku. Tapi, mungkin aku dan Naufal tidak menyiapkan sesuatu yang istimewa untuk menyambut kedatangan kalian.” ‘Ya ampun, Mama pikir apa. Jangan kamu pikirkan hal itu. Dengan mengetahui hubungan kalian baik-baik saja dan kondisi kalian yang sehat, itu semua sudah cukup buat kami.’ Della selalu saja terenyuh setiap berbicara dengan ibu mertuanya itu. Berbanding terbalik dengan sikap suaminya yang kerap bersikap angkuh dan dingin, sikap baik dan perhatian yang kedua mertuanya berikan, membuat Della tetap mempertahankan pernikahannya. Meski hari-harinya tak pernah bahagia karena sikap galak Naufal yang selalu membuatnya sakit hati, bagi Della menghormati dan menghargai sosok mama dan papa Naufal adalah kebahagiaan tersendiri yang bisa ia lakukan saat ini. ‘Baiklah. Sepertinya kamu harus istirahat. Mungkin kami berangkat pagi dari sini dan baru akan sampai di rumah sekitar siang menjelang sore hari. Titip salam untuk suami kamu dari Mama dan papa.’ “Iya, Mah. Titip salam juga untuk papa.” ‘Iya, Sayang.’ Setelah panggilan itu berakhir, segera Della mencoba menghubungi salah seorang teman Naufal yang besar kemungkinannya tahu tentang keberadaan suaminya tersebut. “Hallo, Rafael. Maaf mengganggu.” ‘Iya, Della. Apa ada yang bisa aku bantu?’ “Bisakah aku bertanya padamu mengenai keberadaan Naufal saat ini?” Tanpa basa basi, Della langsung menyampaikan keperluannya itu. ‘Kalau saat ini aku tidak tahu. Tapi, kemarin aku sempat melihatnya ada di sirkuit untuk menemui Stefany. Mungkin sekarang ia sudah kembali ke tanah air.’ “Jadi, Naufal sengaja mencari perempuan itu sampai ke area balapan?” ‘Hem, sepertinya begitu. Maaf, Del, tapi sebaiknya kamu tidak perlu tahu mengenai apapun yang Naufal lakukan di luar sana.’ “Kenapa? Apakah kalian pikir aku akan cemburu atau sakit hati?” tanya Della pelan. ‘Bukan. Aku tidak berpikir kamu akan cemburu karena aku tahu kamu tidak memiliki perasaan cinta padanya. Tapi, aku hanya khawatir kalau hal tersebut akan membuat pernikahan kalian semakin berada di ujung tanduk.’ “Haha, apakah separah itu menurut kalian?” ‘Ehm, entahlah. Tapi, aku pikir memang sebaiknya kamu tutup mata dan telinga atas sikap suami kamu. Sebab kami tahu apa yang Naufal lakukan di luar sana.’ “Jadi, sekarang pun kamu tahu di mana Naufal berada?” ‘Tidak karena aku sedang bertanding saat ini. Mungkin kamu bisa tanya Heri karena Daniel juga sedang bersamaku di sini.’ “Baiklah. Kalau begitu aku akan mencoba hubungi Heri. Terima kasih atas waktunya, Raf. Semoga mendapatkan hasil yang baik atas pertandingan kamu di musim ini.” ‘Terima kasih, Del. Semoga kamu bisa segera mendapat info mengenai keberadaan Naufal.’ Panggilan itu juga berakhir. Langkah terakhir yang bisa Della lakukan adalah menghubungi Heri, teman Naufal yang lain. “Hallo, Heri. Maaf, apakah aku mengganggu kamu malam-malam begini?” ‘Tentu tidak. Aku sedang santai sekarang. Ada apa?’ “Begini, apakah kamu tahu di mana Naufal sekarang?” tanya Della yang begitu penasaran. Bukan karena Della kangen atas kepergian Naufal yang belum kembali pulang setelah pergi selama seminggu ini. Tapi, karena kedua mertuanya yang akan berkunjung, membuat gadis itu berusaha ekstra mencarinya dan menemukan sosok sang suami yang sudah bisa dipastikan ada di tempat-tempat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. ‘Bagaimana kalau aku jawab, aku tahu? Apa yang akan kamu lakukan?’ “Bisakah aku meminta tolong padamu untuk menyuruhnya pulang?” ‘Ehm, bagaimana kalau ia tidak mau?’ tanya Heri lagi membuat Della geram mendengarnya. “Katakan padanya kalau besok kedua orang tuanya akan datang berkunjung.” ‘Maaf, Del. Sepertinya permintaan kamu akan sia-sia. Naufal sudah mabuk sekarang dan aku kesulitan untuk membujuknya pulang.’ Sontak Della kaget mendengarnya. Naufal mabuk? Ternyata banyak hal yang tidak ia ketahui mengenai sosok suaminya itu meski hubungan pernikahan mereka sudah berjalan selama enam bulan lamanya. “Baiklah. Tolong kamu kirimkan alamatnya. Aku akan menjemputnya sekarang!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN