Malam Pertama Yang Gagal

1736 Kata
Malam pengantin yang biasanya menjadi momen paling membahagiakan, nyatanya tidak begitu bagi pasangan Naufal dan Della. Keduanya yang baru menyelesaikan pesta pernikahan di sebuah hotel berbintang, saat ini sedang berkumpul bersama di sebuah salah satu kamar hotel yang dijadikan sebagai kamar pengantin bagi mereka. Baik Naufal dan Della tak berkutik ketika kedua orang tua mereka memaksa ingin mengantar sampai ke kamar. Padahal dalam hati Naufal, ia tak mau dibawa ke kamar itu dan lebih memilih untuk pergi ke suatu tempat demi melupakan pernikahan yang sama sekali tidak ia inginkan. “Mama harap kamu bisa memperlakukan Della dengan baik, Naufal. Mau apapun alasan kalian menikah, Della tetap menantu Mama,” ucap mama Naufal saat mereka hendak berpamitan. Malam itu semua keluarga memang masih menginap di hotel tersebut. Tapi, esok pagi semuanya harus kembali pulang ke rumah masing-masing, tak terkecuali papa dan mama Naufal yang harus pulang ke kota mereka. “Jangan mempermalukan keluarga untuk kedua kalinya. Kalau tidak, Papa sendiri yang akan menghukum kamu, bukan ayah Della yang seorang polisi itu lagi yang memberikan kamu pelajaran,” ucap papa Naufal dengan mimik kesal. Naufal hanya mengangguk. Ia tahu pasti bagaimana sifat papanya itu. Seorang pengusaha, pebisnis yang memiliki sifat otoriter, yang kerap membuat peraturan di dalam lingkungan rumah, yang selalu harus dipatuhi. “Tenang saja, Mah, Pah. Aku janji enggak akan mengulangi hal memalukan itu lagi,” ucap Naufal pasti. Padahal dalam hati, lelaki itu sudah memiliki rencana-rencana yang sesuai dengan egonya sendiri. “Kalau begitu, Papa dan Mama pamit istirahat. Kami akan menemui kamu lagi besok saat akan kembali pulang.” “Hem, ya Pah.” Ekspresi yang dibangun begitu tampak meyakinkan, membuat pengusaha sukses itu percaya kalau sang putra sulung tak akan berbuat macam-macam setelah proses pernikahan yang harus ia lewati. Kedua orang tua Naufal beranjak lebih dulu meninggalkan kamar dan kedua besannya. Ayah dan ibu Della terlihat sedang berbicara dengan putri semata wayang mereka sebelum pamit ke kamar masing-masing ketika mereka hendak melangkah keluar. “Apapun yang kamu lakukan, Ibu akan selalu mendukung kamu, Del. Ayah juga. Tidak ingin membuat kamu terbebani. Jika pernikahan ini membuat kamu menderita, kita akan cari solusi lain demi membuat kamu bahagia dan tidak tersiksa karena hubungan kesepakatan ini,” ujar ibu Della seraya memeluk tubuh putrinya itu. Setelah memeluk erat Della, gantian sekarang ayah gadis itu yang memberikan wejangan sebelum pergi meninggalkannya berdua dengan laki-laki yang masih membuatnya kesal. Beruntung bagi Naufal karena memiliki kedua orang tua yang bertanggung jawab dan memiliki harga diri tinggi. Sehingga perasaan seorang yang ayah yang anaknya disakiti oleh seorang laki-laki, bisa terobati dengan sikap kedua orang tuanya yang berkali-kali meminta maaf serta bersedia menebus kesalahan sang putra, apapun caranya. “Kami bisa melihat dengan jelas kalau menantu kami adalah gadis yang sangat baik. Apapun yang terjadi, Della adalah menantu di keluarga kami,” ucap mama Naufal sesaat setelah pesta berlangsung. “Maaf karena pernikahan ini harus diawali dari hal yang tidak baik. Kami harap muncul pelangi yang indah dalam kehidupan rumah tangga Naufal dan Della meski tidak didasari oleh perasaan suka satu sama lain. Terima kasih karena Bapak dan Ibu masih mau menerima anak kami sebagai menantu di keluarga kalian,” ucap papa Naufal, yang juga berjanji akan memberikan rumah bagi pasangan pengantin baru itu sebagai kado pernikahan mereka. Ayah Della bersyukur memiliki besan yang baik, yang sepertinya bisa menerima anak semata wayangnya itu. Hanya saja, jika pernikahan ini tidak berlangsung sesuai rencana, lelaki itu terpaksa mengambil keputusan untuk mengakhiri apa yang sudah dimulai. Sekarang lelaki itu memiliki kesempatan untuk memberikan pesan terakhir sebelum meninggalkan kamar. “Benar kata ibu kamu. Jangan merasa terbebani dengan pernikahan ini. Sejak awal pernikahan ini digelar demi untuk mengembalikan nama baik kamu atas perbuatan laki-laki b******k itu,” ucap ayah Della pelan. Tak ingin ucapannya terdengar oleh kedua orang tua Naufal yang terlihat berjalan keluar kamar. “Yah, lelaki b******k itu sekarang udah jadi suami aku,” ucap Della tersenyum pilu. “Ah, iya, Ayah lupa. Tapi, Ayah masih belum bisa menerimanya sebagai menantu Ayah.” Della masih berusaha tersenyum, meski sebetulnya ada perasaan yang tidak nyaman yang ia rasakan entah karena apa. “Ya sudah. Ayah dan ibumu pamit. Ayah harap tidak ada insiden macam-macam malam ini. Kita semua tahu pernikahan ini bukan diawali hal yang baik, jadi jangan memaksakan diri kalau kamu tidak mau.” “Iya, Yah. Aku ngerti. Tapi, beri aku kesempatan untuk menciptakan surga bagi pernikahanku sendiri. Walau itu tidak didasari oleh perasaan cinta yang seharusnya ada di dalam hubungan ini.” Ayah Della hanya mengangguk meski tidak setuju. Ia jelas tak ingin sang putri merasa sakit hati seandainya kehidupan rumah tangga yang ingin ia jalani tidak sesuai dengan apa yang ia rencanakan. Kedua orang tua pasangan itu kini benar-benar pergi meninggalkan kamar. Della yang masih takut melihat Naufal, memilih pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun, belum sampai langkah kakinya memasuki kamar mandi, suara Naufal tiba-tiba membuatnya menghentikan langkah. “Sepertinya kamu menikmati sekali peranan ini?” tanya Naufal yang kini berdiri di ambang pintu ruangan, pemisah antara ruang tidur dan ruang depan. Della sontak menengok dan menatap suaminya itu. “Maksud kamu apa? Peranan apa yang kamu maksud?” “Ya, peranan sebagai istri dari seorang Naufal Aeroon Caesar. Pembalap muda yang sedang naik daun dan karirnya tengah berada di puncak. Bukankah sedikit banyak kamu menikmati pernikahan ini?” “Siapa bilang? Apakah menurut kamu aku sungguh menyetujui pernikahan yang ayah aku sarankan?” “Apalagi?” Naufal menatap tajam sang istri. Kebencian lelaki itu pada istri barunya karena hubungan cinta yang terjalin dengan perempuan yang ia cintai, harus kandas sejak hari itu. “Aku bisa dengar sendiri kamu berbicara dengan ayah kamu. Apa tadi, menciptakan surga di pernikahan ini? Jangan mimpi hei, Perempuan!” Sakit hati Della ketika dengan teriakan, Naufal menunjuk wajahnya. Bukan dengan memanggil namanya —padahal saat ijab kabul tadi dengan jelas dan lantang Naufal berhasil menyebut nama Della dengan satu tarikan napas, tetapi kali ini sebuah panggilan terhadap seseorang yang seperti tidak saling mengenal terlontar dari mulut laki-laki itu bahkan dengan ekspresi melecehkan. “Ya, kamu memang tidak salah mendengar apa yang aku dan ayah obrolkan sebelum beliau pergi. Tapi, itu semata-mata karena aku tak ingin mempermainkan hubungan sakral ini. Sejauh kita masih berstatus sebagai pasangan suami istri, aku akan melakukan tugasku dengan semestinya. Tak peduli kamu tidak setuju atau tidak peduli. Tapi, bagiku tidak.” “Kau benar-benar keras kepala. Aku tidak akan iba jika kamu melihat hal buruk terjadi pada diriku selama kita menikah.” “Tidak masalah. Apapun yang kamu lakukan, silakan kamu lakukan. Hanya satu yang aku minta, jangan rusak kesucian pernikahan ini dengan bermain-main bersama wanita lain. Kecuali jika kita benar-benar berpisah setelah dirasa tak ada hal lain lagi yang bisa dipertahankan.” Naufal tersenyum sinis mendengar kalimat sok bijak yang Della ucapkan. Ia pun lantas mendekat dan berdiri di depan istrinya itu. “Kamu pikir aku peduli? Terserah apakah aku akan bermain dengan perempuan lain, kamu tidak memiliki hak untuk melarangnya.” Kali ini Della memberanikan diri menatap Naufal. Rasa takut dan trauma yang perempuan itu rasakan sebelum-sebelumnya, perlahan memudar seiring sikap Naufal yang mengeluarkan sikap aslinya. “Terserah! Mau kamu peduli atau tidak yang penting aku sudah katakan dan kamu pun mendengarnya dengan jelas. Sebab kalau kamu masih melakukan hal buruk itu, bisa dipastikan akan ada orang yang akan membuatmu menyesal karena sudah mengabaikan ucapanku.” Naufal menyipitkan matanya. Kata-kata yang Della ucapkan seperti sebuah sinyal agar ia tidak berbuat macam-macam. “Apakah kau sedang mengancamku?” “Tidak sama sekali. Tapi, mungkin papamu yang bisa melakukan hal tersebut.” “Kau!” seru Naufal yang hampir menarik pakaian pengantin yang masih Della kenakan. Namun, seketika ia tersadar dan urung melakukan kekerasan tersebut untuk kedua kalinya. “Aku tidak takut dengan ancamanmu. Mau itu papa atau mama yang melarangku, aku tetap tidak akan pernah peduli dengan pernikahan ini. Bagiku Stefany adalah satu-satunya perempuan yang aku cintai di muka bumi ini. Tak ada perempuan yang bisa menggantikan posisinya meski itu adalah kamu —perempuan yang kedua orang tuaku sukai.” Setelah berkata demikian, Naufal pun angkat kaki dari hotel tersebut. Ia meninggalkan kamar yang seharusnya menjadi saksi kehangatan hubungan ia dengan Della, perempuan yang pernah ia lecehkan yang sekarang sudah berubah status menjadi istrinya. ‘Silakan kamu pergi, karena pada akhirnya kamu akan kembali!’ gumam Della sembari menatap punggung Naufal yang beranjak pergi. Lalu, ia pun melanjutkan rencananya yang terjeda, yaitu membersihkan dirinya setelah seharian berpura-pura bahagia atas pernikahan yang sejatinya hanya sebuah kesepakatan. Di sisi lain, Naufal yang kesal dan marah, kini terlihat pergi menuju sebuah tempat di mana sebelumnya ia sudah meminta Daniel, Heri, dan Rafael untuk menunggunya di salah satu tempat hiburan malam ibukota. Ketiganya yang menyetujui permintaan Naufal, sudah menunggu sekitar satu jam yang lalu, tepat setelah pesta usai digelar. “Kamu sungguh-sungguh meninggalkan istrimu, Fal?” tanya Daniel tak menyangka kalau sang kawan benar-benar datang menemui mereka di klab malam tersebut. “Aku sudah katakan bukan? Kenapa kamu masih menyangsikan ucapanku?” balas Naufal seraya menduduki sebuah bangku kosong yang sengaja kawan-kawannya siapkan. “Mungkin Daniel hanya khawatir kalau istrimu ditinggal sendirian akan terjadi hal yang tidak diinginkan,” kekeh Heri menyambar. Daniel pun mendelik tak setuju atas ucapan Heri barusan. “Oh, jadi kamu mau bersaing perhatian dengan Rafael?” sahut Naufal bertanya. “Kok aku dibawa-bawa?” Rafael bertanya tak suka. “Ya ... setelah malam lalu kamu mengkhawatirkan perempuan itu, sekarang giliran Daniel yang mengkhawatirkannya. Padahal kali ini dia lebih aman sebab tinggal di kamar hotel yang mewah,” ujar Naufal sinis. Ia kemudian terlihat menenggak minuman beralkohol yang ada di atas meja. Tampak ekspresi Rafael yang ingin sekali menghajar kawannya itu, tapi dari gerakan mata dan tangan Heri, hal tersebut pun ia urungkan. “Tentu saja mewah, secara papaku dengan sukarela mengeluarkan uang untuk menantu barunya itu,” ucap Naufal yang tiba-tiba curhat. Tiga temannya sontak saling diam dan menatap satu sama lain. “Tapi, mau bagaimana pun seharusnya Stefany yang mendapati posisi itu. Bukan perempuan yang terlihat sok polos yang sudah membuat semua impianku hancur karena pernikahan ini!” seru Naufal mulai tak terkontrol. Padahal ia masih terlihat segar dan tidak mabuk. “Seharusnya kamu sudah mengetahui resikonya ketika memutuskan untuk menikahi Della,” sahut Rafael yang membuat Naufal tersenyum sinis. “Sepertinya aku tidak salah menyangka kalau kamu benar-benar memiliki ketertarikan pada perempuan itu, Raf!” ucap Naufal sinis. “Kau gila!” sahut Rafael kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN