VI. Menggemaskan

1377 Kata
Kesibukan menjadi mahasiswa sudah sewajarnya dirasakan oleh Rindy. Terlebih gadis cantik itu mengambil jurusan Kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Sebenarnya, Rindy sama sekali tidak pernah bekeinginan berkutat di dunia kesehatan. Sedari kecil Rindy lebih membayangkan bahwa besar nanti ia ingin menjadi desainer terkenal atau paling tidak ia ingin menjadi styles nya para artis. Itu yang Rindy mau. Namun ketika menginjak bangku kelas 3 SMA, wali kelas dan beberapa guru selalu menanyakan tentang jurusan apa yang akan Rindy ambil ketika lulus nanti. Dan kala itu jujur, Rindy selalu menjawab; "Belum tau, Bu, Pak." Dan karena jawaban itu pula, para guru kerap kali memberinya masukan untuk mengambil kedokteran saja. Menurut mereka Rindy cukup kompeten dalam bidang itu dengan kecerdasan akademik yang dimilikinya. Setiap mendapati masukan tersebut, gadis mungil itu menanggapinya dengan senyuman dan kata 'insyaallah'. Rindy bukannya malu dengan cita-citanya. Hanya saja, gadis itu tidak ingin egois menuruti egonya akan sesuatu hal meskipun itu untuknya sendiri. Rindy memang mempunyai cita-cita. Tetapi jika ada jalan yang lebih baik dan itu berpeluang besar, Rindy pasti mencoba. Ia menganggap itu adalah pintu dari Tuhan untuk umatnya yang butuh arahan. Ketika tiba saatnya para siswa kelas 12 yang terpilih bisa mendaftarkan diri di SNMPTN, kala itu Rindy salah satu dari 100 orang di SMA nya. Ia mendaftar di dua PTN dengan PTN pertama prodi Kedokteran, dan PTN kedua dengan Kedokteran dan Tata Rias atau kecantikan. Dan benar, setelah memasukkan datanya ke dalam kolom untuk pengecekan lulus atau tidaknya, kata selamat terpampang berserta namanya dan prodi yang diterima. Disitu menjelaskan bahwa gadis bermata bulat itu lulus di PTN pertama yang otomatis jurusan Kedokteran. Layaknya orang lain, Rindy pun sama bahagianya mendapati dirinya lolos. Apalagi itu kedokteran. Memberi kabar gembira itu kepada orang tua, tentu saja mereka turut bahagia dengannya. Ketika itulah Rindy mulai berpikir rasional. Jika ia tidak mengambil kesempatan yang sudah pasti, Rindy takut mengecewakan keluarga dan orang terdekatnya. Terutama penyesalan. Gadis berambut sebahu itu tidak ingin menyesal akan apa yang sudah dijalaninya. Jadi, meskipun besar kemungkinan pula ia bisa masuk di bidang yang ia mau, mencoba ikhlas Rindy melepas keinginan tersebut. Biarlah. Mungkin ini jalan dan sudah menjadi ketentuan dari Allah untuknya. Toh, Rindy masih bisa melakukan kesenangannya itu disela-sela perjalanan hidupnya seperti setahun belakangan. Bahkan dengan hobinya tersebut, Rindy bisa menghasilkan uang dari mereka yang menggunakan jasanya. Selain kesibukannya sebagai mahasiswi kedokteran, Rindy juga kerap kali mengunjungi restoran milik Ratih, bundanya. Jika tidak terlalu sibuk, Rindy juga sering ikut membantu disana. "Bunda, Rindy pulang dulu ya?" wanita paru baya berkerudung hijau tosca yang sedang membantu karyawannya di dapur berbalik melihat kearahnya. "Cuma dua porsi aja, sayang?" "Iya, Bun. Ini juga tadi dadakan ordernya." jawab Rindy dengan kantong plastik putih s**u di tangan kirinya. "Ya udah kalo gitu. Hati-hati di jalan. Kalo capek pake grab car aja, Ndy." saran Ratih kepada putrinya itu. "Gak, Bun. Kayak biasa aja. Assalamu'alaikum," "Wa'alaikumsalam," Rindy keluar dari restoran dan berjalan di pinggir jalan raya sembari fokus ke ponsel untuk memesan ojek online. Tiba-tiba dari samping kanannya, sebuah motor gede menderum dan berjalan pelan seperti menunggunya. Sebenarnya Rindy sudah mendapatkan driver dan tinggal menunggunya tiba saja. Hanya ia merasa risih pada pengendara berhelm hitam dengan jaket dan celana jeans hitam itu. Dan yang semakin membuat gadis itu merasa takut adalah ia merasa seperti diperhatikan oleh mata dibalik helm gelapnya. Jadilah Rindy berusaha tak acuh dengan pura-pura memainkan smartphone. Tiga meter melangkah, Rindy refleks menghembuskan napas lega karena motor tadi sudah tidak mengikutinya. Hingga tiba-tiba gadis mungil itu dibuat terperanjat oleh motor yang mengambil alih tepat di depannya berdiri. Masih diatas motor, orang itu membuka helmnya lalu menatap Rindy. "Mbak Rindy? Sesuai maps ya mbak?" tanyanya diakhiri ringisan geli. Orang itu ternyata Nando. Cowok itu menyugar rambut sekali sebelum turun dari motor. Kini ia sudah berhadapan dengan Rindy. "Aku pikir siapa." ujar Rindy tak pelak senyum lega di wajahnya. "Udah mau maghrib gini sendirian aja. Emang mau kemana?" "Aku mau anter orderan pelanggan." alis Nando bertautan tipis. "Lo jualan?" Rindy bergeleng. "Bunda aku. Bunda punya restoran yang disana." sahutnya dengan menunjuk ke belakang. Nando mengangguk-anggukan kepala. "Gimana kalo gue anter?" Rindy spontan menatap tepat ke netra hitam pekat milik Nando. "Eh? Gak usah. Aku udah dapet ojol nya kok." tolaknya halus. Selain ragu karena belum terlalu kenal Nando, Rindy juga tidak tega pada bapak-bapak ojol nya. "Batalin aja." sahut Nando santai. "Gak papa kok, Nan. Lagian kasian orangnya kalo dibatalin. Itu orangnya deh." bertepatan dengan itu Rindy menangkap plat motor yang sama dengan yang tertera di aplikasi. Nando segera menyela sebelum Rindy hendak mendekati bapak-bapak itu. "Ini Pak. Pacar saya tadi ngambek makanya pesen ojol. Tapi sekarang udah baikan kok. Jadi saya ganti aja ya, Pak." ucap Nando memberikan uang pecahan lima puluh ribu pada Pak ojol. Rindy hendak protes namun tersela oleh Pak Ojol. "Wah Mas, segini mah lebih banyak loh Mas." "Ambil aja, Pak. Anggap itu uang ganti rugi." Pak Ojol menerima dengan senyum enak yang dibuat malu-malu. "Makasih lho, Mas. Kalo begitu saya pergi dulu Mas, Mbak." "Pak, tunggu Pak!" cegah Rindy yang sayangnya percuma. Motor vario orange itu sudah melaju pergi. Rindy menghela napas tak rela melihat ke arah perginya Pak Ojol. "Udah sama gue aja." Rindy refleks menoleh pada sumber suara. Nando terlihat sudah stand by diatas motor dengan mesin menyala. Mau tak mau Rindy pun menurut naik dengan bantuan bahu Nando dan setelah duduknya nyaman, Nando serta merta melajukan motornya. Sekitar 15 menit, Nando menghentikan motornya di depan sebuah rumah minimalis bertingkat dua. Rindy turun dengan kembali bertumpu dibahu Nando. Nando melepas helmnya lalu di sampirkannya di kaca spion. Dan gerakan Nando itu menimbulkan kerutan tanya dikening Rindy. "Kamu gak pulang?" "Kok pulang?" Nando ikut-ikutan mengeryit samar. "Ya... kan udah nyampe." "Ini bukan rumah lo, kan?" tanya Nando yang diangguki gadis cantik itu polos masih dengan keryitan bingung. "Ya udah gue tungguin." "Tap—" "Rindy?" suara bass khas cowok menghentikan ucapan Rindy dan juga atensi gadis itu dan Nando. Mengetahui itu Angga, Rindy berjalan mendekati lelaki tersebut. "Ini Kak, pesanannya." Angga menerima plastik yang disodorkan Rindy. "Kenapa gak bilang kalo udah nyampe? Dari tadi?" "Nyampenya barusan kok." "Aku pulang ya, Kak." lanjut Rindy setelahnya. "Gak mau main dulu sama Chika?" balas Angga yang mendapat gelengan pelan Rindy. Chika itu adalah anak kecil berusia 4 tahun, adik Angga. Yang juga dekat dengan Rindy. "Salam aja buat Chikanya." Angga mangut-mangut saja. Ketika itu tak sengaja matanya menangkap orang lain selain ia dan Rindy. Dan iris hazelnut nya bertemu tatap dengan netra hitam tajam milik Nando. Sebenarnya pertama menyadari kedatangan Rindy, dia juga sudah melihat cowok yang masih setia duduk diatas motor sportnya. Mungkin karena tidak terlalu penting baginya, jadi Angga melupakannya begitu singkat. Sehingga tanda tanyapun telat menimpanya. "Ndy, dia siapa?" tegur Angga pada Rindy lalu mengkode ke belakang dimana Nando berada. "Temen." selang itu tercipta diam antar keduanya. Rindy pun melanjutkan. "Mmm... Rindy pulang ya, kak?" "Hm? Iya." Angga sambil mengangguk. Matanya mengikuti Rindy yang mendekati cowok yang tak dikenalnya. Tiba Rindy sudah membonceng, gadis itu mengangguk segan sekedar pamit kearahnya sebelum derum motor meninggalkan Angga sendiri. Mulai dari situlah Angga mempunyai firasat dimana ia harus waspada. ..... Kembali lagi, untuk kedua kalinya Nando berhenti dengan Rindy diboncengannya. Bedanya, kali ini kedua insan berbeda genre itu berhenti di depan rumah bercat abu-abu dengan sentuhan hitam disaka depan. Itu rumah Rindy. "Makasih ya, udah nganterin." ucap Rindy setelah turun. Nando pun ikut mengubah posisi yang kini memilih menyandarkan diri pada motor sambil bersedekap menatap Rindy. "Gitu doang?" alis rapi Rindy bertautan. "Maksudnya?" "Nothing is free, babe." Rindy semakin memberengut mendengarnya. "Tapi aku kan gak minta. Malah kamu yang cancel grab tadi kan?" wajahnya cemberut lucu. Sedetik kemudian gadis itu menghela napas pasrah. "Ya udah deh, gak papa. Kamu minta berapa?" Didepannya, Nando tersenyum kecil masih terus melihatnya geli. Baginya, cewek didepannya ini layaknya anak kecil yang menggemaskan. Cuma ya begitu, apapun tentang wanita jika mampir di benak Leonando, semua tidak akan jauh-jauh dari hal tidak senonoh. Yang artinya, gemasnya Nando saat ini bukan gemas sesimple seseorang yang ingin mencubit pipi berisi milik Rindy. Minimal, ekhem. Menghisap bibir ranumnya mungkin? Nando mengambil sesuatu dari kantong celana jeansnya. "Nomer hape lo." Rindy tidak langsung mengambil benda tipis berlogo apel itu. Rindy justru merasa ragu mereflekskan ia menggigit bibir bawahnya. Dan otomatis pula Nando melirik kearah bibir tipis merah jambu itu. Fokus Nando segera buyar dari memperhatikan bibir Rindy ketika gadis itu mengambil smartphone nya dan mengetikan rangkaian angka disana. Setelah selesai, Rindy mengembalikan ponsel pada empunya. Gadis itupun pamit menggeser gerbang rumahnya, lalu menutupnya kembali hingga benar-benar tubuh mungilnya tak lagi nampak dari penglihatan Nando.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN