VII. Jalan Berdua

1461 Kata
Sudah menjadi hal lazim bila Nando kedapatan bergandengan dengan wanita yang berbeda-beda disetiap minggunya. Terlihat begitu mesra biarpun siklus perkenalan terjadi begitu singkat. Baginya itu tidak masalah. Toh, ceweknya juga iya iya saja. Satu lagi, acap kali membawa pasangan, Nando pasti akan mengajak teman kencannya ke cabang salon milik Maminya yang berada di sebuah mall. Dan itu sudah seperti rutinitas bagi Nando. Seperti sekarang ini. "Makasih ya, Sayang. Muka aku kerasa ringan banget. Rambut aku juga. Modelnya aku suka. Salon punya Mami kamu emang the best!" puji wanita cantik bertubuh semampai dengan kulit eksotisnya yang kenyal. Wajahnya terpancar jelas kesenangan karena baru saja tubuhnya mendapat perawatan high-class. Dan itu didapatnya secara gratis! Nando tersenyum menanggapi wanita yang bergelayut manja dilengannya. "Sama-sama. Sekarang kita kemana? Makan? Atau belanja?" "Kalo sepatu yang disana, boleh gak?" Nando mengikuti arah tunjuknya. Nando mengangguk mengiyakan. Wanita itu memekik tertahan, girang. Wanita mana yang akan menolak jika dimanjakan dengan cara begini? Keduanya berjalan mendekati toko sepatu yang dimaksud. Wanita itu langsung menghambur melihat-lihat koleksi heels dengan harga yang fantastis. Lain hal dengan wanita yang tengah menggigit jarinya karena bingung dengan beberapa pilihan yang ada, Nando justru santai memainkan handphone-nya. "Sayang," Nando menoleh juga berdeham. "Aku bingung pilih yang mana. Abisnya bagus-bagus semua." "Yang mana?" "Itu, Yang. Aku paling suka sih tiga itu." wanita itu melihat kearah Nando. "Menurut kamu mana yang paling cocok sama aku?" "Semuanya." "Tuh, kan? Kamu malah bikin aku tambah bingung. Gimana dong? Yah... kecuali ada yang beliin tiga-tiganya sih," ucapnya memelan dikalimat terakhir. "Ambil aja." celetuk Nando menerbitkan mata berbinar juga senyum tertahan wanita itu. "Serius, boleh?" Nando kembali mengangguk. "Tapi," Nando merapatkan tubuh bersisian dengan cewek itu lalu meremas b****g sexy-nya. "Sampai pagi, ya." bisiknya tepat di telinga teman kencanya itu. Wanita itu ikut menoleh sehingga tatapan mereka bertemu dengan jarak yang begitu intim. "Sesuka kamu aja." Cup. Setelah mengecup pipi Nando, cewek itu langsung meminta pramuniaga untuk membawa ketiga pilihannya tadi ke kasir. Nando menyungging senyum miring. Itulah wanita. Belum cukup meminta tiga pasang sepatu mahal, kekasih mingguan Nando itu meminta lagi mampir di sebuah toko pakaian branded. Nando membiarkan saja. Karena sudah terlalu sering menemani wanita berbelanja, Nando menjadi sangat hapal waktu cepat tidak akan pernah terjadi jika sudah menyangkut memilih-milih bagi kaum hawa. Jadilah lelaki itu memutuskan berjalan menghilangkan bosan ketimbang harus menunggu. Ketika sedang berjalan itulah Nando tidak sengaja melihat siluet seorang gadis yang dikenalnya. Kakinya berderap melangkah menuju gadis yang tengah memilih aksesoris bayi itu. "Hei," sapa Nando setelah sudah di samping gadis tersebut. Rindy. Gadis itu menoleh ke asal suara. "Hei. Disini juga?" Nando menaikan sebelah alis sekilas. "Berasa gak kalo lo jodoh gue?" Rindy langsung mengeryit curam dengan senyum tertahan. "Kok gitu?" "Ada yang bilang kalo cewek dan cowok bertemu tanpa disengaja sebanyak tiga kali, itu tanda-tanda kalo mereka jodoh. Sedangkan kita, kayak nya lebih deh dari tiga. Itu artinya... kita jodoh banget kali ya?" Rindy terkekeh hingga matanya menyipit mendengar tuturan lawas Nando. Cowok itupun sama menampilkan senyum melihat gadis didepannya begitu karenanya. Setelah mereda, Nando kembali bertanya. "Beli buat siapa?" "Hm, ini? Tante aku baru aja lahiran. Dan anaknya cewek. Makanya aku mau beliin bando lucu-lucu buat dia." jelas Rindy sambil kembali sibuk memilih. "Cantik gak anaknya?" "Cantiklah." "Percaya. Tapi gue yakin gak lebih cantik dari cewek disebelah gue. Benerkan?" "Gak tau." "Kok gak tau? Jawab iya aja sih?" "Hmmm" Keduanya tak lagi bersuara. Rindy bertekur dengan beberapa aksesoris di tangan kirinya dan masih mencoba memilah lagi. Sedangkan Nando, cowok itu menilik Rindy begitu intensnya. Gadis itu menggunakan t-shirt putih lengan pendek dengan bawahan skinny hitam. Sangat simple memang. Tetapi entah kenapa, di mata Nando cewek ini sangat menguji imannya yang sebenarnya sudah tipis. Pandanganya seperti laser mengintai dari atas hingga ujung kaki ramping tubuh mungil itu. Sial! Kata mungil inilah yang masih mengganjal dipikiran Nando. Bagaimana sensasi kulit putih s**u itu jika berada dibawah sentuhannya. Juga bagian favourite Nando yang ada dibalik kaos itu membuatnya semakin frustasi penasaran. Tatapannya kini jatuh pada wajah ayu milik Rindy. Matanya lumayan belok begitu cantiknya ditambah hiasan bulu mata lentik. Hidung kecil nan mancung, tak lupa bibir mungil merah alami yang pasti sudah ranum. Apapun yang ada pada Rindy, semua terkesan mungil dan manis. Nando menelan salivanya kasar ketika berlama-lama pada bibir dan cela lehernya yang terlihat ketika gadis itu menyibak rambutnya ke belakang. Nando tersentak pelan saat sosok yang tengah dipandanginya melengos begitu saja. Lantas diikutinya Rindy yang ternyata menuju ke kasir. "Pake ini mbak," Nando menyodorkan kartu kredit pada kasir sebelum Rindy terlihat hendak menyerahkan dua lembar uang seratus ribu. Rindy tak bisa berkata apa-apa untuk menolak. Kasir itu tahu-tahu sudah memberikan barang belanjaanya dan mengucapkan terima kasih. Selesai membayar, Rindy dan Nando berjalan bersisian dari sana. "Ini," Nando melihat uang yang disodorkan gadis itu padanya tanpa ada niat menerima. "Gak usah." tolaknya kemudian. "Gak papa, Nan. Ini," "Gak usah." "Tapi ini uang kamu." Rindy gemas menarik tangan Nando. Cowok itu tersenyum kecil beralih menggenggam tangan mungilnya. "Gue ikhlas, kok." Rindy menggeleng cepat menimbulkan decakan geli dari bibir Nando. "Yaudah gini aja. Pas lo kasih barang-barang itu ke tante lo, lo bilang aja itu dari gue. Setuju?" tawar Nando. Rindy terlihat memikirkan tawaran tersebut. "Yaudah, iya. Kalo gitu makasih ya. Maaf ngerepotin kamu." "Gak ada yang direpotin. Apalagi buat kamu." goda Nando dibalas senyum malu Rindy yang saat ini tangannya dielus cowok itu. Dering ponsel dari celana Nando mengambil alih perhatian cowok itu. "Halo?" "Kamu dimana? Aku udah selesai tinggal ke kasir." "Aku kesana." "Aku tunggu. Jangan lama-lama." bip. Usai itu Nando menghadap Rindy. "Ndy, gue duluan ya. Temen udah telpon ngajak balik katanya." "Oh, iya iya." Nando hendak berbalik namun tidak jadi. "Besok lo kosong gak?" Rindy sempat mengeryit bingung sebelum mengangguk ragu. "Jam sembilan gue jemput. Entar gue calling." setelahnya Nando benar-benar pergi menyisahkan Rindy yang terdiam memandangi punggungnya menjauh. ..... Di minggu pagi ini Rindy sudah siap dengan pakaian casual. Keluar dari kamarnya, Rindy bertemu dengan Ratih yang juga sudah terlihat rapi akan pergi ke restoran. Rindy menghampiri bundanya itu. "Ayah mana, Bun?" "Lagi istirahat. Kurang enak badan." air muka Rindy menjadi khawatir. "Udah minum obat belum, Bun? Atau obatnya gak ada? Rindy beliin di apotik sekarang, ya?" "Gak usah, Sayang. Sebelum tidur ayah kamu udah minum obat kok." jelas Ratih menenangkan Rindy. Rindypun mendesah lega. "Oiya Bun, Rindy ijin mau jalan sama temen." "Temen kampus kamu yang sering kesini itu?" yang dimaksud adalak Katy, April dan Billa. "Bukan, Bun. Ini... temen kenalan waktu Rindy jadi relawan di panti asuhan kemarin." "Cewek?" Rindy menatap bundanya ragu. "Cowok sih, Bun. Dia anak salah satu donatur disana." Ratih sempat terdiam sejenak sebelum kemudian bersuara. "Ya udah, bunda bolehin. Yang penting, kamu jaga diri baik-baik. Berteman sama siapapun boleh, tapi kalo kamu udah ngerasa mereka membawa hal negatif, kamu jaga jarak." wejang Ratih yang diiyakan sang putri. "Iya, Bun." "Jam berapa perginya?" "Katanya sih, jam sembilan Bun. Tapi kayaknya agak telat." Ibu dan anak itu sudah berada di teras rumah. "Tadinya bunda mau lihat teman kamu itu. Tapi bunda udah harus cepet pergi ke resto. Lain kali aja, deh. Bunda pergi duluan. Assalamu'alaikum." "Iya Bunda, Wa'alaikumsalam. Hati-hati Bunda!" Ratih menaiki motor matic putihnya. Milihat itu secara spontan Rindy menuju gerbang untuk memberi jalan pada bundanya itu. Tak berselang lama, sebuah mobil BMW merah metalic terlihat sempurna diterpaan sinar mentari yang perlahan mulai meninggi. Mobil itu berhenti tepat di depannya berdiri. Pintu kemudi terbuka disusul oleh sosok lelaki tampan setelahnya. Ternyata orang itu Nando. "Mobil kamu?" tanya Rindy mendapat senyum geli Nando. "Iya. Emang gak meyakinkan?" "Engga... kirain kamu bakal pake motor." Nando membimbing Rindy sesudah gadis itu menutup gerbang kembali. Berjalan ke sisi lain mobil dan membukakan pintu untuk gadis itu masuk dan duduk. Dirinyapun melakukan hal sama dan melajukan mobil menelusuri jalur lalu lintas. Hanya terjadi hening dengan pendingin mobil yang terasa sejuk menusuk kulit dipanasnya Jakarta di luar sana. Sekitar 20 menit perjalanan Rindy mulai penasaran. "Kita mau kemana?" pertanyaan Rindy mengawali perbincangan mereka. "Lihat kembaran Rindy." Rindy menautkan alis ragu. "Aku gak punya kembaran." "Kembaran beda ayah ibu." "Emang ada?" "Ada." Mobil sport Nando memasuki area sebuah kebun binatang. Berhenti sejenak untuk pengecekan saldo JakCard nya. Setelah dikatakan cukup, Nando kemudian sedikit melaju lagi mencari tempat parkir. Ketika dapat, Nando dan Rindy keluar dari mobil. Keduanya ikut mengantre dengan pengunjung lain untuk menge-tap kartu masuk. Berhasil masuk Nando langsung menggandeng tangan Rindy membuat gadis itu sedikit tersentak karena tak terbiasa. "Jangan lepas. Takutnya kamu kehimpit sama mereka. Entar tambah kecil, kan repot." ucap Nando saat Rindy hendak menarik tangan. Dan tuturan cowok itu membuat Rindy kesal refleks memukul lengan atasnya. "Enak aja! Aku udah duapuluh tahun, tau." Nando pura-pura menimang ungkapannya. "Aku butuh bukti sih." keduanya saling tatap lekat dari samping. "Tapi, nanti aja yang spesifik. Biar sekalian klimaks." Nando menaikan alis jahil dan langsung menarik Rindy sebelum gadis itu sempat mengeluarkan pertanyaan. Keduanya mulai menyisiri tempat wisata dengan sesekali senyum dan tawa menghiasi acap kali mereka melihat hewan-hewan yang tidak setiap harinya mereka pandang nyata. Salah satunya ketika bertemu hewan primata disana. Rindy kembali memukul lengan Nando ketika lelaki itu memberitahu bahwa hewan itulah yang dimaksud kembarannya. Dan selama perjalanan itu pula genggaman tangan keduanya masih terjalin kuat layaknya satu kesatuan yang utuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN