Air duduk bertopang dagu di meja makan unit apartemen Shaleta sambil menatap punggung gadis itu yang sedang menyiapkan makan malam. Senyum tidak bisa lepas dari bibirnya sedari tadi.
Seandainya dulu dia berani mengutarakan isi hatinya. Mungkin saja Shaleta sudah menjadi miliknya. Mungkin hal yang sama seperti sekarang ini akan setiap hari dia alami. Terlambat. Air memejamkan matanya seraya menarik nafas dalam-dalam.
Air berdiri dari posisi duduknya. Melangkah mendekati Shaleta. “Butuh bantuan?”
Shaleta menoleh dan mendongak menatap Air yang sudah berdiri di sampingnya, lalu menggeleng pelan. “Bentar selesai, kok Pak. Bapak duduk aja.”
Air menurut. Kembali duduk di tempatnya. “Shasa?” panggil Air lembut.
“Iya?” Shaleta menoleh ke belakang menatap Air sejenak.
“Boleh tanya?”
“Boleh. Bapak mau tanya apa?”
“Kamu kemana?”
Gerakan tangan Shaleta yang sedang mengaduk sop terhenti sejenak mendengar pertanyaan Air. “Pertanyaannya bisa gak, kalau diganti Pak?” tangan Shaleta kembali bergerak.
“Enggak. Kamu menghilang kemana?”
“Saya mana bisa ngilang, sih Pak. Saya ada, kok.”
“Aku serius, Shasa.”
“Ini, Bapak yakin mau bahas tentang itu?” Shaleta tersenyum singkat saat mengatakannya.
“Yakin.”
Shaleta mematikan kompor lalu berbalik dan berjalan menuju Air di meja makan. “Bukan menghilang. Menghindar, mungkin?” Shaleta duduk di kursi yang berseberangan dengan Air.
“Menghindar?”
Shaleta mengangguk pelan. Sangat kekanakan memang. Tapi memaksakan tetap berada di sekitar Air, sulit untuk dia lakukan saat itu. Shaleta pikir dengan menghindar sakit hatinya akan cepat hilang dan perasaannya bisa kembali netral.
“Gak ada kabar dan gak ada dimana-mana, itu yang kamu bilang menghindar? Itu menghilang namanya! Ya Tuhan, Shasa!” geram Air dengan suara pelan.
“Bap--”
“Siapa yang kamu hindari?”
Shaleta bertopang dagu. Lalu memiringkan kepalanya sedikit menatap wajah penasaran Air. “Air Nakhla Adinata.”
Air menatap manik mata Shaleta dalam. “Aku?”
Shaleta mengangguk kecil.
“Kenapa aku?”
Shaleta menghela nafas pelan. “Saya-- malu, Pak. Saya gak bisa, eng... belum bisa lebih tepatnya. Ketemu sama Bapak setelah Bapak official sama Gadis. Awkward rasanya. Jadi, ya gitu.” Shaleta mengedikkan kedua bahunya. “Saya ambil kuliah di luar kota dan nomor ponsel saya, saya ganti. Sengaja saya gak kasih tahu siapa-siapa kecuali keluarga saya.” Shaleta berhenti bicara sejenak menunggu respon Air. Tapi laki-laki itu hanya terdiam.
“Saya malu karena saya punya kesalahan. Kesalahan saya adalah salah mengartikan semua ucapan dan perhatian Bapak sebagai bentuk rasa sayang. Ketika Bapak official sama Gadis, yang notabennya adalah teman dekat saya. Saya kayak dapat double jackpot. Merasa konyol sama diri saya sendiri karena sudah mengulangi kesalahan yang sama.”
“Maksud kamu?”
“Saya pernah lebih dulu salah paham dengan sikap seseorang sebelum saya salah paham dengan sikap Bapak. Bodoh banget gak, sih saya?” Shaleta tertawa hambar.
Seseorang itu hadir sebelum Air. Bukan untuk menetap tapi untuk pamit. Rasanya sia-sia Shaleta menepati janjinya untuk menunggu. Pada akhirnya, hatinya tetap saja tidak dipilih. Namun, entah bagaimana, keberadaan Air saat itu membuat Shaleta hanya sebentar merasakan sakitnya patah hati. Keberadaan Air membuat Shaleta yakin bisa melewati semuanya dengan baik. Hal yang tidak disadari oleh Shaleta adalah kenyataan jika hatinya sudah berpindah pada Air hingga laki-laki itu akhirnya memilih bersama Gadis.
“Lagi-lagi saya dengan sadar menempatkan diri saya sendiri sebagai pilihan bukan yang patut untuk dipilih. Saya gak tahu bagian mana dari diri saya yang salah. Pikiran saya yang dangkal? Atau perasaan saya gampangan?”
Penjelasan Shaleta membuat nafasnya tercekat. Air bahkan membelalakan matanya tidak percaya.
Shaleta tertawa kecil. Sedikit lagi saja Air membuka kelopak matanya, Shaleta yakin mata laki-laki itu akan keluar.
Air menghela nafas kasar. ”Maaf, Shasa. Aku terlalu gegabah ambil keputusan waktu itu. Aku malah basahin luka kamu lagi.”
“Jangan minta maaf. Bapak, gak salah.”
Air menautkan jemarinya satu sama lain di atas meja. “I am.” Air menundukan kepalanya dalam.
“Pak?” panggil Shaleta lembut. Tangannya terulur menyentuh tangan Air.
“Hmm,” Air mendongakan kepalanya.
“Bapak gak salah, kok. Saya yang salah. Harusnya saya gak mengharapkan apa-apa dengan hubungan kita, karena sejak awal Bapak gak pernah janjiin apa-apa sama saya.”
Air menggeleng. “Aku kelimpungan banget cariin kamu.”
“Kenapa Bapak cari say--”
“Because, I love you Shasa.”
Shaleta sedikit memajukan telinganya. “Bapak, apa?”
Air menatap manik mata Shaleta dalam. “Shasa. Kamu gak salah paham sama sikap aku. Aku yang pengecut. Aku cinta kamu, tapi aku gak berani ungkapin perasaan aku ke kamu. Aku malah milih manfaatin perasaan yang Gadis punya untuk aku.”
Shaleta sedikit tertegun mendengar apa yang Air katakan. Hah?
Air menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kenapa penyesalan selalu datang terlambat? Sebesar apapun usahanya untuk mendekati Shaleta tidak berarti apa-apa ketika gadis itu masih mengharapkan hati milik laki-laki lain. Satu-satunya cara yang tersisa di otaknya itu, menjalin hubungan dengan teman dekat Shaleta. Air pikir akan baik-baik saja selama dia masih bisa berada di dekat Shaleta meski statusnya pacar teman gadis itu. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Shaleta pergi meniggalkannya.
Shaleta menggeleng. “Saya menghindar dari Bapak. Jadi saya sama pengecutnya. Kita lupain aja semuanya, ya Pak.”
Air menatap Shaleta lembut. “Tapi aku gak bisa lupain kamu, Shasa. Gimana, dong?”
“Hah?” Shaleta mengerjapkan matanya.
Air tertawa kecil. Bagaimana bisa dia melupakan semuanya? Jika dari sebelas tahun lalu perasaannya selalu sama, tidak ada niat untuk berubah. Air hanya menginginkan Shaleta. Shasa-nya seorang.
Melihat Shaleta duduk di hadapannya hari itu seketika rasa rindunya mendesak hingga d**a Air ingin meledak rasanya. Berusaha sekuat tenaga menahan diri agar tidak memeluk Shaleta saat itu juga. Air bersyukur karena Tuhan telah berbaik hati mengantarkan Shaleta kembali padanya disaat dirinya sudah akan putus asa bisa menemukan Shasa-nya.
Untuk beberapa saat Shaleta hanya terdiam menatap manik mata Air dalam. Mata laki-laki itu menunjukan sorot ketulusan dan keseriusan. Lalu apa?
“Boleh, aku jalani lagi sama kamu? Melanjutkan lagi separuh jalan yang pernah aku lewati?”
Shaleta termenung mendengar pertanyaan Air. Pikirannya menerawang kembali ke masa SMA-nya, masa kebersamaannya dengan Air. Tapi, masa-masa itu kini hanya menjadi kenangan. Seharusnya perasaannya tidak lagi sama seperti sebelumnya.
“Diamnya kamu, aku anggap boleh.”
Tidak ada lagi percakapan di antara keduanya. Hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring yang memenuhi pendengaran mereka berdua.
Air menatap Shaleta lekat. “Shasa?” panggil Air lirih sambil melangkah mendekati Shaleta yang sedang berdiri di ambang pintu unit apartemen gadis itu.
“Iy-- akh!” Shaleta memekik kecil ketika Air tiba-tiba saja menarik pinggangnya mendekat hingga tidak ada jarak lagi diantara keduanya. Shaleta menelan salivanya susah payah. “Pa-pak...”
“Makasih untuk makan malamnya.”
“O-oh, iya Pak. Terima kasih juga Bapak sudah mengantarkan saya pulang.” kata Shaleta sambil menahan d-ada bidang Air agar tubuh laki-laki itu tidak terlalu dekat dengan tubuhnya.
Air mendekatkan bibirnya di telinga Shaleta. “Stop call me, Pak or I'll kiss your lips.” bisik Air lirih sambil meremas pinggang Shaleta pelan.
Shaleta langsung mengulum bibirnya.
Air menjauhkan dirinya dari Shaleta. “Aku pulang.”
Shaleta mengguk pelan. “Pak?”
“Kamu benar-benar pengen aku cium kayaknya.”
Shaleta menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Hati-hati di jalan, Pak!” Shaleta berbalik langsung masuk unit apartemennya.
Air tersenyum kecil menatap pintu unit apartemen Shaleta yang baru saja gadis itu tutup sebelum benar-benar beranjak pulang.
Malam sudah semakin larut. Tapi Shaleta masih saja terjaga. Shaleta menatap jendela kamarnya yang agak lembab karena hujan sejenak sebelum akhirnya terlentang menatap langit-langit kamar. Kata-kata Air berputar di kepalanya. Hatinya dilanda kebimbangan.
Tbc.