Setelah mengetuk pintu, Shaleta masuk ke dalam ruangan Air. Menemukan Air yang sedang serius di meja laki-laki itu.
”Selamat pagi, Pak.” Shaleta buru-buru menekan bahu Air ketika melihat laki-laki itu sudah akan berdiri. “Stay there. Bapak cium saya. Saya resign.”
Air menatap Shaleta nanar. “Seriously, Shasa?”
“Saya serius. Jadi, Bapak jangan cium saya walau sekedar coba-coba.” peringat Shaleta halus sambil membaca sekilas schedule Air di dalam hati sebelum membacakannya untuk laki-laki itu. “Schedule Bapak hari ini, jam sepuluh ada meeting dengan divisi pemasaran. Siang lunch dengan--” Shaleta menghela nafas pelan. Mengangkat wajahnya menatap Air. “Bu-- Brenda.” Shaleta meremas tab yang ada di pelukannya.
Mata Air langsung melotot menatap Shaleta tidak percaya. “Ohh, really?”
Shaleta mengangguk. “Jadi, kalau Bapak mau protes. Silahkan protes sama Via jangan sama saya. Saya hanya menyediakan waktu Bapak yang Via minta. Ada yang Bapak butuhkan lagi?”
“Whats wrong with you, Shasa?”
“Kalau tidak ad--”
“Ohh! Come on, Shasa.” Air mendesah frustasi. “Jangan begini, oke?”
“Saya permisi.”
“Shasa?”
Shaleta menghentikan gerakannya yang sudah akan berbalik dan kembali menghadap Air. “Hmm,”
Sebelah alis Air naik. “Kamu gak lagi ngambek sama aku, kan?”
Shaleta mengerutkan keningnya, lalu menggeleng pelan.
“Kalau cemburu bilang aja coba, sini.”
“Hihh! Enggak, ya!”
Air terkekeh geli melihat raut jengkel di wajah Shaleta. “Gak ada perjodohan. Kamu calon istri aku, Shasa.”
Wajah Shaleta langsung berubah menjadi merah. Tangannya bergerak mengipas-ngipas wajahnya. “Panas. AC Bapak mati, ya?”
“Jangan cemburu, makanya.”
Shaleta menurunkan tangannya. Menatap Air jengkel. “Yang cemburu siapa, sih ah?!”
Air tergelak melihat Shaleta yang tengah berdiri di depannya ini semakin jengkel.
“Bapak kenapa ketawa?”
“Karena kamu cute, sayang.”
Shaleta mendelik. Ponselnya bergetar panjang. Dengan dongkol Shaleta merogoh saku mengambil ponselnya.
Via is calling ...
Shaleta langsung menggeser tombol hijau pada layar ponselnya. “Halo Via?”
“Kak Shasa lagi sama Kak Air gak sekarang?”
Shaleta melirik Air sekilas. “Iya. Kenapa? Via mau ngomong sama Pak Air?” tanya Shaleta sambil memainkan pulpen yang ada di dalam pen stand di atas meja kerja Air.
Di tempatnya, Via sedang tersenyum jail. Assa! Ini yang dinamakan pucuk di cinta ulam pun tiba. Kesempatan mengerjai kakaknya yang dingin itu datang juga.
“Via? Kok, diam aja?” Shaleta mengangkat kepalanya ketika Air menarik tangannya. Mentap laki-laki itu dengan sorot seolah bertanya apa.
Terdengar Via berdehem pelan. “Lunch bareng, kuy Kak.”
Shaleta membulatkan matanya ketika Air mengecup punggung tangannya beberapa kali.
“Halo? Kak Shasa? Halo?”
“Eh?! A-ayok, ayok, Via.” Shaleta langsung menarik tangannya. Mendelik menatap Air membuat laki-laki itu terkekeh pelan melihatnya.
“Via mau ngenalin teman Via sama kakak.”
Shaleta langsung berbalik memunggungi Air. ”Teman Via, cowok?”
Air menatap punggung Shaleta tajam ketika kata 'cowok' meluncur dari bibir gadis itu. Apa-apaan, itu!
“Ya, iya, dong Kak Shasa. Cowok. Kalau cewek buat apa dikenalin juga.”
“Ohh. Ok--”
Air dengan gerakan cepat menarik ponsel dari tangan Shaleta dan langsung memutuskan sambungannya.
Shaleta langsung berbalik menatap Air marah. “Bapak apa-apaan, sih!”
“Apa?”
“Sini.” Shaleta menengadahkan tangannya. “Kembalikan ponsel saya, Pak.”
Air memasukan ponsel Shaleta ke dalam saku depan celana bahannya. “Ambil sendiri, kalau kamu bisa. Nih, ambil.” kata Air sambil memiringkan sedikit tubuhnya menunjukan bagian saku celananya.
Shaleta melengos seraya mencebikan bibirnya kesal.
Air meluruskan lagi tubuhnya. “Siapa?”
Shaleta melirik Air sedikit. “Apa? Yang jelas.”
“Siapa cowok yang kamu omongin sama Salvia barusan?”
“Keppo! Siniin, ah ponsel saya.”
Air menjatuhkan b-okongnya di atas kursi. “Ponsel kamu aku sita.”
“Air Nakhla Adinata!”
“Yes baby... I’m here. Gak usah teriak-teriak, oke baby?”
Shaleta menghentakan kakinya kesal. “Ihh! Jangan ngomong sama saya!” Shaleta langsung berbalik dan berjalan keluar dari ruangan Air dengan wajah yang di tekuk dan perasaan dongkol.
Bukannya takut, Air malah tergelak melihat tingkah Shaleta yang menggemaskan. Mana bisa Shaleta marah. Hati gadis itu terlalu lembut. Air menghela nafas pelan.
Shaleta melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah mendekati jam istirahat. Shaleta mulai membereskan mejanya. Perhatiannya teralihkan ketika tidak sengaja pandangannya jatuh pada sosok perempuan yang baru saja keluar dari lift. Siapa?
Shaleta dengan gerakan cepat berdiri dari posisi duduknya. “Bu, Ibu. Maaf, Ibu cari siapa?” tanya Shaleta pada seorang wanita yang ingin nyelonong masuk ke ruangan Air.
Wanita itu menatap Shaleta sinis. “Air.”
“Sudah ada janji sebelumnya, Bu?” tanya Shaleta halus dengan senyum ramah di bibirnya.
“Lo siapa, sih! Gak ada sopan santunnya sama sekali.”
Kening Shaleta mengerut. Siapa maksudnya? Dia? Dimananya yang dia tidak ada sopan santunnya sama sekali? Shaleta berdehem pelan, lalu mengulurkan tangannya. “Saya Shaleta, sekretarisnya Pak Air, Bu.”
“Baru?”
Shaleta mengangguk pelan sambil menarik tangannya kembali yang sudah cukup lama melayang di udara.
“Dengar baik-baik. Gue, Brenda. Calon istrinya bos lo. Kalau otak lo cukup pintar, harus gak, gue bikin janji dulu kalau mau ketemu sama calon suami gue sendiri?”
Shaleta langsung terkesiap. “Maaf Bu, saya tidak tahu.”
“Sekali lagi, lo main cegat gue. Gue bias aja minta Air pecat lo. Dan, lo, hapalin wajah cantik gue ini.” Brenda menunjuk wajahnya sendiri. “Gue pasti akan sering ke sini.”
Shaleta mengangguk kaku.
“Bikin mood gue hancur aja, lo. Kali ini masih gue maafin. Gak akan gue aduin ke Air.”
“Maaf, Bu.” Shaleta menunduk dalam. Bukan karena takut. Tapi malas berdebat terlalu panjang dengan ‘calon istri Air’ itu.
Brenda mengibaskan tangannya dengan angkuh. Kembali melanjutkan lagi jalannya yang sempat terhenti menuju ruangan kantor Air. Sementara Shaleta berjalan keluar dari mejanya, menatap punggung Brenda hingga hilang di balik pintu. Shaleta menghela nafas pelan.
“Kak Shasa?”
“Hmm,” gumam Shaleta. Menatap Via yang sedang memeluknya dari belakang dari balik bahunya.
“Lagi ada tamu, ya Kak?” tanya Via sambil melirik ke arah ruangan Air.
Shaleta mengangguk singkat, lalu kembali menatap pintu ruangan kantor Air. “Iya. Ada calon istrinya Pak Air.”
“Brenda?”
Shaleta mengangguk kecil.
“Brenda bukan calon istri kak Air, by the way. Mama baru coba-coba aja kenalin. Via lebih setuju kalau Kak Air sama Kak Shasa aja. Gimana?” Via menaik-turunkan kedua alisnya.
Shaleta tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk lengan Via pelan. “Jangan sembarangan kalau ngomong, Via.”
“Benar, kok. Kenapa? Kak Shasa gak mau? Kak Air kurang apa? Walau malas banget Via bilangnya tapi Kak Air emang ganteng, mapan juga. Kak Shasa gak akan kurang-kurang.”
Shaleta melepaskan kedua tangan Via. Berbalik dan menatap gadis itu serius. “Via, sebuah hubungan gak semudah itu bisa terjalin. Harus ada perasaan ‘saling’ di dalamnya. Kalau cuma satu pihak, hubungan yang terjalin gak akan bisa berjalan dengan baik. Akan ada yang tersakiti dan menyakiti.”
“Tapi, kan cinta bisa diusahakan, Kak.”
Shaleta mengacak rambut Via yang dikuncir kuda pelan. “Bisa. Pasti bisa untuk yang punya kemauan. Tapi jangan lupa juga cinta itu gak bisa dipaksakan, sayang.”
Via menatap Shaleta lekat.
Shaleta tersenyum sambil menepuk pipi Via pelan. “Jadi makan siang bareng?”
Via hanya mengangguk.
Mendengar suara pintu terbuka. Shaleta dan Via langsung menoleh nyaris bersamaan. Air keluar dengan Brenda yang bergelayut di lengan laki-laki itu.
“Hai, Salvia.”
Shaleta memperhatikan Via dan Brenda bergantian. Terlihat jelas sekali di mata Via jika gadis itu tidak menyukai Brenda. ”Via.” tegur Shaleta pelan ketika Via hanya diam saja.
Via menghela nafas jengah. Sungguh berat harus berpura-pura. Cukup di depan mamanya dia bersikap baik pada Brenda. Menjadi palsu sangat menguras tenaga dan emosi. “Hai.” jawab Via ogah-ogahan dan enggan menatap Brenda.
Mulut Air ternganga.
“Kamu mau ikut lunch sama kita, gak?” tawar Brenda berbasa-basi. Di dalam hatinya, ogah banget! Via itu paket komplit. Pengganggu, perusuh dan perusak. Setiap usahanya untuk mendekati Air selalu saja berhasil digagalkan gadis tengil itu.
Sebelah alis Via naik sambil melipat kedua tangannya di depan d-ada, menatap Brenda tajam. Brenda Feodora, dulunya teman satu angkatan dengannya saat kuliah. Gadis dengan cantik yang ala kadarnya saja. Gadis bermuka dua. Brenda suka sekali meremehkan penampilan dan merendahkan orang lain tak terkecuali Via yang saat itu memilih menjadi sederhana.
Sikap Brenda menjadi baik setelah gadis licik itu tahu jika dia adik dari Air. Dan sialnya Via harus selalu berurusan dengan Brenda karena gadis yang sangat menyebalkan di matanya itu adalah anak dari sahabat mamanya.
“Pergi sekarang, deh lo. Mumpung gue masih baik. Gue lagi gak mood gangguin agenda busuk lo.”
Brenda langsung memainkan perannya dengan memasang wajah melasnya. “Kamu kenapa ngomongnya gitu banget, sih Vi? Aku gak ada agenda busuk apa-apa.” Brenda mendongak menatap Air mencoba mencari perhatian laki-laki itu yang sayangnya tidak memberikan respon apa-apa.
Cih! Via memutar kedua bola matanya malas. Muak dan jijik melihat drama murahan yang dimainkan Brenda.
Shaleta langsung merangkul bahu Via dan mengusap-usapnya pelan. Pandangannya bertemu dengan mata Air, laki-laki itu tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri terdiam tak merasa risih dengan tingkah manja Brenda.
Air buru-buru menutup mulutnya kembali. Tidak mungkin matanya salah melihat adik bar-barnya itu bisa sepatuh itu. Kakak Salvia itu dia, kan? Ini, boro-boro patuh, didengarkan juga belum tentu. Ada saja kata-kata Salvia untuk membantahnya.
-meetyou(again)-
Langkah kaki Shaleta terhenti. Menatap pemandangan yang ada di depannya nanar. Brenda sedang memeluk Air. Shaleta memegang d-ada kirinya. Ada sedikit rasa sesak di dalam sana. Shaleta menurunkan tangannya seraya memaksakan seulas senyum ketika pandangannya bertemu dengan mata Air. Perlahan Shaleta berbalik badan dan berjalan menuju toilet.
Nafas Air tercekat. Langsung saja menjauhkan secara paksa tangan Brenda yang melingkar di pinggangnya. “Pergi, lo.” usir Air tanpa menatap Brenda dan sedikit mendorong bahu gadis itu. Air berjalan cepat mengejar Shaleta.
Shaleta menghela nafas berat. Menatap pantulan dirinya di dalam cermin toilet.
Tok...tok...tok...
“Shasa? Buka pintunya.”
Shaleta memejamkan matanya sejenak sebelum beranjak untuk membuka pintu. Ketika sudah membuka pintu Shaleta melihat Air sudah berdiri di depannya.
“Yang tadi itu-- gak kayak apa yang kamu pikirin Shasa.”
Shaleta menatap Air sejenak. Tangan kanannya terulur menarik lengan Air pelan hingga tubuh laki-laki bergeser sedikit. “Emang apa, sih yang saya pikirin?” tanya Shaleta sambil berjalan menuju meja kerjanya.
“Dengar dulu.” Air menarik lengan Shaleta membuat tubuh gadis itu berbalik hingga membentur d-ada bidangnya. Menunduk menatap Shaleta yang sedang mendongak menatapnya. “Aku gak ada apa-apa sama Brenda. Kamu gak usah capek-capek marah karena cemburu.”
Shaleta langsung mendorong d-ada Air.
Tbc.