Shaleta berjalan cepat menuju meja kerjanya setelah keluar dari lift. “Yes! Yes! Yes!” sorak Shaleta kegirangan. Tidak sia-sia tadi berlari sepanjang perjalanan menuju kantor. Dia bisa sampai tepat waktu.
“Kenapa?” pertanyaan Air sukses mengejutkan Shaleta membuat gadis itu sampai terhuyun karena tidak mengetahui keberadaan Air sebelumnya.
“Allahu Akbar!” Shaleta mengelus-elus dadanya untuk menenangkan jantungnya.
Air terkekeh pelan. Shasa-nya bisa selucu itu, ya?
“Ngagetin aja, sih Pak! Coba kalau jantung saya lemah. Udah lewat saya, Pak.” omel Shaleta sambil bergidik ngeri. Mengetuk-ngetuk keningnya lalu mengetuk-ngetuk permukaan meja. “Ih! Amit-amit, amit-amit.”
Air seketika terdiam. Wajahnya berubah datar. Air menatap Shaleta tajam.
Shaleta menghentikan gerakan tangannya sambil berdehem pelan. “Kenapa lihatin saya begitu bang-- eh, eh! Jangan maju-maju terus. Mu-mundur, Pak.” kata Shaleta meminta Air menjauh dengan gerakan kedua tangannya. Shaleta melangkah mundur hingga punggungnya membentur dinding di belakangnya.
Air megulurkan kedua tangannya menyentuh dinding di samping kanan dan kiri telinga Shaleta. Mengurung tubuh gadis itu.
“Ba-bapak mau ngapain?”
“Kamu bilang apa, hm?”
Shaleta menggerakan bola matanya kesana kemari. “A-apa? Saya bilang apa?”
Air menangkup sebelah pipi Shaleta dan mengarahkan menghadap padanya. Mengunci mata gadis itu. “Dua kesalahan kamu, Shasa.”
Shaleta beringsut dan reflek menutup kedua matanya rapat-rapat ketika Air tiba-tiba saja mendekatkan bibir laki-laki itu hingga hanya berjarak satu senti dengan bibirnya. Shaleta sampai bisa mencium aroma mint dari nafas Air yang menerpa wajahnya.
1 detik...
2 detik...
3 detik...
Tidak merasakan ada sesuatu terjadi, Shaleta langsung membuka matanya dan disambut dengan senyum miring Air.
“Berharap terjadi sesuatu, hm?”
Blush!
Pipi Shaleta langsung berubah merah padam. Shaleta mendorong d-ada Air sedikit kencang. Langsung duduk di kursinya. Tak menghiraukan bos-nya yang masih tertawa itu. Shaleta melirik Air yang sedang berjalan ke ruangan kantor laki-laki itu sendiri.
Cklek!
Shaleta langsung menghela nafas lega. Sekarang waktunya kerja, kerja, kerja. Fokus Shaleta! Shaleta berkutat dengan pekrjaannya. Absennya asisten Air membuat pekerjaan Shaleta menjadi double hingga dia melewatkan makan siang.
Shaleta mengernyit ketika mulai merasakan sesuatu yang tidak beres terjadi pada perutnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Shaleta memeluk perut dengan kedua tangannya. Merebahkan kepalanya di atas meja. Shaleta menarik nafas dalam lalu dihembuskan lewat mulut.
Tingkah tidak biasa Shaleta bisa dilihat Air dari dalam ruangannya. Air jadi cemas. Dia berjalan cepat menghampiri Shaleta.
“Kamu kenapa?”
Shaleta mengangkat kepalanya. Menatap Air yang sudah berlutut di depannya. “Sakit. Magh saya kambuh.”
Air mengusap keringat di pelipis Shaleta. Tangan Air meraih gelas berisi air putih lalu menyodorkannya pada gadis itu. “Minum?” Air kembali meletakan gelas itu di atas meja ketika Shaleta menolak minum.
Shaleta memekik kecil ketika Air tiba-tiba saja mengangkat tubuhnya dari kursi. Reflek Shaleta melingkarkan tangannya di leher Air yang sedang menggendongnya dengan gaya bridal. “Tu-turunin saya, Pak.”
Air menatap Shaleta yang sedang berontak tajam. Sekali ini saja, dia tidak akan mempermasalahkan mengenai panggilan 'pak' yang gadis itu ucapkan. “Diam atau kamu bisa jatuh Shasa.”
Wajah Shaleta berubah menjadi merah padam. Posisinya sekarang membuat wajahnya sangat dekat dengan wajah Air.
Air melirik Shaleta sekilas. Tersenyum singkat ketika melihat gadis itu bersembunyi di dadanya.
Shaleta mendongak sedikit menatap Air. “Pak?”
“Hmm,”
“Bapak deg-degan?” Shaleta menyentuh d-ada kiri Air dengan tangan kanannya.
Air melirik Shaleta sekilas. Lalu membaringkan tubuh gadis itu di atas sofanya dan menjadikan jasnya sebagai selimut untuk menutupi paha Shaleta karena rok selutut gadis itu tersingkap.
“Itu reaksi jantung aku terhadap kamu. Cuma sama kamu.”
Shaleta menatap Air lekat. Entah apa yang sedang dirasakannya ini tapi ada desiran aneh di hatinya.
“Kenapa?” tanya Air sambil melepaskan stilleto Shaleta.
Shaleta terkesiap. “Eh! Gimana Pak?”
Air mendengus. “Kenapa bisa kambuh magh kamu, Shasa?” jawab Air memperjelas sambil mendudukan dirinya di tepi sofa.
Shaleta sedikit bergeser memberikan cukup tempat untuk Air duduk. “Saya gak sarapan dan belum sempat makan siang tadi.”
“Kenapa?” tanya Air lagi tanpa mengalihkan pandangan dari Shaleta.
Wajah Shaleta berubah cemberut. “Kenapa apa lagi, sih Pak? Saya gak ngerti. Bapak kalau tanya yang jelas.”
Air menghela nafas pelan. “Kenapa kamu gak sarapan dan belum sempat makan siang, Shasa? Udah jelas?”
Shaleta mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya pada langit-langit ruangan Air. “Saya bangun kesiangan. Bisa telat kalau saya sarapan dulu. Saya gak mau, ya dijutekin Bapak lagi. Horror banget, Pak. Jadwal Bapak juga hectic banget. Saya jadi lupa waktu.”
Sebelah alis Air terangkat. “Aku?”
Shaleta langsung menoleh menatap Air. “Aku? Siapa?”
“Amnesia kamu?”
“Jangan ngomong gituh, dong Pak. Repot kalau ada malaikat lewat.”
“Yang horror siapa? Aku horror, Shasa?”
Shaleta mengangguk tanpa sadar. “Eh! Bu-bukan, bukan.” ralat Shaleta langsung ketika kesadarannya telah kembali sambil berguling menghadap Air. “Bapak gak horror, kok.”
Air memicingkan matanya menatap Shaleta tidak percaya.
“Serius saya. Gak bohong, Pak.”
“Terus?” tanya Air datar.
“Terus, ya? Terus...” Shaleta menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Terus-terus, nabrak. Tahu, ah Pak!” Shaleta menyerah.
Air tertawa kecil. “Mata panda.” kata Air sambil mengusap bagian bawah mata Shaleta dengan ibu jarinya.
Shaleta langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Apaan, sih? Kenapa jadi mata panda? Malu, ih!”
Air tergelak. Mengacak rambut Shaleta pelan. “Masih aja suka begadang nonton drama korea, kamu?” kata Air menjauhkan tangan Shaleta yang menutupi wajah cantik gadis itu.
Shaleta nyengir lebar setelah pandangannya bertemu dengan mata Air.
“Bandel banget. Kayak gak ada hari buat nonton.”
Shaleta mencebikan bibir sambil merubah posisinya menjadi telentang lalu memejamkan matanya. Ada apa dengan lelaki satu ini? Kenapa jadi banyak omong.
Tak lama, Air mendengar deru nafas teratur Shaleta. Dia tersenyum lembut menatap wajah lelap gadis itu penuh kerinduan. Air menyelipkan rambut yang menutupi wajah Shaleta di belakang telinga gadis itu pelan-pelan. Mengusap kening Shaleta yang mengerut. Air menangkup pipi gadis itu dan mengusapnya lembut.
Air menghela nafas lelah. Pekerjaan sedang menunggunya untuk diselesaikan. Tak ingin membuang waktu, Air sudah tenggelam di tumpukan dokumen.
“Pa... Ma... jangan...“ lirih Shaleta di dalam tidurnya.
Air langsung mengangkat wajahnya dari dokumen yang sedang dibacanya menatap Shaleta lekat serta memasang telinganya baik-baik. Setelah menunggu beberapa saat Shaleta tetap tenang dalam tidur gadis itu Air menggelengkan kepalanya pelan seraya menghela nafas lelah. Lalu kembali berkutat dengan dokumennya. Sepertinya dia terlalu banyak pikiran hingga berhalusinasi mendengar suara Shaleta.
Air berjalan menghampiri Shaleta sambil melirik jam di pergelangan tangan kirinya sekilas. “Shasa...” panggil Air lembut seraya mengelus rambut Shaleta. “Hey? Shasa bangun.”
“Eugh...” Shaleta menggeliat kecil. Perlahan membuka matanya. Air yang sedang tersenyum padanya menjadi pemandangan pertama yang dia lihat. Shaleta bangun dan duduk tegak.
“Gimana?” tanya Air sambil merapikan rambut Shaleta yang sedikit acak-acakan.
“U-udah. Udah baikan, kok.” balas Shaleta gugup karena jaraknya dengan Air begitu dekat. Shaleta mengedarkan pandangannya kearah manapun asal itu bukan mata laki-laki itu.
Sebelah alis Air naik. “Baikan? Kita gak lagi marahan kayaknya.”
“Ih! Apa, sih?! Garing banget. Magh saya yang baikan.”
Air manggut-manggut. Menarik sedikit celana bahannya ke atas. Lalu duduk berjongkok di hadapan Shaleta. Meraih stilleto Shaleta dan memakaikan di kaki gadis itu.
Shaleta yang diperlakukan seperti itu hanya bisa terdiam mengamati dan mencoba menetralisir detak jantungnya.
“Ayok, pulang. Aku antar.” kata Air sambil berdiri dari duduk jongkoknya.
“Pulang?” beo Shaleta.
Shaleta melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Jam pulang kerja. Berapa lama dia tidur? Shaleta membelalakan matanya. Tiga jam! Dasar kebo!
“Hmm,”
“Kenapa bangunin saya pas udah pulang, sih Pak? Kenapa gak dari tadi aja. Saya jadi makan gaji buta kalau kayak gini ceritanya.” rajuk Shaleta.
“Gak apa.”
“Bapak pasti keteteran, kan tadi?”
“Enggak.”
“Gak bohong, kan? Saya beneran gak enak soalnya.”
“Enggak.”
Air mengambil jasnya di atas pangkuan Shaleta sambil menarik gadis itu hingga berdiri dan mengiringnya keluar dari ruangannya.
Tbc.