“Shaleta?”
Mendengar namanya disebut, Shaleta segera mengangkat wajahnya. Kedua alisnya menaut mencoba mengingat siapa laki-laki yang berdiri di depan mejanya.
“Lo Leta 12-IPS 2, kan?”
Shaleta mengangguk. “Lo-- Radit? Radithya Wira Saputra. 12-IPA 1, teman satu kelasnya Pak Air?”
Radit mengangguk antusias. Langsung mengajak Shaleta berjabat tangan. “Jadi sekretaris barunya Air elo, Ta?”
“Iya. Kenapa Dit?”
“Ya, jodoh lo berdua emang.”
Shaleta tak menghiraukan ucapan Radit. “Lo mau ketemu Pak Air, Dit?”
“Pak Air?” Radit terbahak. Geli mendengar Shaleta memberi embel-embel 'pak' di depan nama Air. “Pak banget, ya? Sayang aja, kali Ta?”
Shaleta mendengus kesal. “Lo mau ngapain, sih sebenarnya Dit?”
“Kerja, lah Leta. Gue ini asistennya Pak Air lo itu.”
“Gak kurang lama offnya, ya lo?”
“Dih! Sewot.” ledek Radit. “Wajar, dong Ta. Perlu lo tahu, gue ini bekerja keras bagai kuda. Dua puluh empat tujuh. Lo gak ngerti seberapa nyebelinnya Pak Air lo itu.”
“Gue udah pusing sama kelakuan Air. Harus makin pusing backup kerjaan lo.”
Radit terkekeh pelan. “Ikut gue, Ta.”
“Kema-- eh, eh!” Shaleta berdiri dari duduknya dengan tergesa karena Radit langsung saja menariknya tanpa aba-aba. “Pelan-pelan, Radit!”
“Kita sapa dulu, lah Pak Air, lo.”
Shaleta memutar kedua bola matanya malas. Dasar Radit aneh! Kenapa harus ada 'lo'? Sejak kapan Air menjadi hak miliknya? Air yang menyelipkan ponsel di antara telinga dan bahunya dengan tangan kanan laki-laki itu bertugas menandatangani dokumen di atas meja menjadi pemandangan pertama kali yang Shaleta lihat ketika pintu ruangan kantor Air dibuka oleh Radit.
“Selamat pagi, Pak Air.”
Air mengangkat kepalanya ketika mendengar suara pintu dibuka disusul suara cempreng yang sudah familiar di telinganya. Menarik turun ponsel dan memutuskan sambungannya.
“Kenapa gak bilang sama gue kalau sekretaris baru lo itu Leta, Ir?”
Sebelah alis Air naik. “Penting?”
Radit menoleh menatap Shaleta. “Makin cantik, deh lo Ta. Ada dewasa, dewasanya gituh.”
“Sehat, kan Dit?” Shaleta menatap Radit ngeri.
“Alhamdulillah, sehat walafiat. Kuat buat lihat kecantikan haqiqi, lo.”
Air mendelik. “Wedus gembel!”
Radik berdecak keras sambil menoleh menatap Air. “Iya, tahu gue. Itu, saudara lo.”
“Kam-pret! Tangan lo!”
“Tangan? Kenapa tangan gue?” Radit mengangkat tangannya yang sedang mengenggam tangan Shaleta. “Ini?” tunjuk Radit dengan satu tanggannya yang lain. “Udah pas, begini ini.”
“Lepas se-tan!”
Shaleta menghela nafas lelah. Menepuk-nepuk lengan Radit pelan sebagai tanda agar laki-laki itu segera melepaskan tangannya sebelum Air benar-benar marah.
“Posesif amat, anjir!”
Air hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh.
“Oke. Jadi bisa, dong, ya kalian berdua datang ke acara reuni hari sabtu besok ini?”
“Bis--” Shaleta menahan ucapannya. Perlahan menoleh menatap Air dengan sorot seolah bertanya gimana.
“Kamu mau datang?”
Shaleta mengangguk semangat. “Mau, mau.”
“Iya, udah.”
“Iya, udah apa? Yang jelas, Pak. Radik gak terlalu pintar bisa mencerna ucapan Bapak.”
“Sialan lo!” umpat Radit pelan yang hanya bisa di dengar oleh Shaleta membuat gadis itu langsung tertawa kecil mendengarnya.
“Iya, udah kalau kamu mau. Kita datang besok sabtu.”
Shaleta tersenyum lebar.
“Nanti gue chat detail acaranya. Jadi gue minta nomor lo, dong Ta.” Radit mengeluarkan ponselnya.
“Kosong dela--”
“Gak ada! Lo--” Air menunjuk Radit dengan telunjuknya. “Kirim detailnya ke gue.”
Radit berdecak keras. “Dasar medhit!” Radit berbalik dan langsung berjalan keluar dari ruangan Air.
“Baperan!”
Air berdiri sedikit condong karena pantatnya dia dudukan sedikit di atas meja kerjanya. Melipat kedua tangannya di depan d**a dan pandangannya menatap Shaleta intens.
“Bapak kenapa lihatin saya begitu?”
“Kamu jangan mau, dong kalau dipegang-pegang sama cowok.”
Shaleta tertawa kecil. “Termasuk Pak Air, dong. Pak Air, kan cowok.”
“Kecuali aku, lah!”
“Kalau bukan pacar boleh posesif, ya Pak?”
“Makanya jadiin pacar! Calon suami lebih bagus. Eh, jadi suami aja, deng.”
Shaleta mengulum bibirnya menahan tawa. “Gak jelas banget.”
“Sampai kapan kamu mau panggil aku, pak?”
“Umm... sampai saya bosan, mungkin?”
“Kamu bosannya kapan kalau gitu?”
Shaleta mengangkat kedua tangannya sebatas d**a dengan telapak tangan menghadap ke atas. “Ya, gak tahu Pak.”
Air melepaskan tangannya yang tadi terlipat di depan d**a. Lalu melambaikan tangannya meminta Shaleta mendekat.
Patuh, Shaleta berjalan mendekat.
Tanpa mengatakan apapun, Air langsung menarik tangan Shaleta dan mengusap-usap tangan gadis itu seakan ada kotoran di sana.
“Tangan saya bersih, lho Pak?”
Air menggeleng. “Kotor banget ini. Ada bekas tangannya Radit.” Air meniup-niup tangan Shaleta. “Kamu cuci, deh sana.”
Shaleta menarik tanggannya. “Apa banget, sih? Udah, ah Pak. Kerjaan saya banyak.” Shaleta berlalu keluar dari ruangan Air.
Shaleta menahan nafasnya ketika melihat laki-laki yang tengah berdiri di depannya. Dia merasa oksigen disekitarnya menipis. Saat itu juga ingin rasanya Shaleta menghilang dari situ.
Air mengamati wajah pucat Shaleta yang duduk tegak dengan tubuh kaku seperti patung di kursi gadis itu dan hanya terdiam. Mata Shaleta menatap Kenzie Abimanyu, kepala di salah satu cabang perusahaannya.
Air beralih mengamati Kenzie. Laki-laki itu memperlihatkan ekspresi yang nyaris sama. Bedanya Kenzie bisa begitu baik menyembunyikan ekspresinya agar sedikit lebih tenang. Air yakin pasti ada sesuatu. Dapat dia lihat dari tatapan mereka yang saling terkejut.
“Ekhem!”
“Eh! Maaf. Bagaimana, Pak?”
“Masuk.”
Kenzie mengangguk sopan. “Baik, Pak.” Kenzie berjalan melewati Shaleta berusaha untuk tidak melirik gadis itu.
Shaleta menghela nafas berat. Badannya lemas. Tenaganya seperti dihisap habis dari dalam tubuhnya.
Setengah jam kemudian Air keluar dari ruangannya dengan Kenzie. Matanya mencuri lihat kearah meja Shaleta. Melihat gadis itu sedang tidak ada dimejanya, membuat Air semakin yakin jika ada sesuatu di antara mereka berdua. Tapi Air tidak ingin menebak-nebak jenis hubungan di antara Shaleta dan Kenzie.
“Terima kasih atas waktunya, Pak Air.”
Air mengangguk dan membalas uluran tangan Kenzie. Ada satu hal yang berhasil ditangkap oleh mata Air dari Kenzie. Lirikan mata pria itu yang mengarah ke meja kerja Shaleta yang kosong terlihat sendu.
Air mengeluarkan ponselnya lalu mengetikan pesan untuk untuk dikirim pada Shaleta.
Dimana?
Tak lama ponselnya bergetar. Air dengan cepat membaca pesan balasan Shaleta.
Saya di rooftop. Bapak butuh sesuatu?
Setelah membaca pesan singkat itu, Air memasukan kembali ponselnya ke saku jasnya. Langsung melangkah menuju rooftop.
Shaleta berdiri di pinggir tembok pembatas menatap lurus bangunan-bangunan di depannya dengan tatapan kosong. Bertemu dengan laki-laki itu kembali adalah hal yang paling tidak Shaleta harapkan akan terjadi. Tapi harapan tinggallah harapan. Kenyataan berkata sebaliknya. Shaleta memejamkan matanya ketika angin dingin datang menerpa wajahnya.
Air sudah berada di rooftop. Menatap punggung Shaleta nanar. Air menghela nafas berat lalu berjalan menghampiri gadis itu dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celananya.
“Ngapain?” Air mengusap punggung Shaleta pelan yang hanya dibalas senyum tipis gadis itu. Bangunan-bangunan di depan sana sepertinya lebih menarik bagi Shaleta saat ini. “Kamu kenal Kenzie?”
Shaleta tersentak mendengar pertanyaan Air ditambah tangan laki-laki itu sedang bergerak merapikan rambutnya yang berterbangan karena angin.
Terjadi keheningan di antara keduanya. Baik Shaleta maupun Air sama-sama memilih untuk diam. Shaleta menatap kearah bangunan-bangunan tinggi di depannya. Sementara Air tidak berhenti memandangi wajah Shaleta.
“Cerita itu bisa bikin kamu lega. Tapi aku gak akan maksa kalau kamu belum siap. I'm a good listener, by the way.” suara Air memecah keheningan.
“Ternyata benar apa yang dikatakan orang. Dunia itu sempit.” Shaleta menoleh menatap Air. Terdiam sejenak sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. “Kenzie Abimanyu. Saya, sangat kenal. Dia--”
“Dia?”
“Mantan calon suami saya.”
Tubuh Air menegang. “Shasa-- ka-kamu?”
Shaleta mengangguk kecil. “Dua tahun yang lalu--” jeda Shaleta mencoba menahan sesak di dadanya. “Seharusnya kami-- menikah. Tapi Kenzie-- membatalkannya secara sepihak.”
Wajah Air tampak terkejut. Namun dalam sekejap Air mengembalikan lagi raut wajahnya menjadi tenang.
“Kenapa?”
Shaleta hanya tersenyum tipis. Berbalik dan langsung berjalan keluar dari rooftop tanpa menunggu Air.
Air menatap punggung Shaleta sendu. Bolehkah dia merasa senang dengan batalnya pernikahan Shaleta? Air menghela nafas berat. Kenapa semua hal tentang Shaleta membuatnya ingin bersikap egois? Air beranjak menyusul Shaleta.
Tbc.