Shaleta berhenti berjalan. Manik cokelatnya membulat besar. Terbelalak tidak percaya. Shaleta mengerjapkan matanya cepat. Tidak mungkin, dia salah mengenali. Laki-laki yang sedang berdiri memunggunginnya dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana itu memang Air.
“Mau berangkat, Ta?”
Shaleta langsung menoleh ketika mendengar suara tepat di samping telinganya.
“Iya.”
“Gue antar, yuk.” ajak laki-laki itu yang dengan lancangnya merangkul bahu Shaleta.
“Makasih, Mas Rafi.” Shaleta menyingkirkan tangan Rafi pelan. “Saya udah dijemput pacar saya.” Shaleta bergeser ke samping dua langkah untuk memberikan jarak.
“Pacar? Lo punya pacar?”
Shaleta hanya mengangguk tanpa menatap Rafi. Mengambil ponsel di dalam tasnya lalu mengetikan pesan untuk dikirimkan pada Air.
Tolong saya, Pak.
Setelah menerima laporan bahwa pesannya telah mendapatkan tanda centang dua, Shaleta memasukan kembali ponselnya ke dalam tas.
Air merogoh saku jasnya ketika merasakan ponselnya bergetar singkat tanda pesan masuk. Membaca dengan kening mengerut.
“Sayang!”
Sontak Air berbalik. Melihat Shaleta melambaikan tangan padanya membuat Air bingung. Hingga matanya menangkap sosok laki-laki yang sedang berdiri di samping gadis itu. Air tersenyum miring.
“Sayang!” Shaleta berjalan setengah berlari menuju Air tanpa menoleh sama sekali.
Air tersenyum mengulurkan tangan kanannya dan dengan cepat Shaleta membalas uluran tangannya yang langsung disambutnya.
Shaleta menyandarkan punggung tegangnya pada jok mobil seraya menghela nafas lega dengan mata yang terpejam.
“Leta.”
“Hmm,”
“Shaleta.”
“Iya.”
“Shasa.”
“Apa?”
“Sayang?”
Shaleta langsung membuka matanya. Perlahan menoleh menatap Air. “Sa-yanggg?”
“Iya, sayang?” balas Air santai mulai menyetir mobil.
Shaleta melengos. Berdehem pelan untuk menenangkan dirinya yang menjadi gugup.
Air tersenyum tipis melirik Shaleta sekilas.
Shaleta menatap Air yang tengah memandang lurus jalanan di depanya. “Pak Air kenapa ada di apartemen saya tadi?”
“Surprise!”
“Gak lucu banget.”
Air tersenyum kecil. “Jemput kamu, apalagi.”
Shaleta mengangguk pelan.
“Siapa?”
“Apa?”
“Cowok tadi, siapa?”
“Ohh. Itu Mas Rafi, tetangga sebelah unit apartemen saya. Orangnya rada-rada genit gitu, agak bikin saya ngeri.” Shaleta bergidik.
Air langsung menoleh. Melotot tidak menyangka. “Kamu diapain!”
“Gak ada diapa-apain, sih.”
Air menghela nafas lega kembali menatap kearah jalanan.
“Cuma--”
Tubuh Air langsung menegang. “Cuma?”
“Tangannya gampangan banget pegang sana-sini.”
“s**t!” Air langsung saja mengerem mobilnya. Itu mulut manis, enteng sekali bicaranya.
“Astagfirullah! Hati-hati, Pak!” jerit Shaleta keras dan panik. Tubuhnya terhuyung kencang ke depan. Beruntung Shaleta menggunakan seat belt, kepalanya jadi tidak membentur dashboard dan tidak ada mobil lain di belakang mobil Air. Jantung Shaleta berdetak sangat kencang.
Tangan kiri Air terulur menahan tubuh Shaleta. “Maaf, maaf Shasa. Kamu gak apa-apa, kan?” Air memringkan sedikit kepalanya agar bisa manatap wajah Shaleta. Wajah gadis itu pias membuat Air khawatir melihatnya. “Shasa?” Air mengangkat tangan dingin Shaleta dan menggenggamnya erat.
Shaleta menoleh menatap Air. Lalu menggelengkan kepalanya pelan.
“Kita bisa jalan, lagi?”
Shaleta hanya mengangguk.
Air mengangguk seraya meletakan tangan Shaleta di atas pangkuan gadis itu dan kembali menjalankan mobilnya.
“Turunkan saya di halte depan saja, Pak.” Shaleta membuka suaranya setelah sudah merasa tenang.
“No!” balas Air singkat dengan nada yang sulit bisa di bantah.
“Kalau yang lainnya lihat, pasti akan muncul gosip Pak. Bapak gak keberatan kalau ada gosip dengan saya nantinya?”
“Nope. Gosip itu, realita yang tertunda.” Air tersenyum tipis. Melirik Shaleta sekilas. “Aku ada parkiran khusus, Shasa. Tenang.”
“Ohh.” Shaleta mengangguk.
Tak lama, Air berhasil memarkirkan mobilnya di parkiran khusus untuk para petinggi Adinata Group itu.
Shaleta langsung membenarkan posisi duduknya. Merapikan rambutnya dulu baru melepas seat beltnya. Shaleta celingak-celinguk untuk memastikan keadaannya aman. “Terima kasih untuk tumpangannya, Pak. Saya duluan.” Shaleta langsung saja turun dari mobil Air tanpa menunggu balasan Air.
Air menyandarkan punggungnya pada sandaran jok mobil. Memperhatikan Shaleta yang sedang berlari kecil menuju lift. Senyum kecilnya terbit.
-meetyou(again)-
Suasana kantin di jam istirahat ketika akhir bulan alias tangal tua jauh lebih ramai dibanding hari biasanya seperti sekarang. Shaleta menjadi kesusahan mencari keberadaan Alika dan Dara yang sudah lebih dulu berada di kantin kantornya.
“Leta! Sini Ta!”
Shaleta melihat Alika yang sedang melambaikan tangan. Buru-buru Shaleta menuju meja yang sahabatnya itu tempati.
Alika mendorong piring berisi batagor ke hadapan Shaleta. “Nih, pesanan lo, Ta.”
“Makasih Alika zheyeng. Dibayarin juga, kan Al?”
“Nglunjak!”
Shaleta tergelak.
“Lo sibuk banget kayaknya, Ta?”
“Asistennya Pak Air, kan lagi off Ra. Jadi gue yang sementara ini backup kerjaan asisten.”
Dara mengangguk-anggukan kepalanya.
“Al?”
“Hmm,”
“Lo-- masing ingat gak?” tanya Shaleta hati-hati. “Teman SMA gue yang dulu pernah gue ceritain?”
“Iya, masih, lah. Gak akan mungkin lupa gue. Yang bikin lo sampai kuliah ke luar kota itu, kan? Yang bikin kita juga gagal satu kampus.”
Shaleta mengangguk pelan. “Lo mau tahu dia siapa, gak?”
“Siapa, siapa? Dendam gue.”
“Dia-- Air Nakhla Adinata.”
Gerakan tangannya yang sedang bermain ponsel langsung terhenti. Alika perlahan mendongak menatap Shaleta yang juga sedang menatapnya dengan wajah innocent dan terus mengunyah.
“Lagi bahas apaan, sih? Gue roaming, nih?” tanya Dara setelah bisa membaca jelas ekspresi Alika.
Alika menghembuskan nafas panjang. Menekan pangkal hidungnya frustasi. Bagaimana caranya balas dendam kalau sasarannya itu big boss? Gosh!
Alika tidak tahu seberapa besar rasa kecewa ketika oasis yang Shaleta kira berhasil sahabatnya itu temukan di padang pasir yang kering ternyata hanyalah sebuah fatamorgana.
“Pak Air itu harapan baru lo. Keyakinan, kalau luka hati lo bisa sembuh. Pak Air bikin lo lupa rasa sakit hati yang lo rasain sebelumnya. Tapi Pak Air juga, kan yang udah mupusin harapan lo dan patahin keyakinan lo itu. Luka hati lo yang udah kering kembali basah bahkan jadi bernanah. Gue emang gak tahu, rasanya di-PHP itu gimana, Ta. Tapi lihat lo yang menghindar sampai harus pergi jauh, gue jadi tahu rasanya. Pasti sakit banget, kan?”
Dara menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan. “Lo berdua lagi ngeprank gue, ya?” terka Dara setelah menurunkan kedua tangannya.
Alika menggeleng.
“Gue kege-eran aja mungkin, Al. Pak Air gak ada maksud buat PHP-in gue.”
Satu hal yang tidak Alika suka dari diri Shaleta. Sifat naif gadis itu yang hanya memandang lurus suatu hal. Sifat yang membuat Shaleta mudah sekali dimanfaatkan oleh orang lain yang memiliki niat tidak baik.
“Kalau yang dijadikan prioritas. Dikenalkan dengan lingkup pertemanan tanpa peduli gosip mungkin nantinya bisa muncul. Setiap hari dikirimi puisi soal hati dan perasaan. Lo-gue berubah jadi aku-kamu. Dinyanyiin lagu cinta di acara perpisahan. Kalau semua yang gue sebutin tadi itu lo anggap sebagai bentuk ke-ge-er-an lo, doang. Lo salah besar Shaleta.”
Dara geleng-geleng kepala. “Heran gue sama lo, Ta. Kenapa bisa beranggapan lo cuma kege-eran, sih?”
“Karena Pak Air-- pacarannya sama teman dekat gue, Ra.”
“Oh my... God!”
“Kenapa lo tiba-tiba bahas ini lagi?”
Shaleta menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, menatap Alika dan Dara.
“Pak Air udah jelasin semuanya. Pak Air bilang cinta sama gue. Pak Air minta kesempatan sama gue. Gue harus gimana?”
“Gue tanya sama lo. Lo bisa gak terima penjelasan dari Pak Air, Ta?”
Shaleta mengangguk.
“Apa lagi yang bikin lo bingung? Lo tanya, deh sama hati kecil lo, Ta. Lo masih punya sisa kesempatan yang bisa lo kasih ke Pak Air apa gak.”
“Yang pegang kendali atas perasaan lo, ya lo sendiri, Ta. Jadi Leta, semua keputusannya ada di tangan lo.” tambah Dara.
Sembilan tahun. Shaleta sempat meyakini perasaannya untuk Air sudah tidak ada yang tersisa. Tapi entah kenapa perhatian Air masih menggelitik hatinya dan memberikan rasa hangat di dadanya.
“Lo cuma perlu sadar kalau sebenarnya Pak Air gak pernah bergeser sedikitpun dari hati lo. Gue yakin, Pak Air gak akan ngelakuin hal-hal bodoh yang bisa bikin lo kecewa lagi.”
“Gue gak tahu, awal cerita lo sama Pak Air. Tapi selama itu bisa buat lo bahagia, gue pasti dukung, Ta.” sambung Dara.
Penglihatan Shaleta memburam karena air mata yang menggenangi pelupuk matanya.
“Jangan nangis, dong Leta zheyeng.” Alika memeluk Shaleta. Sementara Dara menggenggam tangan Shaleta dan mengelusnya pelan mencoba memberikan ketenangan.
Tbc.