Caffee Latte. Cafe itu tampak ramai mungkin karena malam ini adalah malam minggu. Waktunya semua orang keluar untuk menghilangkan kepenatan setelah lima hari berkutat dengan segala kesibukan yang mencekik. Ada yang sedang pacaran di meja pojok, ada yang bermain laptop memakai WiFi gratis di meja tengah, dan ada yang mengobrol dengan teman di meja luar.
“Malam Kakak Shaleta yang cantik jelita.”
Shaleta terkekeh geli melihat cengiran bodoh milik laki-laki yang baru saja menyapanya itu. “Malam juga Nando yang biasa-biasa aja.”
“Ahh! Gak asik! Balas puji Nando, dong Kak.”
Shaleta terkekeh geli. “Ngarep banget?”
“Iya, dong! Kan, aturannya kayak gituh, Kak.”
“Mana ada!”
Shaleta dan Nando, keduanya terkekeh bersama entah untuk alasan apa.
“Bebeb akoh...” Ario berjalan cepat memutari meja kasir. Langsung memeluk Shaleta erat. “Kangen.” Ario menggoyangkan tubuh Shaleta ke kiri dan ke kanan.
“Alayy!”
Ario terkekeh pelan. Mencium pelipis dan pipi Shaleta gemas secara bergantian beberapa kali.
Nando bertopang dagu menatap Shaleta. “Tapi, ini Nando serius, lho Kak. Seminggu gak lihat Kakak. Kak Leta makin-makin cantik.”
“Ohh, ya? Gombal banget. Ngarepin apa coba ngomong kayak gitu?”
Nando terkekeh pelan seraya mengangkat kepalanya. “Nando bisa kiss Kak Leta juga, dongg.” Nando sengaja menggoda Ario yang selalu berlebihan jika berhubungan dengan Shaleta.
Ario langsung menempeleng kepala Nando keras.
“Sakit, s-etan!” Nando mengusap kepalanya. “Kepala, nih bukan kelapa!”
“Cari sakit sendiri, sih lo.”
Nando berdecak keras. ”Posesif amat, lo! Kak Leta aja, biasa.”
“Bodo, sih Ndo. Kakak gue bukan buat dibagi-bagi!” Ario memeluk Shaleta posesif.
“Anjir, bahasa lo! Iklan banget.”
Shaleta tertawa kecil seraya geleng-geleng kepala. Lalu mencium pipi Ario sekilas. “Katanya mau ada acara di kampus?”
“Nanti, jam delapanan Io berangkatnya, Kak. Jam segini masih sepi.”
Shaleta mengangguk.
“Sejak kapan cafe jadi tempat m-esum?” sindir Air keras. Hatinya panas melihat ada laki-laki lain mencium Shaleta di depan matanya.
Via langsung menyikut perut Air. Menatap Shaleta tidak enak.
“Urusannya sama lo, apa?”
“Gak beretika.”
“Sialan lo--”
“Io.” Shaleta memegang lengan Ario. “Udah. Jangan ribut, ah. Gak enak sama p-elanggan. Nanti pada kabur.”
“Tapi Ka-- Ndo!” protes Ario ketika Nando menyeretnya menjauh dari Shaleta.
“Maaf, ya. Ario emang rewel.” ucap Shaleta setelah sosok Ario dan Nando tidak tampak lagi.
“Santai, lah Kak. Kak Air juga yang usil.”
Shaleta tersenyum tipis. “Via sama Pak Air, kok bisa di sini?”
“Via, kan udah bilang mau ke sini, Kak. Kalau--” Via menunjuk Air dengan telunjuknya. “Kak Air, gak tahu ada motif apa. Tadi ngotot banget minta ikut waktu tahu Via mau ke sini.”
Air berdehem pelan. Mendadak salah tingkah ketika Shaleta meliriknya membuat gadis itu tertawa kecil melihatnya. “Harusnya aku cium kamu, Shasa.” ucapannya berhasil menarik perhatian Shaleta dan Via.
Via memukul punggung Air keras. Apa-apaan, kakaknya itu? Sopan sekali mulutnya. Via melirik Shaleta. Penasaran dengan reaksi sekretaris kakaknya itu.
Shaleta sambil melipat kedua tangannya di depan d-ada. “Boleh, kok.”
“Hah? Gimana?” Via tampak terkejut. Sementara Air tersenyum kecil menatap Shaleta dengan mata yang berbinar.
“Dan besok pagi surat resign saya sudah ada di meja Bapak.”
Air mengerang tertahan. Menatap Shaleta tajam.
“Apa? Bapak mau marah sama saya?”
Air menghela nafas kasar. ”Mana bisa aku marah sama kamu, sih!”
“Yee... dasar bucin!” ejek Via.
Air menatap Via tajam. “ Diam Salvia!”
“Ck! Bercanda sedikit kenapa, sih?!”
“Eh! Kalian duduk dulu aja.”
Via mengangguk. Langsung menyeret Air menuju meja yang masih kosong.
Shaleta terlihat begitu cantik dengan flawless make-up. Bell sleeves blouse bergaris vertikal dan belted flare skirt warna putih membuat Air sampai tak berkedip menatap gadis itu. Kening Air mengerut memikirkan sesuatu. Apa surga sedang membuka pintunya? Kenapa ada satu bidadarinya yang turun di sini?
Shaleta tersenyum manis. Seakan-akan senyuman gadis itu adalah sihir, Air merasa terhipnotis oleh senyum manis itu.
Via menepuk lengan Air keras. “Jangan bengong. Kesambet nanti.”
Air perlahan mengalihkan tatapannya pada Via yang sedang cengengesan.
“Via udah pesan?” tanya Shaleta seraya duduk di samping Via berhadapan dengan Air.
Mendengar suara lembut Shaleta, Air langsung menegakan duduknya.
“Udah, dong Kak. Via pesan yang lagi hype di sini. Semalam Via sempat stalking IG cafe Kakak ini.”
Shaleta tersenyum kecil.
“Permisi, Mbak Leta.”
Shaleta menoleh menatap karyawan cafe yang bernama Dini. “Iya, kenapa Din?”
“Mas-mas yang itu--” Dini menunjuk ke arah laki-laki yang sedang tersenyum lebar menatap hanya pada Shaleta. “Mau minta nomornya Mbak Leta. Boleh gak, Mbak?”
Shaleta, Air dan Via menoleh nyaris bersamaan. Pandangan mereka bertiga mengikuti jari telunjuk Dini mengarah.
Air menatap laki-laki itu tajam. “Gak boleh!”
Sontak. Ketiganya menoleh menatap Air.
Air perlahan menoleh menatap Shaleta. “ Jangan.”
Shaleta tersenyum kecil. “Iya, udah. Gak saya kasih kalau gituh. Mukanya biasa aja. Jangan marah kayak gitu.” Shaleta menoleh menatap Dini. “Tolong sampaiin, ya Din.”
“Siap Mbak!” kata Dini sambil memberi hormat pada Shaleta.
“Aduh! Senang banget, tuh Kak Air.”
Air berdehem pelan. Bertopang dagu dan menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Air perlahan membuang muka tak ingin Shaleta dan Via sampai melihat senyum di bibirnya.
Via mencibir Air. Lalu menoleh menatap Shaleta. “Kalau Via boleh tahu, Ario itu siapa Kak?”
Air yang juga penasaran memasang telinganya bak-baik agar bisa mendengar dengan jelas jawaban dari Shaleta.
“Shaleta melirik Air sekilas. “Ario adik kakak, Via.” jawabannya membuat dagu Air jatuh dari tangan yang digunakan untuk menopang dagu laki-laki itu.”
”Really!” jerit Via terkejut. “Wadoh! Kak Air bisa gak direstuin, dong.”
Air menunduk dalam. Menghela nafas berat. Air mengangkat kepalanya ketika merasakan tangannya ditepuk-tepuk pelan. Senyumnya terbit melihat senyum manis Shaleta.
Derap langkah kaki terburu-buru dari seorang wanita berhasil mengalihkan perhatian Shaleta. Shaleta langsung berdiri.
“Kenapa Al?”
“Nando mana?”
“Ada.” jawab Shaleta singkat sambil menarik bahu Alika hingga tubuh gadis menghadap ke samping kanan.
“Kaget, kan?”
Alika berdehem pelan. “Malam Pak Air, Bu Via.” sapa Alika dengan senyum termanisnya.
Shaleta memutar kedua bola matanya malas sambil kembali duduk. “Yeu... sok cantik lo, Al.”
Alika menunduk mendekatkan wajahnya di wajah Shaleta. “Bodo! Dari pada lo, gamon. Gagal move on.” Alika tergelak sambil menjauhkan wajahnya.
Mendengar itu, sontak Air langsung mengangkat kepalanya. Matanya memicing menatap Shaleta.
“Heh! Licin, ya mulutnya.” tegur Shaleta. Matanya melirik Air.
“Nando mana, Ta? Punya adik satu bikin stres!”
“Nando di ruangannya Bang Ravel, Al.”
“Ohh. Oke. Bhaay!”
Shaleta bergerak cepat mencekal tangan Alika. “Pamit dulu, Al.”
Alika menepuk keningnya pelan. “Saya permisi, Pak Air, Bu Via. Mari.”
“Iya, Mbak Alika.” jawab Via ramah dan Air hanya bergumam pelan.
-meetyou(again)-
“Sakit Al!” Nando menepuk-nepuk tangan Alika.
Shaleta menatap Ario yang berjalan di belakang Alika dan Nando dengan sorot seolah bertanya kenapa yang hanya dibalas dengan gelengan kepala Ario.
Alika melepaskan jewerannya dengan kasar. “Adik durhaka, emang lo! Bisa-bisanya lo pecahin bedak mahal gue!”
“Sakit, g****k!” sentak Nando sambil mengusap-usap telinganya. “Beli lagi, lah. Jangan kayak orang susah.”
“Nando.” tegur Shaleta pelan sambil menepuk lengan Ario yang sedang memeluk bahunya dari belakang pelan.
Nando menghela nafas kasar. Melirik Alika.
“Apa, lo!”
“Ya, maap. Nanti gue cicil, deh. Berapa, sih harganya.”
Alika berkacak pinggang menatap Nando. “Serius lo mau ganti?”
“Iye! Berape harganya maemunah ...?”
Alika mengankat delapan jari tangannya.
“Ahelah! Cuma delapan puluh ribu doang marah-marahnya udah kayak mak lampir?”
“Delapan ratus ribu!”
“Heh! Bedak apaan, tuh delapan ratus ribu!”
“Bodo amat! Lo udah bilang mau ganti. Saksinya banyak adikku sayang, adikku yang malang.” Alika tertawa jahat.
“Kam-pret!”
“Nando.”
Nando langsung menutup mulutnya ketika mendapatkan teguran kedua dari Shaleta.
“Kak Leta pulang sendiri gak apa-apa?”
“Gak apa-apa, Io.”
Ario mencium puncak kepala Shaleta. “Hati-hati, ya. Sampai rumah, kabarin Io.”
Shaleta mengangguk. “Kalian juga hati-hati. Io jangan ngebut.”
Ario langsung menarik kerah baju Nando ketika melihat sahabatnya itu hendak memeluk Shaleta.
Shaleta mematikan semua lampu. Hanya yang di depan cafe saja yang dibiarkan tetap menyala sebelum mengunci pintu cafe.
“Pulang?”
“Astaga!” Shaleta terlonjak kaget hingga tanpa sengaja menjatuhkan kunci cafe yang sedang dia pegang.
Air membungku mengambil kunci.
“Makasih.” Shaleta menerima kunci yang diulurkan Air. “Pak Air, kok masih ada di sini? Tadi, bukannya udah pulang, ya?”
Air langsung menggenggam tangan Shaleta. “Jemput kamu.”
“Hmm?” Shaleta menatap tangan kanannya yang sedang digenggam Air, ada rasa hangat yang menyelusup ke hatinya.
Tbc.